Oleh Azis Anwar Fachrudin
Bagaimana melawan ISIS secara kultural agar upaya mencegah berkembangnya
bibit-bibit kekerasan dan terorisme atas nama agama bukan hanya agenda
pemerintah tapi juga publik secara umum? Jawabannya tak lain adalah dengan
mengidentifikasi ideologi dan melawan narasi yang dibangun ISIS. Dalam hal ini,
ada dua jenis narasi ISIS yang patut diidentifikasi: narasi ideologis dan
narasi politis.
Ideologi penting karena ia punya kontribusi sepertiga, kalau bukan malah
setengah, dari faktor yang berkontribusi
terhadap kemunculan ISIS. Dalam studi agama dan kekerasan (religious
violence), biasanya dikaji tiga faktor yang ketika terakumulasi akan
membuat (pemeluk) agama mengalami “radikalisasi” dan rentan memilih jalan
kekerasan: (1) ideologi; (2) sosial-ekonomi-psikologi; dan (3) faktor yang
dikembangkan dalam teori gerakan sosial, yaitu “struktur kesempatan politik”
(political opportunity structure).
Hanya saja, dalam kasus ISIS faktor kedua tampaknya kurang begitu
berpengaruh—meski tak berarti tak ada sama sekali. Banyak pasukan asing ISIS
justru berasal dari Eropa, yang jauh lebih banyak jumlahnya jika dibanding Indonesia.
Tak sedikit pula dari mereka yang bergabung dengan ISIS justru berasal dari
kalangan menengah bahkan kaum muda terdidik. Artinya, mereka yang bergabung ini
bukan dari kelas sosial marginal atau ekonomi bawah.
Karena itu, di samping ideologi, faktor lain yang kuat berpengaruh adalah
struktur kesempatan politik. Analisis tentang ini bertesis bahwa pilihan untuk
mendukung dan/atau melakukan kekerasan sangat bergantung pada gelanggang aksi (“repertoire”)
yang dikondisikan oleh konteks politik setempat. ISIS bisa tumbuh subur karena
diamplifikasi konteks politik tempat lahirnya: rezim Suriah yang represif
(setidaknya bagi kaum pemberontak/oposisi), rezim Irak yang dipandang loyalis
Saddam dan beberapa kelompok Sunni sebagai sektarian, dan kondisi politik
setempat yang kacau-balau (chaotic) sebagai imbas dari fenomena yang
disebut “Musim Semi Arab” (ar-Rabi’ al-‘Arabiy). Tamsilnya kira-kira
seperti pegas: semakin suatu rezim politik menekan kuat ke bawah, daya balik ke
atas untuk memberontak semakin kuat dan pilihan untuk melakukan kekerasan
semakin terjustifikasi.
Hal yang terakhir ini turut menjadi penjelesan mengapa pasokan jihadis ISIS dari Indonesia, sebagai negara (relatif) demokratis dengan penduduk Muslim terbesar sedunia, sebenarnya sangat sedikit bila dibanding negara-negara mayoritas Muslim lainnya. Penjelasan inilah yang belum lama diangkat dan diulas dalam “Why are so few Indonesians joining the Islamic State” (www.theatlantic.com).
Mengamini penjelasan ini, semakin suatu rezim represif dan kondisi politik kacau-balau, potensi untuk munculnya ISIS dan gerakan serupa semakin besar. Karen itu, Indonesia selayaknya menjaga alam demokrasi agar aspirasi bisa tersalurkan melalui jalan yang beradab dengan, tentu saja, tetap menjaga kekuatan pengawal keamanan dan keterjaminan kebebasan sipil.
Wahhabisme dan Qutbisme
Terkait perlawanan terhadap narasi ideologis, hal pertama yang jelas
teridentifikasi dari ISIS adalah akar teologisnya. Secara teologis, sulit untuk
menampik bahwa ISIS merupakan percabangan (ramification) dari
Wahhabisme. Ini sangat jelas, terutama bila melihat beberapa selebaran (baik
pamflet atau booklet) yang dipublikasikan ISIS sendiri.
