Opini

lslam Nusantara; Reaksi Resisten Skenario Global Agenda Umat Manusia

Senin, 8 Juli 2019 | 08:00 WIB

Oleh K Ng H Agus Sunyoto

Ketika fajar Millenium Ke-3 membentang di awal abad ke-21, sebagian kesadaran Kemanusiaan ditantang! Kesadaran kemanusiaan kini dihadapkan pada rangkaian panjang jejak Kehidupan manusia yang ditandai sisa-sisa mimpi buruk masa lampau. Kelaparan, wabah penyakit dan peperangan, menandai rentang waktu hidup manusia dari generasi ke generasi, yang menelan korban ratusan juta spesies manusia. Robert Malthus menyebut tragedi dramatik yang membayangi sejarah umat manusia dari spesies homo sapiens.

Meski dalam beberapa dekade terakhir melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai manusia, bencana seperti kelaparan, wabah penyakit dan peperangan dapat dikurangi tapi pada saat yang samah justru terjadi fenomena terbalik di mana lebih banyak didapati orang mati karena terlalu banyak makan daripada mati akibat kekurangan makan. Orang yang mati bunuh diri jumlahnya lebih banyak daripada orang yang mati akibat perang; mati pada usia tua lebih banyak daripada yang mati akibat terpapar penyakit menular; bahkan memasuki abad ke-21, lebih banyak kemungkinan manusia mati akibat mengonsumsi McDonald, KFC, Cocacola, dan aneka makanan olahan fabrikan daripada mati akibat kelaparan, virus Flu Burung, Ebola, kebuasan ISIS, Al-Qaeda, Boko Haram.

Dengan sains modern dan kultur modern, sebagian manusia memiliki pandangan yang berbeda tentang kehidupan dan kematian. Orang modern tidak menganggap kematian sebagai misteri metafisik yang menandai akhir hidup manusia atau sebagai takdir yang ditetapkan Tuhan. Manusia modern menganggap kematian hanya sebagai masalah teknis yang satu saat dapat diatasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan manusia. Kematian, satu saat akan dapat ditaklukkan manusia. Sebagian ilmuwan, dokter, peneliti, dan sarjana modern mengklaim bahwa mereka masih berusaha mengatasi masalah teknis terkait kematian. Mereka berbicara lebih terbuka bahwa sains modern satu saat bisa mengalahkan kematian dengan memberi manusia usia muda dan abadi. Perkembangan sains dan teknologi modern seperti Rekayasa Genetika, Pengobatan Regeneratif, Teknik Regenerasi Lembaran Sel yang dapat memperbaiki tangan, mata, liver, pankreas, otak, dan teknologi Nano memperkuat keyakinan bahwa manusia modern satu saat akan dapat mengalahkan kematian. Setidaknya, film fiksi ilmiah berjudul Transcendence besutan Wally Pfister, yang ditulis Jack Paglen dan dibintangi Johnny Depp dan Rebecca Hall, seakan sedang menggambarkan ambisi itu.

Ray Kurzneil, ilmuwan peraih US National Medal of Technology and lnnovation 1999, sangat yakin bahwa tahun 2050 manusia sudah dapat mengalahkan kematian, di mana pandangan ini merupakan dogma, doktrin, kredo baru yang dijadikan dasar keimanan dari Agama Modern yang bertolak belakang dengan Agama-agama lama seperti Kristen, lslam, Katholik, Hindu, Buddha, Konghucu yang meyakini bahwa kematian adalah Takdir Tuhan yang tidak bisa ditolak.

Agama-tekno di era Millenial
Fenomena baru yang revolusioner di ambang Millenium ke-3 adalah lahirnya Agama-tekno. Satu agama yang menurut Yuval Noah Harari (2015) adalah agama yang menjanjikan penyelamatan, kebahagiaan, perdamaian, kemakmuran, bahkan kehidupan abadi melalui algoritma dan gen-gen, yaitu agama yang lahir dari laboratorium-laboratorium riset di Silicon Valley. Agama-tekno ini secara umum dapat dibagi dua jenis utama, yaitu Tekno-Humanisme dan Dataisme, di mana Agama Tekno-Humanisme masih meyakini bhw manusia adalah pusat penciptaan dan setuju bahwa Homo Sapiens, telah selesai menjalani lintasan sejarah evolusinya hingga harus meninggalkan keyakinan lamanya yang sudah tidak relevan dengan masa depan di mana manusia harus menggunakan teknologi dalam rangka lahirnya manusia yang lebih unggul dari Homo Sapiens, yaitu Homo Deus (2015) atau dalam istilah versi Mary Belknap (2015) sebagai Homo Deva, yaitu manusia yang memiliki kemampuan fisik dan mental yang terbarukan, di mana kecerdasan dan kesadarannya sudah terpisah. Manusia hasil evolusi baru yang dituntut untuk selalu memperbaiki pikiran mereka jika mereka ingin bertahan dalam evolusinya. 

Jika dalam proses evolusi Homo Sapiens menyingkirkan Homo Neanderthall, maka evolusi lanjutan Homo Sapiens akan disingkirkan oleh Homo Deus atau Homo Deva. Berbeda dengan Hitler yang ingin menciptakan manusia unggul dengan sarana pembiakan selektif dan pembersihan etnis, Agama Tekno-Humanisme berharap dapat menciptakan manusia unggul, Homo deus menyeleksi manusia melalui rekayasa genetika, nanoteknologi, antarmuka otak-komputer.

Sementara Agama Dataisme, menyatakan bahwa manusia sudah menyelesaikan tugas kosmis mereka karena itu harus menyerahkan tongkat estafet kepada jenis-jenis entitas yang sama sekali baru, di mana alam semesta dipandang sebagai aliran data dengan nilai setiap entitas ditentukan oleh kontribusinya terhadap pemrosesan data.

Agama Dataisme berakar pada disiplin sains komputer dan biologi, yang sejak Darwin meluncurkan On the Origin of Species, sains-sains kehidupan memandang organisme sebagai algoritma biokimia. Secara simultan dalam 8 dekade sejak Alan Turing merumuskan ide Mesin Turing, para ilmuwan komputer sudah mengetahui cara merekayasa algoritma elektronik yang canggih. Dataisme memadukan keduanya, di mana hukum matematika berlaku pula pada algoritma biokimia dan elektronika. Itu berarti, Dataisme menghapus penghalang antara manusia dan mesin, antara hewan dan mesin, dengan harapan algoritma-algoritma elektronik dapat mengurai dan melampaui algoritma-algoritma biokimia, sehingga pada akhirnya organisme dimaknai sama dengan algoritma.

Tidak bisa diingkari bahwa dengan mengikuti keyakinan yang berdasar pada pandangan paradigmatik, dogmatik, doktriner, dan kredo Agama Akal Sehat yang disebut Tekno-Humanisme dan Dataisme, akan terjadi proses dehumanisasi yang luar biasa mengerikan. Bila itu terjadi, masa depan kelak, kemanusiaan akan lenyap menjadi material tak berjiwa, sekedar menjadi hitungan matematis yang bersifat kuantitatif yang rawan Rekayasa manipulatif. Kesadaran manusia hasil rekayasa itu dengan mudah diarahkan untuk menciptakan surga baru dunia yang sejatinya hanya surga imajiner. 

Dengan teknologi Deep Fake, tanpa sadar manusia akan terjerembab ke dalam ideologi reproduksi manusia yang memimpikan kehidupan baru yang sejatinya manipulasi psikologi dalam bentuk perbudakan baru. Manusia akan tampil dalam kehidupan totaliterianisme yang dikontrol, diatur, diarahkan, dan dikendalikan oleh invisible hand dari kekuasaan global yang tidak kasat mata. Meski demikian, anehnya umat manusia modern dengan sukarela begitu menerima sebagai penjara tanpa tembok, narapidana yang tidak memiliki keinginan untuk bebas. Bahkan tanpa perlu pemaksaan, manusia-manusia modern dengan sengaja menyerahkan kemerdekaannya kepada sistem perbudakan yang mengaturnya. Keadaan ini sebagaimana diungkapkan Aldous Huxley dalam Brave New World (1932) dan 1962, dan juga George Orwell dalam 1984.

Munculnya Agama-tekno yang menandai lahirnya spesies baru Homo deus atau Homo Deva, adalah lanjutan evolutif dari Homo sapiens, yang memiliki konsekuensi-konsekuensi logis terkait Seleksi Alam, di mana pada era Millenial Homo sapiens yang tidak mampu melakukan survival of the fittest dalam beradaptasi dengan perubahan yang sangat ekstrim akan kalah dan punah. Keadaan itu secara umum diawali dengan lahirnya generasi lemah fisik dan mental karena menderita Autisme, Anoreksia, Asma, Gangguan Pemusatan Perhatian, Depresi Klinis, Gagal Jantung, Retardasi Mental, Gangguan Fungsi Organ tubuh, dan lain lain. Semua itu adalah akibat konsumsi makanan produk fabrikan yang mengandung bahan berbahaya bagi manusia dan aneka rekayasa genetika.

