Opini

Media dan Dampak Jarak yang Terlipat

Sabtu, 25 Maret 2017 | 23:01 WIB

Oleh Ali Romdhoni

Teknologi telah memudahkan hidup manusia di zaman ini. Salah satunya, dengan teknologi jarak yang membentang menjadi dapat dilipat. Belahan dunia yang berada di beberapa tempat disatukan dalam layar media sosial (online). Komunikasi antar manusia dan komunitas yang berbeda wilayah mungkin terjadi dalam waktu yang sama.

Pendek kata, manusia zaman ini dimanjakan dengan suguhan informasi (pengetahuan) yang berasal dari berbagai tempat di dunia. Semua terangkum dalam teknologi media sosial.

Dunia media ini memiliki eksistensinya tersendiri. Di sana ada ‘kenyataan’, konflik, perdebatan, khilaf, fitnah, penyesalan, permohonan maaf, pencitraan, pengadilan, penghakiman, dan popularitas seorang figur. Singkatnya, di dunia media juga ada ‘realitas’ sebagaimana yang ada di wilayah nyata.

Media sosial dengan semua menu yang ditawarkan di dalamnya sangat murah dan mudah didapat. Bisa diakses dari tempat kita yang sangat pribadi, misalnya dari kamar tidur, atau bahkan dari kamar mandi. Di Indonesia, pengguna (user) media juga beragam. Hamper semua lapisan masyarakat bisa menggunakannya. 

Namun—dan ini yang harus dimengerti—kondisi ini bukan tanpa kelemahan. Kemudahan melihat dunia lain melalui layar media di telefon genggam kita juga membawa dampat buruk yang tidak sedikit. Misalnya, ada seorang teman yang tiba-tiba bertutur, “… mengapa kondisinya menjadi begini?” Maksud teman tadi adalah kejadian saling menuduh, beredarnya  informasi yang membawa dampak buruk di masyarakat, menghina orang dan lain sebagainya, yang semua itu marak terjadi di media sosial. Mengapa ini bisa terjadi? Ini yang akan saya jelaskan.

Pertama, teknologi mampu melipat jarak. Kemajuan pengetahuan memang memungkinkan orang mengikuti kejadian di berbagai sudut dunia dari dalam ruang kerja. Namun bila kita tidak memiliki ketelitian dalam mengkonsumsi informasi, maka di antara kabar yang sampai di meja kerja kita adalah kabar palsu. Apalagi, selain ada banyak orang yang pandai menyebarkan berita di sana juga ada pihak-pihak yang dengan kemampuannya telah merekayasa berita.

Orang-orang yang beritikad tidak baik ini memanfaatkan media untuk menciptakan ‘realitas’. Pribadinya tidak muncul di publik, namun dampak dari kejahatan yang dia lakukan telah nyata meresahkan masyarakat. Maka jangan kaget kalau sekarang ini ada orang hanya berani berteriak memaki-maki melalui tulisan di akun pribadi, tapi menghindar ketika diminta bertatap-muka. 

Demikian juga bagi kita yang sudah menikmati kemudahan menjelajahi dunia melalui media sosial harus siap dengan risiko yang muncul. Melalui media kita bisa terkenal dengan segudang prestasi, tapi juga mudah dijatuhkan oleh pihak lain dengan tuduhan yang palsu. Inilah dunia media.

Dalam kondisi yang seperti ini kita harus mengimbangi diri dengan kemampuan melacak kebenaran berita yang beredar. Dalam bahasa yang marak saat ini adalah dengan sering-sering tabayun. Betapa sangat penting memastikan kebenaran informasi dengan melihat di tempat kejadian perkara (TKP), atau menemui lansung kepada subjek-subjek dalam berita. Tanpa hal ini, kita rawan menjadi subjek pelengkap penderita, artinya kita hanya menjadi orang yang mudah dibohongi oleh kabar palsu. Bukankah demikian yang terjadi saat ini. Masyarakat kita bingung memilah mana kabar yang asli dan mana yang palsu.

Sampai di sini bisa disimpulkan, bahwa jarak yang dilipat oleh kemudahan mengakses informasi juga sekaligus membawa dampak pada sulitnya memastikan kebenaran yang disampaikan berita. Bagaimana kita harus membuktikan kebenaran kejadian di Benua lain, misalnya. Hal ini tentu sulit dan membutuhkan energy tersendiri.

Kedua, kemudahan mengakses informasi melalui perangkat media seperti telefon genggam telah melahirkan watak yang ‘manja’. Kebutuhan informasi sehari-hari, data untuk menulis artikel, bahan untuk ceramah, hingga kebutuhan awal untuk riset bisa ditemukan melalui mesin pencari data online.

Dalam satu sisi, kondisi ini menjadi kabar baik bagi para pemburu ilmu. Namun, pelan-pelan orang akan percaya dan merasa cukup hanya dengan mengandalkan ketersediaan data di media online. Sayangnya, di antara data-data yang ada di media online telah dikuasai orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, user telah ‘memakan’ pengetahuan yang palsu. Akibat dari kondisi ini sangatlah buruk.

Dalam kondisi yang seperti ini kita perlu melihat kembali tradisi lama. Maksudnya, arsip pemerintahan, catatan dan penuturan masyarakat, data dari lembaga riset, dan buku karya para bijak bestari perlu kita buka kembali. Bahkan, para filsuf dan agamawan harus kita kunjungi untuk mendengar dan mewarisi kebijaksanaannya. Nasehatnya di sini, untuk mendapat sebuah kebenaran terkadang membutuhkan proses berusaha, perlu berkeringat, bahkan menempa diri di hadapan para guru sejati. Proses ini tentu tidak bisa tergantikan dengan hanya mengandalkan informasi yang tidak jelas sumbernya.

Saya jelas tidak berpretensi untuk mengabaikan keagungan media sosial online. Tetapi, yang penting dan ingin saya tekankan di sini, kalaupun akan menggunakan data dari website atau dari manapun, maka pastikan dulu tingkat akurasinya.

Ketiga, sebagian dari masyarakat kita sudah tidak lagi bisa memilah, mana yang bersumber dari kejadian yang disaksikan di sekitarnya, dan mana yang dikonsumsi dari media. Keduanya dicampur-aduk. Akibatnya, dua sahabat bisa renggang gara-gara keduanya membaca berita yang sama tanpa memastikan kebenaran berita.

Di sini, memang ada ‘realitas’ di dalam dunia yang tidak riil (dunia maya, online). Maksudnya, kondisi yang sebenarnya dengan berita yang beredar di media hamper selalu berbeda, atau setidaknya sangat sulit untuk sama. Dalam bahasa jurnalistik, berita yang mengisahkan kejadian selalu mengalami reduksi.

Lebih parah lagi, hari ini siapa pun bisa menulis berita. Anak-anak/orang tua, pemarah/para bijak, pembajak/ilmuwan, pecundang/pahlawan, mereka semua hari ini bisa menerbitkan berita. Tulisan mereka kemudian diterbitkan dalam akun pribadi dan setelah itu bisa dibaca oleh semua orang.

Maka, membaca berita harus disertai dengan kesadaran bahwa masih ada realitas yang sebenarnya, yang bisa jadi kondisinya seratus delapan puluh derajat berbeda dengan yang nampak di media. Dan, yang lebih penting lagi untuk kaum muda Indonesia pada umumnya, jadilah generasi yang mau terus belajar.


Penulis adalah mahasiswa doctoral Universitas Heilongjiang China, dosen F.A.I. Universitas Wahid Hasyim Semarang


Terkait