Salah satu pamflet ISIS yang menjadi semacam manifesto teologisnya, yakni Hadzihi ‘Aqidatuna wa Hadza Manhajuna (Ini Akidah Kami dan
Ini Jalan Kami), menunjukkan indikasi kuat ke arah itu: kebencian terhadap kuburan,
patung (yang dianggap berhala), praktik-praktik tradisional (yang dianggap
syirik), pemerintahan yang mengadopsi sistem politik sekuler (yang disebut thaghut)
dan, tak kalah penting, Syiah (yang diangap kafir). Ini semua karakter
tipikal—meski tak seluruhnya—Wahhabisme. Agaknya tak berlebihan kalau
dikatakan bahwa ‘DNA’ Wahhabisme memang anti-Syiah, sehingga di mana Wahhabisme
tumbuh subur, narasi anti-Syiah akan menguat.
Namun ISIS bukan semata Wahhabisme. Dalam ranah teologi-politik, ISIS
adalah racikan antara Wahhabisme dan Qutbisme. Yang terakhir ini terkenal
dengan ide tentang “jahiliyah modern” dan dipancangkan dasarnya oleh Sayyid
Qutb, figur yang acap disebut meradikalkan satu faksi dalam Jama’ah al-Ikhwan al-Muslimin
dan membidani gerakan ‘salafi-jihadi’ seperti al-Qaeda. Qutbisme membagi dunia
menjadi dua saja: negara Islam (darul-Islam) dan negara kafir (darul-kufr).
Dengan pondasi Qutbisme ini ISIS bercita-cita mendirikan khilafah global,
melintasi sekat-sekat negara modern, dan mendeklarasikan perang kepada siapapun
selainnya.
Hal yang terakhir ini juga terindikasi kuat dari salah satu booklet ISIS
yang berjudul Muqarrar fit-Tauhid (Buku Daras Tauhid). Satu konsep kunci
dalam booklet ini adalah ideologi “nawaqidh al-Islam” (hal-hal yang
membatalkan keislaman), yang berisi 10 poin, yang jika seorang Muslim menyentuh
satu saja dari 10 poin itu maka dia otomatis kafir, auto-murtad, dan
karena itu layak diperangi. Satu catatan penting dalam hal ini: Muhammad ibn
Abdil Wahhab, pengasas Wahhabisme itu, punya risalah kecil dengan judul yang
sama, “Nawaqidh al-Islam”, yang 10 poin isinya diadopsi dengan sedikit
modifikasi oleh ISIS—di samping juga risalah kecil berjudul “Masa’il
Jahiliyyah”, yang dipublikasikan ISIS dengan subjudul yang mengarahkan
makna “jahiliah” di situ kepada “jahiliah kontemporer” (jahiliyyah al-‘ashr),
yakni apalagi kalau bukan ide-ide sekuler seperti demokrasi, HAM, dll. Di
antara yang bisa masuk dalam 10 poin itu ialah: para penghina Islam dan Nabi
Muhammad (ingat kasus Charlie Hebdo di Perancis), para pemimpin yang mengadopsi
ideologi sekuler (dan karena itu masuk dalam kategori darul-kufr), dan
Syiah-Rafidhah (dengan dakwaan klasik: mencaci para Sahabat Nabi).
Ideologi “pembatal keislaman” inilah yang pada gilirannya membuat ISIS
membuat distingsi antara “musuh jauh” (al-‘aduww al-ba’id) dan “musuh
dekat” (al-‘aduww al-qarib)—di sinilah signifikansi Qutbisme. Musuh jauh
adalah yang sejak awal sudah ‘kafir’ (bagi ISIS semua non-Muslim adalah kafir).
Musuh dekat adalah Muslim yang menyentuh salah satu poin “pembatal keislaman”
itu. Distingsi ini turut menjelaskan mengapa mayoritas korban ISIS justru
adalah Muslim, yakni karena dianggap sebagai musuh dekat.
