Masalah Nuklir Iran, Dalih AS Untuk Singkirkan Pesaing Bisnis
Jumat, 28 Desember 2007 | 03:22 WIB
Hendrajit*
Belakangan ini, negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam European Union(EU) semakin resah dengan sepakterjang Amerika Serikat yang semakin agresif terhadap Republik Islam Iran. Kaum Neokonservatif yang menjadi arsitek politik luar negeri Presiden Bush, nampaknya melihat bahwa ruang gerak dan pengaruh (sphere of influence) kepentingan ekonomi Amerika di dunia, khususnya di Asia Tengah, sepertinya semakin menyempit. Sehingga petinggi Gedung Putih seperti Wapres Dick Cheney tidak mau terlalu berlama-lama untuk menguasai Iran. Dan itu berarti, secepatnya harus dilakukan aksi militer.
Inilah latarbelakang yang menjelaskan mengapa Amerika bersikeras dengan kecurigaannya bahwa Iran sedang mempersiapkan persenjataan nuklir dengan dalih pengayaan uranium. Padahal, dalam pernyataannya pada 28 Oktober 2007 lalu, Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional ((IAEA)Mohammed Al Baradei menegaskan bahwa saat ini tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mencurigai Iran bahwa negara ini memiliki persenjataan nuklir.
Bagi Baradei, satu-satunya solusi masalah Iran adalah melalui perundingan dan inspeksi. Bahkan dalam pidatonya di depan sidang Dewan Keamanan PBB, Al Baradei mengatakan bahwa Iran telah memberi izin para inspektur dari IAEA untuk mencek dan memeriksa yang berkaitan dengan bahan-bahan nuklir dan obyek-obyek nuklir di Iran.
Kalau memang demikianlah adanya, jelas ini merupakan langkah maju yang dan toleransi yang cukup besar dari pemerintah Republik Islam Iran. Nampaknya langkah maju dan sikap toleran yang ditempuh Iran karena adanya desakan yang cukup keras dari beberapa negara Eropa Barat seperti Jerman dan Perancis. Kedua negara Eropa ini, meski menerapkan ancaman sanksi yang cukup keras terhadap Iran, namun menentang adanya aksi militer seperti yang diisyaratkan oleh Presiden AS George W. Bush dan para kroniny dari Kaum Neokonservatif.
Berkaitan dengan tren tersebut di atas, negara-negara di kawasan Asia Tenggara, khususnya yang tergabung dalam ASEAN termasuk Indonesia, harus melalukan upaya-upaya aktif untuk mengkonsolidasi negara-negara yang berpendirian bahwa masalah nuklir Iran hanya bisa diselesaikan melalui cara-cara damai.
Disamping itu, ada agenda tersembunyi AS yang coba disusupkan dalam masalah nuklirIran yang perlu diungkap. Yaitu, agenda Amerika untuk menyingkirkan pesaing-pesaing bisnisnya di Iran. Menurut beberapa pakar internasional dan bisnis intelijen, dengan menggunakan isu senjata nuklir Iran sebagai dalih untuk menerapkan sangki ekonomi kepada Iran, sebenarnya dilakukan AS untuk menggusur para pesaing bisnisnya dari pasar Iran. Yang ini berarti bisa merugikan lahan bisnis negara-negara Eropa Barat seperti Perancis, Jerman, dan Belanda. Bahkan Rusia pun yang telah menjalin hubungan perdagangan yang cukup erat dengan Iran, bisa ikut terkena dampak buruk dari ulah Amerika.
Isyarat untuk menyingkirkan perusahaan-perusahaan luar negeri pesaing Amerika sempat diisyaratkan oleh Bush sekitar Maret 2007 lalu ketika memperingatkan perusahaan energi terkemuka Eropa yaitu Royal Dutch Shell dan perusahaan minyak Spanyol Repsol YPF agar tidak menanam investasi di Iran. Menurut informasi sebelumnya, Royal Dutch Shell sudah siap dengan proyek senilai 10 miliar dollar AS, sedangkan Repsol YPF yang sedianya akan menggarap ladang gas alam di lepas bisa-bisa terancam batal.
Bahkan, perusahaan minyak Malaysia SKS pun, yang rencananya akan memproduksi gas alam di Golshan Iran, kabarnya merupakan proyek senilai 20 miliar dollar AS.
Bahkan beberapa perusahaan Cina pun sudah kena sanksi Amerika seperti China Aerotechnology Import Export Corp, The Missile Exporter China North Industries Corp, Zibo Chemet Equipment Co., the Hongdu Aviation Industry Group, Ounion International Economic and Technical Cooperative Ltd., and the Limmt Metallurgy and Minerals Co.
Beberapa perusahaan yang dianggap pesaing AS dan dianggap membantu Iran adalah dua perusahaan India yaitu Sabero Organics Chemical, Sadnhya Organics Chemical, dan satu perusahaan Austria Steyr-Mannlicher, sebuah perusahaan yang memproduksi peralatan senjata serbu.
Bayangkan. Ini baru pada tahap perang dingin dalam masalah nuklir Iran, Amerika sudah berani-beraninya menindak beberapa perusahaan luar negeri yang dianggap membantu dan memberi angin kepada Iran. Bisa dibayangkan betapa berbahayanya posisi beberapa perusahaan pesaing bisnis Iran jika Amerika benar-benar melaksanakan niatnya untuk menyerbu dan menduduki Iran secara militer.
Sekadar informasi, inilah beberapa perusahaan bisnis luar negeri yang menjalin ikatan bisnis di Iran: ABB (PJSC), Air France, ALSTOM Khadamat, BMW, BNP Paribas, British Airways, British Bank of Iran and The Middle East, Bureau Veritas, Butane Company, Corus, Daewoo International Corp, Deutsche Bank AG, DNV, Embassy of Australia, Embassy of Belgium, Embassy of Canada, Embassy of France, Embassy of India, Embassy of The People's Republic of China, Embassy of United Kingdom, Heath Lambert (Iran), HSBC Bank Middle East, Hyundai Heavy Industries Co Ltd (Overseas Office), KPMG Iran, LG Electronics Inc, McGraw-Hill Iran, Mineral Water Damavand Co, Mitsubishi International Corp (Iran) Ltd, Nestle Iran PJS Co, Parcel Co Ltd, Renault VI-Iran, Sony Iran, Auto Peugeot France, Avaye Segal Net, Axxom Co, Bank of Tokyo Mitsubishi, Tehran Representative Office, Behran Oil, DHL International Iran, DNV, Ericsson, Telefonaktiebolaget LM, Fujitsu Iran, KIA Zip Manufacturing Company Ltd, Organon Iran Scientific Office, Paxan, Petrofac Iran (PJS)/Petrofac Pars (PJS), Shell Development Iran.
Bisa dibayangkan betapa runyamnya perusahaan-perusahaan ini jika Amerika menempun cara-cara militer di Iran. Karena Amerika punya dalih untuk memutuskan secara sepihak kebijakan-kebijakan strategis yang dia inginkan tanpa mengindahkan keinginan negara-negara lain. Bisa jadi, memang inilah tujuan utama Amerika. Ini mengisyaratkan bahwa ruang gerak ekonomi Amerika di dunia semakin mengecil dan menyempit. Kedua, ini adalah tanda-tanda bangkrutnya Amerika baik secara ekonomi maupun budaya.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute(GFI)