Opini

Korupsi

Ahad, 8 Juni 2014 | 03:00 WIB

Oleh Isfandiari MD
Kilatan blitz bertaburan ‘menyerang’ seseorang berbaju oranye. Puluhan wartawan bergegas dan tak menyia-nyiakan kesempatan. Target blitz tersenyum dan mengacunghkan tanda V di jarinya. Walau KPK tetapkan jadi tersangka, ia pede dalam gesture, tersenyum pada khalayak dan percaya bahwa hukum belum tentu bisa menjangkaunya.
<>
Tarohlah dia apes terbukti bersalah, ini pun masih jauh dari sengsara. Hukuman sekitar 5 tahun plus-minus tidaklah mengerikan. Di hotel prodeo ia masih mulia, punya uang dan dapat fasilitas lebih walau ilegal. Apa boleh buat, itulah Indonesia!

Di Cina misilnya, lain cerita. Pelaku tersangkut korupsi, hatinya kiamat. Kemungkinan melepas raga, diarak ke lapangan umum, ditembak tanpa tedeng aling aling. Hukuman psikologis sebelumnya juga gede. Penantian panjang sebelum didor juga jadi siksaan tersendiri. Polisi atau pejabat berwenang pasang muka kenceng cemberut, bikin keder. Itu diberlakukan tiap hari sebagai prosedur tak tertulis buat penghianat negara (baca:koruptor).

Wajar diperlakukan tidak manusiawi demi kemaslahatan umat. Beda dengan Indonesia, pelaku korupsi masih kena ‘kearifan lokal’ polisi atau pegawai kejaksaan masih rela beramah tamah, pasang muka senyum. Maklum biasanya pejabat atau pengusaha sukses, terselip juga momen salaman takzim penuh hormat. Malah ada permintaan foto bareng layaknya rockstar. Alangkah senangnya.

Jika hukum Indonesia tak menakutkan, sanubari harusnya bicara. Pejabat atau publik figur harusnya berpikir ribuan kali sebelum korupsi. Uang memang banyak, tapi bikin sengsara banyak orang. Ia juga mencemari sebuah peradaban dan malah mencemari generasinya sendiri. Jutaan orang menanggung dampaknya, negeri jadi carut marut tak punya kebanggaan juga masa depan.

Padahal tanpa korupsi, ia sudah berkecukupan. Gaji legal yang dipersembahkan di atas rata-rata warga biasa. Kunjungan kerja bisa sekalian pelesir jika dinikmati. Semua orang tunduk dan hormat, diberi fasilitas dan popular di mana-mana. Keluarga juga kebagian harumnya. Mereka ikutan terhormat sebagai keluarga pejabat. Dipuja-puja dan tempat bernaungnya harapan. Alangkah indahnya hidup yang singkat itu.

Namanya manusia, hadir rasa serakah diantara peluang. Ia berharap lebih mengejar keduniawian lewat jalan korupsi. Terbayang di depan mata, uang berlimpah, mobil miliaran dan puluhan bidadari jelita antri di pinggir ranjang. Indahkah ini situasi? Sama sekali tidak!

Tarohlah hukum manusia tak menakutkan, tapi renungkanlah hukum akhirat. Allah dalam Al-Qur’an surat (40) : 29, surat (11) : 96-97 , dan surat (20) : 79, begini: ”Matilah imannya bagi seorang pemimpin, dimana pada hari kematiannya ia menipu rakyatnya. Ia tidak akan mencium bau surga, sebab keharuman surga itu amat jauh bagi dia, sejauh 500 tahun perjalanan daripadanya.”

Masih berani korupsi?

 

Isfandiari Mahbub Djunaidi, warga NU, pemusik. 


Terkait