Senjakala Agama-agama
Sejak berakhirnya Perang Dingin pada dekade 1990-an, pertarungan antara golongan Proletar dan Borjuis, golongan Sosialis Komunis dengan Liberalis Kapitalis sudah berakhir. Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996) menegaskan bahwa di era Global yang berbenturan dalam pertarungan adalah Peradaban Manusia, yaitu Peradaban Barat yang representasinya diwakili Agama Kristen dalam menghadapi Peradaban Timur yang representasinya diwakili Agama Islam dan Konghucu, di mana masa itu ditandai kemunculan organisasi-organisasi ekstrim radikal beridentitas Agama seperti Al-Qaeda, Jabhat El-Nushra, Boko Haram, Thaliban, Falun Gong, bahkan ISIS yang menebar terror dan rasa takut dengan pamer kekejaman dan kebiadaban atas nama Agama.

Semenjak Program Globalisasi digelar pasca berakhirnya Perang Dingin, konflik antara Umat Beragama Kristen dengan Umat Beragama Islam berlangsung sengit seperti pembantaian Umat lslam Bosnia oleh Umat Kristen Serbia, perusakan Gereja Kristen oleh Umat Islam di Situbondo, Tasikmalaya, Lampung, Banjarmasin, dan sebaliknya perusakan Masjid oleh Umat Kristen di Kupang, Nusa Tenggara Timur, seolah membenarkan Teori Samuel P. Huntington, yang dilanjut aksi-aksi bom bunuh diri, peledakan fasilitas umum seperti stasiun, gedung perkantoran, gedung keuangan, rumah makan, hotel, dan lain-lain seperti sekolah-sekolah dan museum yang bermuara pada pembentukan citra Umat Islam khususnya Arabian Muslim sebagai common enemy Umat Manusia, yang cepat atau lambat akan meluas kepada citra keseluruhan Umat Islam, terutama pasca Peristiwa World Trade Center ditabrak pesawat terbang yang diakui dilakukan anggota Al-Qaeda pengikut Osama bin Laden.

Rangkaian panjang konflik berdarah, terror, tebaran kebencian, fitnah, adu domba, berita hoax, deep fake, agitasi, provokasi, persekusi, dan aneka aksi kekejaman dan kebiadaban yang memecah-belah dan menghancurkan Negara-negara Arab di Timur Tengah yang melibatkan golongan Takfiri, Jihadi, Salafi, dan Wahabi telah membawa dampak negatif yang tidak menguntungkan bagi Agama Islam dan Agama-agama yang lain. Atas ulah mereka terbentuk pandangan-pandangan, gagasan-gagasan, ide-ide, dan konsep-konsep yang sangat subyektif yang menganggap Agama sebagai sumber kejahatan, perpecahan, permusuhan, dan pertumpahan darah, karena semua aksi kebencian, kekerasan, kekejaman, kebejatan, dan kebiadaban yang direkam, yang sengaja disebar-luaskan lewat media massa dan media sosial dilakukan oleh orang-orang beragama. Pandangan negatif tentang Agama inilah yang memunculkan fenomena perkembangan Agnostisme, Ateisme, Paganisme, Anarkisme, dan terutama Agama Akal Sehat yang disebut Agama Tekno dengan dua mazhabnya: Tekno-Humanisme dan Dataisme. 

Islam Nusantara Sebagai Reaksi Resisten Globalisasi
Lepas dari prasangka negatif bahwa seluruh proses deagamanisasi khususnya de-Islamisasi dilaksanakan secara sistematis oleh sebuah skenario global terkait agenda perkembangan evolutif umat manusia, yang pasti dalam dua dekade pelaksanaan Program Globalisasi telah terjadi Kenyataan Faktual yang menempatkan Arabian Muslim sebagai representasi Umat Islam yang primitif, terbelakang, biadab, fanatik, gampang mengafirkan, dan suka pamer kekejaman suku-suku barbar padang pasir.

Opini umum yang terbentuk terhadap Arabian Muslim ini bertolak belakang dengan Kenyataan faktual bahwa ras Semit Arabian adalah bangsa yang memiliki peradaban sangat tua semenjak zaman Sumeria, Akkadia, Messopotamia, Babylonia, yang termasyhur dengan pemikir-pemikir brilian di bidang filsafat, ilmu hukum, astronomi, kimia, medis, biologi, metalurgi, dll. Bagaimana mungkin, selama dua dekade globalisasi kenyataan faktual itu bisa berubah sangat fantastis, yaitu munculnya tokoh-tokoh Arab bodoh, pemarah, gampang memfitnah, menebar dusta, mengadu domba, memecah belah, menebar kebencian dengan menggunakan dalil-dalil agama secara naif karena mereka itu umumnya tidak cukup memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam ilmu agama.

