“Mizanul Kubro” dalam Sepakbola: Metafora Falsafah Politik ala Gus Dur
Kamis, 19 Februari 2015 | 04:01 WIB
Oleh MH Nurul Huda
Esai ini adalah tinjauan atas buku Kiai Abdurrahman Wahid (Allahu yarham) berjudul "Gus Dur dan Sepak Bola" (GDS) yang diterbitkan Imtiyaz, September 2014 lalu. Lebih dari sekadar kumpulan kolom ulasan pertandingan oleh seorang pengamat sekaligus penggila olah raga sepak bola,<> esai ini akan memperlakukan kolom-kolom tersebut sebagai teks-teks falsafah mengenai kehidupan politik (philosophy of political life). Seperti kata penulisnya sendiri: “Sepakbola merupakan bagian kehidupan atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan sebuah unsur penunjang sepakbola” (GDS, 104).
Dengan kata lain, Gus Dur mengakui kolom-kolom sepak bolanya adalah aspek kehidupan nyata yang dinarasikan dalam bahasa metafora (kiasan). Metafora seperti kita ketahui bersama, adalah ekspresi bahasa puitis, roman atau bahasa sehari-hari yang disusun sedemikiran rupa untuk mengundang atau mengajarkan kepada para penyimaknya agar mengambil konsep-konsep atau mentransfer pemikiran secara lintas bidang. Gus Dur dalam hal ini sengaja memanfaatkan bahasa metafora sebagai alat diskursif untuk konseptualisasi kehidupan (politik) nyata yang butuh argumen kompleks.
Dengan itu kiranya ia bermaksud membangun pijakan bersama (a common ground)dengan publik pembaca yang diharapkan untuk membandingkan dunia sepak bola dengan kehidupan politik nyata. Selain itu publik juga dapat mengambil kesimpulan yang relevan berdasarkan persamaan atau perbandingannya.
“Mizanul Kubro” atau Beperhitungan yang Agung
“Mizanul kubro” mirip dengan judul kitab fiqih Mizanul Kubro Fil Fiqh Al-Islami, karangan Imam Abdul Wahhab Al-Sya’rani, seorang ulama besar kelahiran Mesir pada abad ke-16 M. Secara literal ia berarti “Neraca yang Agung”. Frase itu sengaja diambil oleh penulis secara semena-mena (arbitrary) dan tidak dimaksudkan mengacu pada kitab tersebut. Ia hanya digunakan untuk member nama pada sesuatu yang lain. Sesuatu itu adalah “razón vital”, atau kombinasi antara sikap “beperhitungan” (rechenhaft) yang disertai “pengarah hidup”.
Kata “razón vital”sendiri diperkenalkan pertama kalinya oleh José Ortega y Gasset, anggota geng filosof asal Spanyol, School of Madrid, yang pengaruhnya tak sedikit pada wawasan Gus Dur, terutama lewat bukunya The Revolt of the Masses (terbit 1930). Ortega menggunakan istilah tersebut sebagairasio atau sikap rasional yang menyejarah, yang membumi. Sikap rasional yang bersarang dalam realitas pancaroba kehidupan, sekaligus yang memberi daya hidup bagi eksistensi dan gerak masyarakat.
Berbeda dengan “rasio-matematis”saja yang melihat fluiditas dan dinamika kehidupan manusia secara statis menurut model matematika (dapat ditambah, dikurangi, dikali dan dibagi dengan hasil akhir yang pasti dan bisa diprediksi secara tepat, eksak) dan direduksi dalam konsep-konsep abstrak dan ideologi-ideologi yang preskriptif-statis. Maka “razón vital” lebih mengapresiasi kehidupan nyata beserta problematikanya dan nilai-nilainya khas yang menjadi penyangga kehidupan.Suatu kehidupan nyata yang bersifat historis dan nilai-nilainya yang luhur yang dapat berasal dari spiritualitas atau agama (mis. ikhlas, adil, pengorbanan diri, kejujuran, dll.), filsafat (mis. kebebasan, keadilan, kesetaraan, dll.), estetika (keindahan, kelembutan, dll.)atau keyakinan dan kepercayaan setempat (mis. kejujuran, berperasaan, harga diri, kehormatan, dll.) atau sains (pemikiran, ilmu pengetahuan) dimana rasionalitas dan kehidupan berdampingan secara harmonis.
