Opini

Kita Semua adalah Santri

Ahad, 21 Oktober 2018 | 13:30 WIB

Kita Semua adalah Santri

Ilustrasi (Linikini)

Oleh Muhamad Sartibi 

Tiga tahun silam, tepatnya 22 Oktober 2015 telah ditetapkan sebagai Hari Santri lewat Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2015. Penetapan ini bukan tanpa alasan. Kepres tersebut merupakan bentuk penghargaan negara atas peran besar ulama dan santri Nusantara dalam ikut merebut dan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia. 

Resolusi Jihad Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya memantik semangat jihad kaum santri dan ulama Nusantara untuk mencegah kembalinya tentara kolonial belanda dan sekutu-sekutunya yang mengatasnamakan NICA hingga berujung pada peristiwa 10 November 1945, yang tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Pahlawan. Peristiwa yang sangat heroik dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Resolusi Jihad yang isinya antara lain menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu“ sudah berlangsung 73 tahun lalu, namun maknanya begitu dalam dan tak lekang oleh waktu. Makna yang menggambarkan kecintaan yang sangat mendalam terhadap NKRI dengan semangat jihad fisabilillah. Makna yang menggambarkan koherensi antara agama, patrotisme, dan nasionalisme dalam bingkai Negara Republik Indonesia.

Saat ini, kita memang tidak lagi menghadapi penjajahan secara fisik, namun tugas kebangsaan kita sebagai santri untuk merawat Pancasila, UUD 45, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, dan NKRI tidak terbatas ruang dan waktu. Setiap detik semangat Resolusi Jihad harus terus menggelora dalam jiwa dan raga setiap santri agar NKRI tetap jaya dari masa ke masa. 

Resolusi jihad harus menjadi pemantik semangat kaum santri untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Tugas mulia ini harus ditunaikan seiring dengan semangat Resolusi Jihad yang tak pernah padam.

Perayaan Hari Santri secara nasional bukanlah sebuah bentuk eksklusivisme antara santri dan nonsantri, karena semua kita adalah santri. Hal ini sesuai dengan makna santri itu sendiri, yang menurut kamus besar bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta, "shastri" yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama, dan pengetahuan.

Makna santri sebagai kitab suci bahwa setiap kitab suci pasti menjadi pedoman bagi pengikutnya. Itu artinya setiap dari kita adalah pemimpin, baik sebagai pemimpin diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia. Harus menjadi pemimpin yang uswatun hasanah, pemimpin yang memberikan suri tauladan yang baik, pemimpin yang manjadi tuntunan dan panutan bagi diri sendiri maupun pengikut-pengikutnya.

Sementara makna santri sebagai agama bahwa setiap agama pasti mengajarkan kebaikan, baik hubungan dengan Tuhannya maupun hubungan antarsesama manusia, hablum minallah wa hablum minannas. Hablum minallah dipandang sebagai bentuk kecintaan manusia terhadap Tuhannya dengan menjaga nilai-nilai katauhidan di dalam hati, mengisi ruhaniah dengan nilai-nilai ketuhanan, membebaskan diri dari berbagai belenggu penyakit hati sehingga nilai-nilai ketuhanan terpancar dari setiap gerak langkahnya. Apa pun yang dilakukannya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT, tiada daya dan upaya kecuali hanya atas izin Allah.

Sedangkan hablum minannas dipandang sebagai bentuk kecintaan manusia terhadap sesama. Pimpinan Pondok Pesantren Gontor Ponorogo KH. Ahmad Sahal, pernah bertanya kepada murid-muridnya, “Siapakah orang besar/sukses itu? Murid-muridnya menjawab: orang besar/sukses adalah orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan tinggi. Sambil tersenyum sang kiyai menjawab. Orang yang besar/sukses adalah orang hidupnya berguna bagi orang lain, orang besar adalah orang yang mau berbagi dengan orang lain, orang yang besar adalah orang yang peka terhadap penderitaan orang lain, orang besar adalah orang yang mampu mengangkat harkat dan derajat orang lain dan orang yang besar adalah orang yang mau berbagi ilmunya kepada orang lain, walaupun hanya satu ayat.” 

Begitu dalam makna ucapakan sang kiai ini, menembus renung-renung hati yang paling dalam. Seandainya semua orang mempunyai konsep yang sama terhadap makna orang besar/sukses maka skat-skat derajat kemanusian yang dibedakan berdasarkan kedudukan, status, kekayaan, kecerdasan, dan skat-skat sosial lainnya tidak akan ada lagi, karena pada hakikatnya kedudukan manusia sama di hadapan Allah SWT, yang membedakan adalah keimanan dan ketakwaannya.

Makna santri sebagai pengetahuan adalah bahwa pengetahuan merupakan penerang dalam menjalani hidup dan kehidupan, sumber dari pengetuan adalah ilmu. Rasulullah SAW pernah bersabda kepada para sahabat: “Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.” Ilmu merupakan alat pembebasan manusia dari kebodohan dan ketertinggalan. Belajar sebagai metode menuntut ilmu harus terus dilakukan sepanjang hayat oleh kaum santri, kandungan isi Al-Qur’an sebagai ayat-ayat qauliyah dan alam semesta sebagai ayat-ayat kauniyah harus terus digali oleh kaum santri sebagai sumber belajar yang maha luas dan maha agung dalam rangka mengembangkan potensi keilmuan yang terus bergerak mengikuti perkembangan zaman, yang akan bermuara pada kekaguman dan kesyukuran atas kemahakuasaan-Nya Allah SWT.  

Pada akhirnya penulis mengucapkan selamat Hari Santri 22 Oktober 2018. Semoga kita semua sebagai santri bisa menjadi orang besar/sukses yang sesungguhnya, Amin-amin ya rabbal ‘alamin. 


Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang


Terkait