Opini

Khotbah Jumat Berisi Ujaran Kebencian dalam Perjalanan Umat Islam

Sabtu, 10 November 2018 | 14:45 WIB

Khotbah Jumat Berisi Ujaran Kebencian dalam Perjalanan Umat Islam

(Foto: @wikipedia)

Oleh Alhafiz Kurniawan
Khotbah Jumat di Indonesia beberapa tahun belakangan ini terindikasi mengandung ujaran kebencian dan caci maki dengan unsur SARA yang ditujukan ke sejumlah arah. Praktik seperti ini keliru karena praktik ini jauh dari misi khotbah agama yang menyampaikan nilai-nilai ketakwaan dan mencederai kemuliaan hari Jumat. Fenomena ini menjadi catatan hitam dalam perjalanan sejarah umat Islam.

Khotbah Jumat dengan kandungan ujaran kebencian bukan fenomena baru. Praktik ini pernah terjadi beberapa tahun di awal kepemimpinan Dinasti Bani Umayyah. Bahkan khotbah agama dengan ujaran kebencian pada masa itu merupakan diatur dalam sebuah regulasi yang mengikat.

Peraturan ini dibuat oleh Muawiyah bin Abu Sufyan yang berusia 78 tahun (602-680 M). Ia berkuasa pada 661-680 M. Ia meminta para khotib untuk menyelipkan caci maki terhadap pribadi Sayyidina Ali RA di dalam khotbah mereka.

وأول من سن سب المسلمين على المنبر معاوية بن أبي سفيان فإنه فرض أن يسب الإمام علي بن أبي طالب عند كل صلاة في جميع أنحاء ملكه وتابعه على ذلك من خلفه من بني أمية

Artinya, “Orang pertama ang membuat tradisi caci maki di mimbar adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia membuat regulasi yang mengharuskan (imam dan khatib) untuk mencaci maki Imam Ali bin Abi Thalib di setiap kali shalat pada seluruh wilayah kekuasaannya. Kebijakan ini diikuti oleh penguasa Bani Umayyah selanjutnya,” (Lihat Abbud As-Syalji, Mausu‘atul Adzab, [Beirut, Ad-Darul Arabiyyah lil Mausu‘at: tanpa catatan tahun], juz I,halaman 17).

Mimbar Jumat yang berisi caci maki dan ujaran kebencian ini tetap berlangsung sepeninggal Muawiyah. Putusan Muawiyah ini juga belum dicabut sampai Khalifah Umar bin Abdul-Aziz berkuasa.

Khalifah Umar bin Abdul-Aziz yang hidup pada 682-720 M membuat regulasi baru. Khalifah Bani Umayyah yang terkenal zuhud dan bijaksana ini memilih untuk mengakhiri khotbah yang berisi ujaran kedengkian terhadap klan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ia berkuasa pada 717 M hingga wafat pada 720 M.

فلما استخلف الخليفة الصالح عمر بن عبد العزيزأبطل ذلك وأمر أن يقرأ في موضع السب الآية كريمة إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya, “Ketika Sayyidina Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, ia mencabut regulasi tersebut. Khalifah Bani Umayyah yang saleh ini kemudian memerintahkan agar khotib mengisi sesi caci maki dengan bacaan Surat An-Nahl ayat 90,” (Lihat Abbud As-Syalji, Mausu‘atul Adzab, [Beirut, Ad-Darul Arabiyyah lil Mausu‘at: tanpa catatan tahun], juz I,halaman 17).

Khalifah Umar bin Abdul Aziz memutus tradisi caci maki dalam khotbah Jumat yang berlangsung selama kurang lebih 50 tahun di masa Dinasti Bani Umayyah. Sejak Khalifah Umar bin Abdul Aziz mencabut putusan tersebut, para khotib Jumat hingga saat ini hampir selalu membaca Surat An-Nahl ayat 90.

Penyebutan beberapa nama sahabat Rasulullah SAW yang terlibat konflik di sini dilakukan bukan dalam rangka pemihakan pada blok atau kubu politik mana pun di masa lalu. Pasalnya, kalangan Ahlussunnah wal Jamaah mengambil sikap nonblok di tengah konflik yang melibatkan para sahabat Rasulullah SAW.

Narasi ini diangkat kembali untuk melihat peta perjalanan sejarah umat Islam di mana politik (mungkin juga ekonomi dan lapangan persaingan lainnya) berpengaruh pada mimbar Jumat yang berisi provokasi dan ujaran kebencian.

Fenomena khotbah Jumat di Jakarta dan sekitarnya dengan konten provokasi dan ujaran kebencian yang berunsur SARA beberapa tahun belakangan ini menghidupkan kembali tradisi khotbah di masa awal Dinasti Bani Umayyah dan sudah dicabut Khalifah Umar bin Abdul Aziz sekira 50 tahun sesudah regulasi itu dibuat.

Para khotib Jumat di Jakarta dan sekitarnya beberapa tahun belakangan ini memang tetap mengikuti Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Mereka membaca Surat An-Nahl ayat 90, “Innallāha ya’muru bil ‘adli wal ihsāni wa ītā’i dzil qurbā wa yanhā ‘anil fahsyā’i wal munkari wal baghyi, ya‘izhukum la‘allakum tadzakkarūna (Sungguh, Allah memerintah untuk berbuat adil, berbuat baik, berbagi dengan kerabat, mencegah perbuatan keji, kemungkaran, dan perbuatan melewati batas. Dia menasihatimu agar kamu menerima peringatan). Tetapi pada saat yang bersamaan mereka mengumbar ujaran kebencian yang ditujukan kepada sejumlah pihak dan umat Islam sendiri; tradisi buruk yang telah dicoret oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Lazimnya, fenomena ujaran kebencian dalam khotbah Jumat sepanjang perjalanan umat Islam terjadi karena perbedaan kepentingan politik. Sakralitas mimbar Jumat terkontaminasi oleh ujaran kebencian dan provokasi jamaah.

Kalau melihat Indonesia dengan pergantian kepemimpinan per lima tahun sekali melalui pilpres, pilkada, pilbup, maka kita akan mengalami selama itu ke depan perbedaan kepentingan politik umat Islam yang kompleks dan heterogen.

Dalam konteks Indonesia ini, kita memerlukan kesadaran bersama untuk menjaga sakralitas mimbar Jumat dari caci maki dan provokasi yang mengandung unsur SARA. Kalau kita di tahun 2018 M ke depan ini masih juga melakukan politisasi mimbar Jumat dan menyampaikan ujaran kebencian serta provokasi, maka peradaban kita sebagai umat Islam mundur ke zaman sebelum Khalifah Umat bin Abdul Aziz, sekira 12-13 abad lampau. Sebuah kemuduran yang sangat jauh dan celaka.


*) Penulis adalah santri Jakarta yang kini diamanahi sebagai Ketua PAC GP Ansor Kebayoran Lama. Kini membantu LBM PBNU divisi publikasi.


Terkait