Adapun “sikap perhitungan” diperkenalkan oleh Prof. Jan Romein dalam bukunya Aera Eropa: Peradaban Eropa sebagai Penjimpangan dari Pola Umum(terbit dalam bahasa Indonesia tahun 1969). Dalam bahasa Jerman disebut “rechenhaft”, yang mendekati maknanya sebagai “berstrategi” atau “bersiasat” di tengah kenyataan hidup yang sulit atau kenyataan yang lain agar inti tujuan orang atau kelompok yang bersangkutan dapat diwujudkan. Dalam system produksi kapitalis awal, “rechenhaft” bersama-sama rasionalisme, birokrasi, kesucian dan kemuliaan bekerja dan watak kreatif yang dimiliki para penemu, penakluk dan organisatoris merupakan unsur khas kebudayaan baru di Eropa. Menurut Romein “sikap perhitungan” ikut melahirkan kebijakan politik etik.
Dalam telaah penulis, Gus Dur secara kreatif meramu wawasan-wawasan kedua orang ini, Ortega dan Romain, dalam suatu gugus besar pemikirannya sendiri berikut muatan-muatannya.Terutama atas ikhtiar untuk menjawab kondisi dan problematika bangsanya. Rasio atau ego manusia tidak seharusnya menjadi “makhluk alien” yang terdistansi dari kondisi kehidupan yang kongkrit. “Rechenhaft”atau sikap perhitungan musti disarangkan dalam kehidupan yang nyata. Rasio-matematis yang keberadaannya seperti burung perkutut dalam sangkar itu mesti dilepaskan dalam jagad raya kehidupan yang kongkrit.
Melalui sebuah kolom berjudul “Bersatu dalam Penderitaan” (Proaksi, 25 Januari 2005), Gus Dur mengajukan formulanya:“Sikap berperhitungan alias sikap rasional, yang tidak membuang spiritualitas dan menggunakannya di samping rasio. Sudah tentu, aspek-aspek tidak rasional perlu kita buang (maksudnya: “yang tidak berpijak kepada bumi nyata”—sebagaimana dinyatakan pada kalimat sebelumnya-pen.),melainkan hanya sekedar ‘pengarah hidup’ dalam menjalani kehidupan yang serba sulit ini. Kita harus bersatu dalam spiritual seperti ini.”
Tidak berpijak kepada bumi nyata yang serba sulit, dalam pandangan Gus Dur, adalah corak sikap yang irrasional. Termasuk irrasional pula kalau tidak berpegang kepada “pengarah hidup” baik yang bersumber pada sejarah, spiritualitas, falsafat, estetika maupun keyakinan, kepercayaan dan cita-cita hidup masyarakat, di kala mereka berada dalam pancaroba kehidupan.
Keadaan“kehidupan yang serba sulit” yang dimaksud oleh penulis kolom tersebut adalah akibat dari apa yang disebutnya “kelumpuhan moral”. Yakni absennya orang-orang atau kelompok-kelompok masyarakat yang “mempunyai keberanian moral dan sadar akan kewajiban mereka untuk keluar dari kemelut”. Dinyatakan bahwa masing-masing orang memiliki ego-nya sendiri-sendiri, “manusia seolah-olah sudah merdeka segala-galanya”. Tidak ada kejujuran dan sikap menghormati orang lain, tidak juga hormat kepada hukum. Para pemimpin dalam pemerintahan maupun di luarnya hanya mengejar kedudukan dan kepentingan pribadi. Mereka tidak ingat akan kepentingan bersama, hanya mengingat kepentingan diri dan golongan sendiri.
Kepemimpinan diperoleh dengan cara-cara yang tidak dapat dibenarkan. Termasuk gejala umum perebutan jabatan dengan menggunakan uang dan kekuasaan. KKN berkembangnya tanpa ada tindakanserta beberapa koruptor dan pelanggar hukum menjadi pejabat-pejabat penting. Gus Dur bahkan mengaku pernah merasa “dikorbankan” oleh teman-teman sendiri. “Seperti sementara kawan-kawan yang menjadi korban pemerintahan Orde Baru, yaitu mereka yang dianggap para anggota dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Penulis justru dituntut karena dinilai mereka telah melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar”.
Di tengah-tengah kemelut macam itu, Gus Dur mengajukan pertanyaan retoris: “Mungkinkah diharapkan dari keadaan suatu bangsa seperti itu, perbaikan yang diperlukan untuk menciptakan cara hidup yang akan membuat kita kuat dan besar?” Lalu, “bagaimana kita harus menghadapi kenyataan bahwa kita terpecah belah begitu rupa dalam kehidupan?”
Untuk menjawabnya dan mencari solusi atas kemelut itu, “rasionalitas” saja tidak cukup. Ia penting tapi bukan satu-satunya, sikap “berperhitungan” saja tidak memecahkan masalah bila tak didasarkan pada kenyataan. Ego pribadi dan kelompok disertai mengagung-agungkan pandangan sendiri tanpa berpijak pada bumi nyatajuga mustahil dapat menyelesaikan kemelut. Seorang jenius dan spesialis pun tidak mungkin mengatasinya sendirian.Karena itu Gus Durmengajak kita untuk bersatu, guna memulai upaya perbaikan. Kombinasi apik dan indah antara “sikap berperhitungan” atau berstrategi/bersiasat saat menimbang situasi yang disertai dengan “pengarah hidup”. Perpaduan antara sikap rasional dan vitalitas yang terkandung dalam kehidupanadalah yangmemungkinkan kehidupan tetap survive dan terus melaju menggapai mimpi-mimpinya, mimpi kita semua, mimpi anak semua bangsa.
Sikap dan tindakan itulah yang oleh penulis esai ini dinamai “mizanul kubro”, suatu sikap yang dilandasi “beperhitungan yang dahsyat, bernilai agungserta berdaya hidup luas dan jangka panjang”.Formula ini mungkin terlalu abstrak bagi kita. Oleh karena itu Gus Dur memberi cara terbaik untuk memahaminyayakni melalui metafora pertandingan sepakbola.
Sepakbola sebagai Metafora Kehidupan Politik
Seperti telah disinggung di awal esai ini, bahasa metafora adalah alat diskursif yang memiliki tujuan dalam penyampaiannya. Bila Ortega y Gasset melihat kehidupan dalam metafora panggung drama, maka Gus Dur memandang kehidupan (politik)seperti arena sepakbola. “Pokoknya semua teori sepakbola itu akan saya gunakan untuk situasi politik kita, dan Insya Allah cocok,” ujar Gus Dur dalam kondisi terjepit mempertahankan kebenaran yang diyakininya.
Sejauh yang penulis tahu, selain Sindhunata kiranya hanya Gus Dur yang memahami realitas kehidupan politik baik secara teori maupun falsafah hidup dengan metafora sepak bola. Bagi Gus Dur, “a political philosophy is also a football philosophy. Melalui dunia sepak bola, baik dalam kapasitas sebagai penulis maupun aktor politik, ia memperkenalkan dan ingin mempersuasi sebanyak mungkin pembaca (bukan hal yang kebetulan baginya bahwa mayoritas masyarakat Indonesia doyan sepakbola,tapi sekaligus “circumstance”-nya sendiri) ke arah keyakinan-keyakinan, sikap, nilai-nilai, dan kreasi kepemimpinan yang harus dijalankan dalam kehidupan nyata politik.Mengingat bahwa bagi Gus Dur, antara sepak bola dan kehidupan (politik) memiliki kesamaan-kesamaan.