Kategorisasi “musuh dekat”-“musuh jauh” dapat ditemukan muasalnya, antara
lain, dari buku kecil berjudul “Al-Jihad: al-Faridhah al-Ghaibah”
(Jihad: Kewajiban yang Hilang) ditulis Muhammad Abdus-Salam Faraj, otak
serangan asasinasi Presiden Mesir Anwar Sadat pada 1981. Narasi yang dibangun
di buku kecil itu berupa analogi, seraya mengutip fatwa Ibn Taimiyyah,
dengan rezim Tartar (Mongol) yang telah menginvasi dan meluluhlantakkan Baghdad
dan dianggap menjajah umat Islam pada abad pertengahan lalu. Fatwa Ibn Taimiyah
saat itu kurang lebih ialah siapapun yang mengaku Muslim tapi berdamai atau mengungkapkan
dukungan (muwalah) terhadap rezim Tartar, maka dia hakikatnya zindiq dan
layak diperangi. Dengan analogi ini, Presiden Sadat dianggap kafir karena telah
melakukan perjanjian damai Camp David dengan Israel, yang disamakan belaka dengan mereka yang ber-muwalah
pada rezim Tartar di zaman Ibn Taimiyah. Karena inilah lalu Presiden Sadat
dibunuh oleh Khalid Islambouli dari kelompok al-Jihad al-Islamiy. Abdus-Salam
Faraj, ideolog al-Jihad al-Islamiy, terinsipirasi kuat oleh Sayyid Qutb, dan
karena inilah apa yang disebut “salafi-jihadisme” kerap ternisbahkan padanya
dan disebut pula Qutbisme.
Demikianlah ringkasan substansi ideologi ISIS—lebih jauh, Anda bisa
menelusurinya dengan melacak tokoh-tokoh di atas serta tulisan-tulisannya.
Setiap narasi keislaman yang mengacu ke ideologi itu adalah indikator yang
potensial menjadi lahan persemaian ISIS.
Sektarianisme
Secara politis, narasi yang dikembangkan ISIS adalah mengeksploitasi kasus
Timur Tengah, terutama di Suriah, yang dibingkai sebagai perang Sunni-Syiah. Narasinya:
rezim Assad adalah representasi kejahatan Syiah dan ISIS adalah pejuang pembela
Sunni. Kekacauan politik di Suriah dinarasikan ISIS dengan bungkus sektarian
untuk mendapat simpati massa Muslim dari gerakan-gerakan lain yang memiliki
kecenderung politik yang sama dengan ISIS: menjatuhkan rezim Assad. Framing
seperti inilah yang diimpor ke mana-mana, tak terkecuali ke Indonesia.
Ideologi “takfiri” dan jihadisme ala ISIS bisa tumbuh subur ketika lahan
sektarianisme “permusuhan abadi Sunni-Syiah” sudah disemai terlebih dahulu.
Metode semacam ini cukup terkonfirmasi bila kita membaca antara lain buku Idarah
al-Tawahhusy (Manajemen Brutalisme), karya orang yang menyebut dirinya Abu
Bakar Naji, yang menjadi panduan strategis ISIS untuk masuk ke lahan baru.
Tahapannya secara ringkas: kobarkan kekacuan politik (terutama di kawasan yang
rezimnya lemah), buat umat Islam merasa terkepung, lalu datang sebagai
‘penyelamat’. Dalam konteks hari ini, salah satu isu yang paling gampang untuk
mengobarkan chaos di kawasan mayoritas Muslim tapi rezimnya lemah adalah
isu sektarianisme. Di Indonesia, hal ini sudah terjadi, meski eskalasinya
belum—dan semoga tidak sampai—separah di Timur Tengah; yakni dengan adanya
satu-dua pemerintah lokal yang jatuh ke dalam kubangan politik sektarian.
Begitulah dua narasi utama ISIS, secara ideologis (Wahhabisme dan Qutbisme) dan politis (sektarianisme). Melawan ISIS secara kultural, baik oleh ormas keislaman moderat maupun masyarakat Indonesia secara umum, bisa dimulai dengan mengidentifikasi kemudian melawan narasi itu. Langkah pertama antara lain dengan memperkuat narasi tandingan sebagai antidote-nya, yakni narasi anti sektarianisme, yang bisa dilakukan antara lain dengan memperkuat upaya pendekatan (taqrib) Sunni-Syiah. Kalau terwujud, ini bisa menjadi narasi tandingan dengan pesan kultural yang kuat. Tapi kalau tidak, dan malah memilih memanas-manasi sengketa sektarian yang sudah berusia berabad-abad ini, bibit “ISIS-isme” masih mendapat lahan subur untuk ditanami.
Mahasiswa S2 Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada