E. Sobirin Nadj *
DALAM setahun terakhir ini citra NU, begitu juga pesantren, diredusir oleh keterlibatan pentolan-pentolannya di dalam hiruk-pikuk politik pemilihan umum. Tetapi di luar itu, dalam dinamika cukup cepat yang terjadi di dalam tubuh masyarakat NU dalam dua dekade terakhir ini telah membuat citra komunitas Nahdlatul Ulama tak lagi statis, kumuh, terbelakang dan bodoh. Banyak elemen-elemen strategis, terutama di kalangan kaum mudanya, makin berpikir maju dan berorientasi masa depan. Sejumlah peneliti sering mengkualifikasikannya “sebagai lebih maju” daripada komunitas Islam modernis.
<>Makin berkembangnya permikiran progresif di lapisan muda dalam dua dekade terakhir telah merubah citra publik NU. Dinamika ini terjadi, baik di sekitar lingkaran pesantren maupun di sekitar lembaga-lembaga di luar NU sebagai komunitas muda yang lebih intensif bersentuhan dengan kehidupan kota. Tentu saja masih banyak kalangan nahdliyin yang masih berkutat dengan kehidupan yang lebih bercorak perdesaan, kurang dinamis dan bahkan terbelakang, terutama secara ekonomi seperti bagian besar kehidupan masyarakat Indonesia lainnya.
Dinamika tersebut dapat ditangkap sebagai gerak komunitas NU untuk mengikuti dan menyesuaikan diri dengan kemajuan. Gerak ini mencakup banyak bidang, mulai dari pemikiran dan keilmuan, usaha-usaha sosial, dan belakangan dalam kiprah-kiprah politik. Belakangan gerak dari dinamika elemen-elemen di kalangan masyarakat NU ini hampir tak dapat diikuti oleh citra NU sebagai organisasi—biasa diistilahkan NU “struktural”--, yang masih tidak tertata, karena tata kelolanya masih jauh dari prinsip tata kelola organisasi yang baik (good organizational governance). Terutama di daerah-daerah.
Kecenderungan itu terjadi, antara lain, karena kebanyakan fungsionaris atau pengurusnya yang kurang cakap di bidang organisasi (kemampuan berorganisasi) maupun dalam mengimplementasikan program. Akan tetapi, adanya lembaga-lembaga otonom di sekitar “NU organisasi”—biasa diskategorikan sebagai “NU kultural”-- betul-betul menolong karena dengan demikian NU pun ikut terdorong untuk terlibat dalam kegiatan/program kongkret kemasyarakatan. Namun keterlibatan NU kultural tersebut belum mampu menjadi driving forces, kekuatan penghela, bagi kemajuan masyarakat NU yang sangat besar, yang secara ekonomi masih banyak yang tertinggal.
Kalau gambaran existing conditions tersebut tak berlebihan, bolehlah dikatakan bahwa komunitas NU, setidaknya sebagian di antara mereka yang lebih banyak bersentuhan dan berinteraksi dengan faktor-faktor kemajuan zaman, sudah mulai masuk ke dalam gerak “kemajuan masyarakat” Indonesia secara keseluruhan. Artinya di tengah komunitas-komunitas masyarakat Indonesia lainnya yang berkompetisi mengejar kemajuan, tidak semua elemen masyarakat NU “ketinggalan kereta api.” Ada elemen-elemen komunitas yang terlibat di dalam kompetisi sosial tersebut. Berlomba-lomba merebut kesempatan untuk berperan dan berebut keberuntungan –material maupun non-material, di tengah carut-marutnya kehidupan sosial, ekonomi, politik masyaralat Indonesia dalam lebih dari lima tahun terakhir ini. Banyak pentolan dan berbagai lapisan jamaah NU yang terlibat dalam kompetisi tersebut.
Kompetisi sosial adalah konsep pemasaran yang diadopsi untuk menjelaskan pertarungan di antara lemen-elemen masyarakat untuk merebut peran dan mengejar kemajuan-kemajuan, material maupun non material. Kompetisi ini tidak hanya berlangsung di lapangan politik, melainkan juga berlangsung di lapangan ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Dalam konteks Indonesia, baik kompetisi social maupun kompetisi ekonomi, pada gilirannya akan bermuara pada perebutan peran-peran yang bermuara pada perebutan posisi-posisi politik. Ada tendensi yang amat kuat bahwa perebutan peran dalam kehidupan sosial maupun perebutan akses di bidang ekonomi untuk dijadikan sebagai “batu loncatan” untuk merebut posisi-posisi politik. Banyak kasus menunjukkan, bahwa merebut posisi politik dengan sendirinya dimaksudkan untuk membuka akses dalam rangka menguasai sumberdaya ekonomi.
Kecenderungan seperti itu berlaku sejak masa Orde Baru, yang kemudian melahirkan diktum: “menguasai politik sama dengan menguasai ekonomi; sebaliknya menguasai ekonomi dimungkinkan untuk menguasai dunia politik”. Menjadi kecenderungan berbagai kekuatan politik di Indonesia untuk mencurahkan seluruh daya-upaya, memobilisir seluruh sumberdaya social maupun ekonomi, di samping sumber daya politik, untuk memperebutkan peran-peran dan posisi-posisi politik kenegaraan. Posisi-posisi publik tentunya amat strategis dalam rangka menentukan