Seperti halnya sepakbola, kompetisi politik mengharuskan adanya timkerja dan kerjasama, perlu rekan tim dan saling berinteraksi satu sama lain. Dalam politik juga ada tim-tim yang berbeda, yakni partai-partai politik yang saling bertanding menggapai kemenangan, juga ada wasit (penegak hukum) yang menengahi atau mengadili pelanggaran. Ada juga pelatih nasional yang merupakan pemimpin dan peracik strategi. Sebagaimana sepak bola, permainan politik juga dibatasi oleh aturan-aturan juga konstitusi yang harus dipatuhi oleh semua pemain, wasit, official dan dipahami juga oleh penonton.Singkatnya, kehidupan politik yang kongkrit serupa dengan kehidupan di dunia sepakbola. Bila politik adalah sebuah permainan, maka permainan politik adalah juga permainan sepakbola. Bila politik adalah sepak bola, maka teori politik berarti juga teori sepakbola.
Para penggila bola tahu, sepak bola punya kata-kata kunci metaforik, yang menggambarkan ciri para pemain yang baik, atau pertandingan yang bagus. Misalnya: sikap sportif, kompetitif, ketrampilan(skill), kekompakan, strategi, tim, semangat (passion), kerja keras, atau kemampuan menghadapi tantangan strategi lawan. Pendek kata, sebagaimana dalam sepak bola, kehidupan politik memerlukan “mizanul kubro” yang mendorong setiap tim memperagakan kemampuan terbaiknya di lapangan untuk meraih kemenangan.Bagaimana gambaran kehidupan politikdengan rasio vital yang semacam itu?Berikut ini sebagian kecil dari metafor-metafornya (lihat kata/kalimat berhuruf miring).
Sepak Bola sebagai Suatu Pertandingan Olahraga
Pertandingan sepakbola sebagai pertandingan dalam arena kehidupan politik menganut falsafah: politik sebagai seni yang menampilkan corak permainan yang aktif (menyerang, adu kelincahan, kecepatan, mobilitas), dan tidak pasif (statis, bertahan total, yang berarti tak mendukung perubahan), fair-play (tidak akal-akalan), indah dan elok dipandang, riang dan dimainkan secara antusias, hormat kepada lawan, terus menerus berkembang dan berusaha membuat kemajuan baik dalam ketrampilan, maupun aturan-aturan permainan itu sendiri. Selain kemenangan, politik juga soal kehormatan dan jiwa besar.
“Demikianlah, siapapun yang jadi juara… tidak akan mampu mengangkat keharuman sepak bola sebagai seni (4)… Hal ini yang mungkin diinginkan oleh penonton… agar pertandingan sepak bola makin menarik, bergairah dan lebih merangsang...” (GDS, 40).
“Kalau ada kata-kata kalah terhormat, itulah yang dialami Nigeria. Dalam kekalahannya ia tetap dikagumi, bahkan oleh lawannya sendiri. Ini tentu bukanlah pelipur lara, tetapi merupakan modal untuk berprestasi dalam piala dunia yang akan datang” (GDS, 41).
Karakter Pemain atau Tim
Karakter pemain atau sebuah tim sepak bolayang baik adalah metafora karakter yang sama dalam kehidupan politik. Aktor politik harus matang, berdaya jelajah tinggi, punya daya juang, keyakinanyang teguh, semangat pantang menyerah, daya dobrak yang kuat disertai daya tahan tangguh, punya kecepatan dan stamina tinggi, punya keuletan dan insting kuat, mobilitas yang tinggi disertai kedisiplinan, matang dan tidak emosional, lincah dan kreatif sambil menikmati permainan, pekerja keras dan bertekad baja untuk menang, dan tunduk pada strategi pemimpin.Gus Dur melukiskannya dalam metafora berikut:
“Gelandang penyerang dengan daya jelajah tinggi…merupakan kerepotan tersendiri bagi pertahanan lawan. Dengan kontrol bola yang prima, mobilitas yang sangat tinggi dan kecepatan yang mengagumkan…dan perpindahan tempat yang tidak terputus mampu mengacaukan pertahanan lawan…” (GDS, 18).
Kematangan bertanding di klub masing-masing justeru membuat parapemain sulit dijaga kekompakan mereka sebagai tim. Kalaupun mereka bisa bermain serasi satu sama lain biasanya diiringi dengan permainan yang tidak sepenuh hati.” (GDS, 66).
“Pertandingan putaran perempatan final antara Italia dan Spanyol mengundang kekaguman orang pada daya juang Italia kali ini… tidak lepas dari rasa kagum akan stamina dan semangat juangItalia”….Keyakinan bahwa upaya yang dilakukan terus menerus tentu akan memberikan hasil….” (GDS, 75-76)
“Sedang Belanda, dengan pemainnya yang memiliki kualitas merata yang begitu tinggi harus menyelesaikan masalah utama debat kronis dan kelangkaan rasa tunduk kepada pelatih nasional, seperti dialami Advocaat dari Gullit. Perdebatan mengenai strategi harus dimenangkan oleh pelatih, kalau diinginkan sukses dalam kompetisi akbar seperti piala dunia” (GDS, 59).
Karakter Pelatih atau Pemimpin
Karakter pelatih sebagai pemimpin dan pengatur strategipermainan adalah seperti halnya dalam kehidupan (politik): pemimpin harus memiliki ketegaran dan keberanian bereksperimen, menciptakan pengorganisasian yang rapi, membagi peranan, menghilangkan egoisme pada diri pemain dan kalau perlu mengorbankan pemain bertalenta yang egois dan tak patuh strategi, konsekuen pada strategi namun tetap taktis, mampu membaca situasi dan permainan lawan, memiliki kematangan, tidak punya rasa takut, bertekad menang, dan menerima kekalahan secara terhormat. Gus Dur melukiskannya dalam metafora berikut:
“Sangat menarik mengamati ketegaran strategi yang diterapkan Sacchi, meski pemainnya tinggal 10 orang… Kematangan perhitungannya untuk mempertahankan strategi awalnya danmenerapkannya pada kondisi yang berbeda, ternyata mampu menghasilkan kemenangan” (GDS, 29).
“Pertandingan Belanda-Belgia adalah contoh klasik dari sebuah keberanian melakukan eksperimentasi. Pelatih Dick Advocaat tetap menolak keinginan untuk menggantungkan pada salah seorang atau beberapa maha bintang seperti van Basten dan Gullit. Permainan yang ingin dikembangkan adalah pembagian peranan secara lebih merata dan kemampuan berpindah posisi di lapangan sesuai kebutuhan... Seorang Gullit dengan modal kedua hal itu akan menjadi sangat berguna bagi tim, tetapi itupun harus dikorbankan kalau, kemudian sebagai akibat para pemain lainnya tidak dapat mengikuti rencana-bangunan yang lebih mementingkan meratanya peranan itu… Konsep Advocaat ini justeru menghindari penempatan pemain secara kaku. Para pemain itu lalu menjadi bebas untuk mengembangkan peluang-peluang, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kawan-kawannya. Acungan jempol harus diberikan kepada Advocaat atas kemampuan menerawang jauh kepada masa ketika lahirbintang-bintang yang tidak mementingkan posisinya sendiri, melainkan berbagi peranan dan berganti tempat tanpa ragu-ragu…”(GDS, 33-35)
“Keberhasilan Nigeria membangun tim…disamping karena banyaknya pemain-pemain alami dengan instingbermain bola yang luar biasa bagusnya, juga karena kerja pelatih…yang berhasil memberikan bentuk permainan dan pengorganisasian rapi bagi tim Nigeria, disamping kecepatan stamina dan insting yang mereka miliki selama ini…” (GDS, 44)
“Reaksi sangat berhati-hati dari Parreira adalah contoh klasik dari psikologi ketakutan (psychology of fear) yang menghinggapi pengambil keputusan di bidang apapun, di saat-saat menghadapi situasi kritis. Berarti Sacchi mampu mengendalikan cara berpikir Parreira…”. (GDS, 93)
Strategi Permainan
Strategi permainan sepak bola sebagai metaphor strategi dalam kehidupan politik: kehidupan politik menggabungkan cara bertahan yang tangguh dan menyerangsecara efektif dan kreatif, variasi strategi dan taktik, pengorganisasian tim yang rapi disertaiketrampilan, kecepatan dandaya tahan individu secara optimal, realistis dalam membaca perkembangan situasi, penerapan strategi yang mampu merespon keadaan secara sehat dan tidak emosional, serta ditujukan untuk meraih kemenangan. Gus Dur menggambarkannya dalam metafora berikut:
“Kombinasi bertahan dan menyerang yang indah ini diakui yang paling berbahaya saat ini, bukannya yang paling tangguh” (GDS, 11-12).
