Opini

Masyarakat Dunia Maya, Puasa dan Razia

Sabtu, 11 Juni 2016 | 09:30 WIB

Oleh Fathoni Ahmad
Dewasa ini tidak bisa dipungkiri bahwa dunia maya, era di mana interaksi sosial terjadi melalui koneksi internet melekat kepada dua generasi sekaligus, yakni Digital Native dan Digital Immigrant. Peran dua generasi tersebut saling melengkapi ketika generasi sekarang (Digital Native) mengisi dunia maya dengan berbagai ekspresi kekinian yang kerap kali disebut alay, kemudian dinetralkan oleh generasi tua yang baru beralih ke dunia internet (Digital Immigrant) dengan postingan yang berupaya menginternalisasi nilai-nilai luhur zaman dulu, terutama melalui media sosial.

Media sosial dalam berbagai bentuk atau channel, baik Facebook, Twitter, Instagram, Path, BBM, WhatsApp, Google Plus, Youtube, dan lain sebagainya digunakan oleh Netizen (masyarakat dunia maya) untuk melakukan interaksi sosial, baik berbagi informasi atau sekadar menyampaikan keluh kesah dan kegalauan. Proses interaksi sosial lewat dunia maya ini terjadi setiap detik. Bahkan salah satu analis media sosial mencatat bahwa Indonesia termasuk negara dengan interaksi sosial tertinggi di dunia per detik dalam penggunaan dunia maya khususnya media sosial.

Lalu konten materi apa yang sering menjadi lalu lintas terpadat di dunia maya? Penulis mencatat bahwa mayoritas Netizen menyukai tulisan inspiratif dan konten keagamaan. Kurangnya pengetahuan agama dan keagamaan kerap kali membuat masyarakat dunia maya terjebak sehingga tidak jarang berdampak pada watak keras, sikap radikal, mudah menyalahkan, membatasi diri dari kehidupan sosial hingga pada titik kulminasi melalukan tindak kekerasan atas nama agama. 

Terkait dengan konten keagamaan yang terus menjadi primadona dalam kehidupan media sosial, momen Ramadhan atau bulan puasa juga dijadikan instrumen menyebarkan berbagai inspirasi keagamaan hingga wacana kontroversi berbagai hal yang berkaitan dengan puasa. Level dunia maya yang tadinya lekat (inheren) dengan religiusitas naik intensitasnya menjadi lebih religius. 

Namun demikian, kondisi inheren ini tidak dibarengi dengan koherensi, yakni usaha mewujudkan keseimbangan sosial dengan sikap saling menghormati. Seakan pemahaman agama seseorang berdiri sendiri sehingga seolah berhak melakukan tindakan semena-mena dengan dalih menghormati bulan Ramadhan seperti aksi sweeping, melarang orang berjualan di siang hari yang dapat mengganggu kekhusyuan puasa umat muslim, dan tindakan-tindakan serupa. Materi ini yang menjadi salah satu menu di dunia maya tiap momen Ramadhan tiba. Selain dialektika penetapan awal puasa dengan metode rukyat maupun hisab.

Soal warung buka di siang hari yang dianggap bisa membuat orang tergoda, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memberi wejangan bahwa “jika kita merasa Muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa.” Puasa maupun tidak puasa merupakan pilihan setiap individu karena urusannya langsung kepada Allah. Namun, Gus Dur juga menekankan kepada setiap muslim agar tetap menyampaikan dakwah yang baik, artinya dakwah yang mengajak, bukan mengejek apalagi menginjak. Hal ini justru dapat memberikan refleksi penyadaran diri kepada setiap individu bahwa dirinya adalah seorang Muslim yang terkena kewajiban berpuasa.

Kewajiban puasa merupakan ranah agama yang dibebankan kepada setiap individu yang sudah mukallaf. Mukallaf ini bukan tidak tahu hukum jika tidak melakukan puasa, tetapi dia memilih untuk tidak berpuasa tentu dengan menanggung kewajiban tersebut. Sebab itu, harus dihormati oleh individu lain sebagai sebuah pilihan karena tanggungan orang yang tidak melakukan puasa langsung berkaitan dengan Allah. Jadi jika ada warung yang buka di siang hari, lalu dirazia oleh pemerintah dalam hal ini Satpol PP, tentu langkah seperti ini justru di luar koridor pemerintah. 

Jika berjualan di siang hari dapat menuai kesejahteraan bagi si penjual, pemerintah wajib mendukung jika mempunyai misi mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan malah merazia karena alasan mengganggu orang yang sedang berpuasa. Perlu dicatat, seseorang yang sungguh-sungguh berniat puasa, tidak akan tergoda sedikitpun meski warung atau restoran ramai-ramai memamerkan menu makanannya tanpa ditutup tirai.

Media sosial dan kebaikan puasa 

Kembali ke dunia maya, momen bulan puasa tetap harus menjadi renungan bersama terkait aktivitas di media sosial atau di berbagai channel dunia maya secara keseluruhan. Hal ini tentu mempunyai korelasi bahwa kehidupan media sosial yang mempunyai karakter liar dan anarkis karena faktor interaksi sosial tidak langsung (indirect social interaction). Interaksi jenis ini kerap menimbulkan konflik horisontal yang berdampak pada kehidupan nyata karena media sosial juga dapat menciptakan kondisi nyata dalam kehidupan setiap individu maupun kelompok.

Netizen sebagai warga dunia maya juga mempunyai peran menciptakan kondisi yang baik dan tenang di bulan puasa. Perspektif dunia maya yang dapat menciptakan inspirasi dan gerakan di dunia nyata ini dapat dijadikan ladang dakwah oleh setiap individu untuk menciptakan ketenteraman di bulan puasa. Media sosial dan dunia maya tidak sepatut dan selayaknya didominasi oleh informasi dan berbagai konten negatif secara tekstual maupun verbal. Hal ini tentu harus diwujudkan setiap hari tidak hanya pada momen bulan puasa sehingga dapat menciptakan keseimbangan sosial (social equilibrium).

Untuk dapat meniciptakan kondisi tersebut, harus ada upaya dari setiap individu sebagai subjek dunia maya untuk setia pada informasi-informasi positif. Misal dengan mengakses berbagai channel dan portal dari berbagai media, baik cetak, online, visual, dan audio visual yang menyediakan konten-konten positif untuk menciptakan keseimbangan sosial tersebut. Paradigma ini persis seperti ngaji pasaran yang dilakukan di berbagai pesantren, madrasah, majelis taklim, masjid, dan mushola. Bedanya pengakses media sosial bisa langsung membagikan informasi positif tersebut ke sesama pengguna secara viral.

Jangan dikira menciptakan kebaikan di media sosial tidak diganjar pahala, karena terbukti interkasi di dunia maya dapat menciptakan kondisi di dunia nyata. Di titik inilah kebaikan bulan puasa dapat kita wujudkan secara menyeluruh (komprehensif) di berbagai media kehidupan, termasuk di media sosial agar ibadah puasa tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga mampu menciptakan dampak (impact) positif di tengah kehidupan digital maupun natural (nyata).***

Penulis adalah Pengajar di STAINU Jakarta.


Terkait