Pelaksanaan Program Globalisasi yang pada satu sisi menghilang-lenyapkan identitas etnik, bahasa, budaya, agama, bahkan teritorial negara untuk membuka jalan bagi kalangan Globalis dan Transnasional dan pada sisi yang lain pula menempatkan Islam – dalam konflik peradaban menurut Huntington – sebagai common enemy bagi umat manusia melalui kemunculan Arabian Muslim dari golongan Takfiri, Jihadi, Khilafah, Salafi, dan Wahabi yang pemarah, naif, primitif, biadab, kejam, suka mengkafirkan, dan menentang ilmu pengetahuan modern sangat mengancam eksistensi agama Islam yang dicitrakan sangat negatif oleh Bangsa-bangsa di dunia. Islam agama teroris yang riil memenuhi opini publik di dunia telah menjadi fenomena yang merisaukan bagi umat Islam seumumnya di dunia, termasuk di Indonesia.

Memasuki dekade awal abad ke-21, pada tahun 2010 dimulai gerakan Islam Nusantara yang secara esensial adalah Kebangkitan Islam Tradisional yang disebut Nahdliyin, yaitu Islam Ahlussunnah wal-Jama’ah ala Mazhahib al-Arba’ yang sejak diwadahi dalam organisasi Nahdlatul Ulama’ pada 31 Januari 1926 sudah dikenal sebagai Islam yang moderat, toleran, damai, berwawasan nasionalis religius, yang membawa misi Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamiin. Sosialisasi Islam Nusantara yang dijalankan secara intern organisasi memperoleh reaksi sangat keras sewaktu tahun 2015 dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang dijadikan slogan kemenangan secara terbuka. Aneka tafsir bebas yang dilakukan golongan Takfiri, Jihadi, Khilafah, Salafi, Wahabi, yang jauh dari konteks yang melatari kemunculan gerakan resisten terhadap Program Globalisasi itu, terbukti tidak mampu membendung penyebaran Islam Nusantara yang diam-diam diterima di berbagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim maupun negara-negara yang mayoritas berpenduduk non muslim.

Ketika fajar Millenium ke-3 terbentang, para konseptor dan perancang skenario Program Globalisasi dan Agama-Tekno terkejut menyaksikan Kenyataan Faktual tentang hasil pelaksanaan skenario yang sudah mereka biayai dengan dana sangat besar. Sebab gerak dinamis dari Globalisasi yang bertujuan menghilang-lenyapkan identitas Etnis, Bahasa, Budaya, Agama, Teritorial Negara Nasional agar menjadi global dan transnasional, belum mampu merubah sama sekali identitas Etnis, Bahasa, Budaya, Agama, dan Teritorial Negara yang disebut Indonesia yang sebagian besar elemennya adalah Kaum Nahdliyin yang tergabung dalam wadah organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Fakta menunjuk bahwa komunitas Bangsa yang disebut Rakyat atau Masyarakat, tetap bersifat majemuk terdiri dari beragam Suku bangsa dan Etnis dengan Bahasa Daerah dan Tradisi Budaya masing-masing, yang menunjukkan pengaruh kuat Tradisi Keagamaan bersifat sinkretis-asimilatif, bahkan dengan gigih masih mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Konsep Global, Negara Bangsa (Nation State) seperti Republik Indonesia sudah harus runtuh pada abad ke-21. 

Bahkan yang mengejutkan Kalangan Globalis, Organisasi NU yang representasi mewakili Golongan Islam Tradisional yang ditandai kekayaan luar biasa dari nilai-nilai lokal, justru mengglobal dengan membuka cabang-cabang istimewanya di berbagai negara di benua Afrika, Asia, Eropa, Amerika, Australia. Begitulah gagasan Islam Nusantara yang diusung organisasi Nahdlatul Ulama dalam gerakan resistensinya menghadapi Program Globalisasi, secara sistematis dan masif telah menyebarkan pengaruh Anti Global dengan membangkitkan nilai-nilai lokalitas di berbagai negara yang penduduknya sudah resah dengan pengaruh negatif Globalisasi, terutama yang berkaitan dengan tumbuh pesatnya Agama Akal Sehat yang disebut Agama Tekno dengan Mazhab Tekno-Humanisme dan Dataisme yang berkembang pesat mengikuti gelombang Globalisasi. 


Penulis adalah Ketua Lesbumi PBNU 2015-2020. Makalah ini disampaikan pada orasi budaya Rakornas III Lesbumi PBNU di Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur 3 - 5 Juli 2019, 





Terkait