“Kukuhnya pertahanan dikeluhkan… Akan tetapi, justeru dari kukuhnya pertahanan itu sebenarnya muncul serangan-serangan bermutu, yang pada gilirannya akan melahirkan gol-gol indah lebih banyak di masa depan… Pola penyerangan sekarang juga sudah memperlihatkan variasi gaya dan strategi yang sangat beraneka warna… Jelas bahwa antara barisan pertahanan dan penyerangan harus digalangkeserasian melalui barisan gelandang yang tangguh” (GDS, 22-23).
“Hal itu juga menunjukkan penguasaan yang sangat baik dari Charlton atas pola permainan anak-anak asuhannya. Kemampuan teknis yang sangat tinggi dan kematangan strategi yang menyatu dalam bentuk fleksibilitas permainan yang bisa dijaga pada tempo yang tinggi, tetapi pada saat yang sama memperlihatkan variasi strategi yang sangat tinggi pula… Keyakinan akan perpaduan antara penguasan teknis atas bola, daya dobrak yang tinggi dari taktik hit and rush dan serangan bergelombang atas pertahanan lawan membuat Charlton masih optimis pada akhir babak kedua” (GDS, 49)
“Dengan mantabnya strategi yang digunakan, keunggulan masing-masing tim atas lawannya lalu menjadi sangat tergantung oleh keberhasilan menerapkan taktik yang jitu dalam melaksanakan strategi yang dipilih. Kegagalan mengubah taktik penyerangan menjadikan serangan tim Belanda sangat mandul. Jikalau dilakukan perubahan lebih dini, kemungkinan Belanda sudah dapat melakukan gebrakan-gebrakan. Kelambatan menerapkan perubahan taktik itu membuat Belanda kehilangan inisiatif untuk masa cukup lama…” (GDS, 59)
Berdasarkan ulasan sepak bola dalam kolom-kolomnya, Gus Dur menampilkan strategi multi-retorik. Tim-tim dalam sepakbola adalah metafora bagi partai-partai politik atau kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang saling bertanding dan bersaing, yang semuanya harus diperlakukan secara hormat meskipun berbeda pendapat. Mereka bukanlah musuh (atau “lawan” dalam arti enemies yang harus saling mematikan). “Hal pertama yang harus dilakukan adalah begitu banyaknya bagian kita dalam perkumpulan bermacam-macam, tidak dengan menganggap semuanya itu sebagai lawan. Semuanya adalah bagian dari kehidupan kita bersama, hanya saja dalam begitu banyak wadah yang bermacam-macam. Selanjutnya, mereka yang sudah sadar akan hal ini, haruslah menjadi contoh dari sesuatu yang ingin kita tegakkan bersama dalam kehidupan sebagai bangsa: kejujuran, kesetiaan dan kerja keras. Selebihnya adalah hal-hal yang harus dibuat oleh ia yang berada diatas, alias Tuhan yang kita tunduki bersama.” (BDS)
Bagi Gus Dur, pertandingan sepak bola adalah metaphor “kehidupan berdemokrasi” (GDS, 155) bagi semua tim dari partai-politik hingga kelompok civil society, LSM, kaum agama, akademisi, dan lain-lain. Sementara “kompetisi”(total seluruh pertandingan) merupakan metafora perjuangan demokratisasi yang harus dimenangkandengan aneka pola dan strategi permainan (GDS, 155). Dan seorang pemimpin juga haruslah mencerminkan karakter pelatih nasional yang penuh beperhitungan(rechenhaft) untuk menggapai kemenangan, sekaligus berbekal “pengarah hidup” untuk penguatan stamina dan daya tahan serta memelihara semangat fair-playdari pemain dan tim sepanjang kompetisi politik. Adapun keberhasilan “menggondol piala”adalah metafora bagi tercapainya demokrasi itu sendiri dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Bersamaan dengan itu semua, dalam mencapai tujuan bersama, aturan sepak bola terbuka kemungkinan diperbaiki, sebagaimana perundangan-undangan dalam kehidupan politik, agar tujuan perjuangan jangka panjang dapat wujudkan.
Maka secara keseluruhan pertandingan dalam kompetisi, pelatih dan pemain harus menunjukkan kemampuan terbaik, sekaligus memperagakan keindahan dan keelokan politik sendiri sehingga enak ditonton, menggairahkan dan dapat dinikmati oleh rakyat. Pertandingan demi pertandingan politik juga harus dimainkan secara fair-play, berpegang pada hukum dan peraturan permainan itu sendiri, sekaligus dibimbing oleh suatu “pengarah hidup”, suatu keyakinan akan kemuliaan dan keluhuran tindakan yang memberi keuletan, kesabaran, kejujuran, kesetiaan, daya tahan dan ketangguhan bahkan pengorbanan diri bagi tercapainya kemenangan dalam kompetisi, yakni demokrasi dan kesejahteraan yang hanya diraih melalui perjuangan jangka panjang.
Sebagaimana kompetisi sepak bola, kehidupan politik juga diwarnai oleh aneka jenis tantangan. Mulai dari main “akal-akalan” pura-pura jatuh hingga strategi “catenaccio” status-quo yang menghambat perubahan dan perjuangan demokratisasi. Tidak heranlah, bila Gus Dur mengatakan:
“Sebuah proses demokratisasi itu haruslah diwujudkan dalam hal ia dapat dilaksanakan. Dengan demikian, disadari bahwa tidak seluruh aspek harus didemokrasikan dapat diwujudkan pada saat yang bersamaan. Daya tahan kita sangat diperlukan untuk itu. Anggapan bahwa demokratisasi dapat dilakukan dengan cepat adalah sesuatu yang oleh V.I. Lenin dianggap sebagai “penyakit kiri kanak-kanakan”(infantile leftism), yang kalau ini dilakukan sama dengan bunuh diri. Demokrasi memerlukan napas yang panjang dan hanya dapat diwujudkan dalam kurun waktu yang panjang pula.” (GDS, 153-154)
Dengan kata lain, bila perjuangan demokratisasi diinginkan sukses, maka ia harus diusahakan dengan “perhitungan” yang matang disertai “pengarah hidup”yang ditimba dari kehidupan masyarakat, sejarahnya, keyakinan dan kepercayaannya, spiritualitasnya dan filosofinya agar usaha-usaha tersebut tidak layubahkan mati di tengah trotoar jalan. Bagaimana pun juga piala akan diboyong oleh tim yang tangguh dengan para pemain brilian yang kompak yang tunduk pada racikan jitu strategi pelatih.
*) MH Nurul Huda, jamaah Gusdurian, tinggal di Depok
Foto Ilustrasi: andysantajayacartoon.blogspot.com