Oleh Puti Hasni *
Sudah tidak terhitung banyaknya kasus kekerasan terhadap anak. Rilis data oleh lembaga resmi negara, pemberitaan media massa cetak dan elektronik, hingga pengaduan-pengaduan baru, terus bermunculan silih-berganti. Apa langkah strategis ke depan agar kekerasan terhadap anak teratasi secara serius dan memberi efek jera pada masyarakat pelaku yang rentan melakukan tindakan kekerasan?<>
Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang akan menjadi penerus bangsa ini. Mereka wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun belakangan seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan, maupun masyarakat.
Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental, maupun pelecehan seksual. Ironisnya, pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru, maupun teman sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak, misalnya menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar oleh gurunya sendiri. Itu hanya contoh kasuistik. Contoh lain dengan kasus berbeda dan beragam, masih banyak terjadi. Semuanya bermuara pada ketidakberdayaan anak menerima perlakuan baik oleh lingkungan sekitarnya.
Tidak ada cara lain selain harus segera ada koordinasi yang tepat di lingkungan sekitar anak, terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh pemimpin bangsa yang menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya.
Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak boleh jadi momentum untuk melindungi dan memberikan pendidikan serta penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Namun, jauh lebih penting dari itu momentum seremoni dan formalitas demikian adalah tindakan dan aksi nyata yang mampu memberi kesadaran masif masyarakat luas.
Terry E. Lawson, psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam kekerasan (abuse), yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Physical abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Sedangkan, sexual abuse biasanya terjadi akibat adanya ketergantungan dan perkembangan aktivitas seksual.
Berdasarkan pandangan tersebut, saya menggarisbawahi bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran anak.
Agar anak terhindar dari bentuk kekerasan tersebut, langkah pertama tentu saja perlu adanya pengawasan dari orang tua. Orang tua harus menjaga agar anak-anak tidak menonton dan meniru adegan kekerasan karena bisa menimbulkan bahaya pada diri mereka. Beri penjelasan pada anak bahwa adegan tertentu bisa membahayakan dirinya. Luangkanlah waktu menemani anak menonton agar para orang tua tahu tontonan tersebut buruk atau tidak untuk anak. Jangan sering mengabaikan anak, karena sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap anak adalah kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini berbeda dengan memanjakan anak.
Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan moral pada anak agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak agar bicara apa adanya dan berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal anaknya dengan baik dan memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan terhadap anak, karena banyak sekali kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual yang terlambat diungkap. Ajarkan kepada anak untuk bersikap waspada, seperti jangan terima ajakan orang yang kurang dikenal. Sebaiknya orang tua juga bersikap sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak tetaplah seorang anak yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan karena kurangnya kesabaran orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.
Mengakhiri kekerasan terhadap anak tidak hanya membantu anak-anak Indonesia, tetapi juga membantu perekonomian negara. Sebab, kekerasan pada anak dapat memiliki konsekuensi kesehatan, sosial, dan ekonomi seperti masalah kesehatan mental, meningkatnya risiko penyakit kronis, dan pencapaian profesional yang lebih rendah saat dewasa. Analisis terkini yang dilakukan UNICEF berdasarkan data dari tahun 2014 menemukan kerugian dari perlakuan salah secara fisik, seksual dan emosional terhadap anak di kawasan Asia Timur dan Pasifik mencapai hampir US$200 juta atau hampir 2 persen dari pendapatan per kapita gabungan.
Kekerasan pada anak tidak dapat dilepaskan dari problem kemasyarakatan lainnya. Ini adalah lingkaran setan yang terus terjadi di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu, pendidikan dan pengetahuan orang tua yang cukup, keluarga yang hangat dan demokratis, serta intensitas membangun komunikasi yang efektif adalah jalan keluar yang tidak dapat ditawar-tawar. Upaya ini harus terus-menerus dikampanyekan ke masyarakat luas.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak, anggota keluarga harus saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua. Konsekuensinya, anak harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja. Inilah yang harus diwaspadai dan terus diingatkan ke semua orang, sekurang-kurangnya keluarga kita masing-masing. Saya percaya keluarga adalah solusi terbaik mengatasi kekerasan pada anak. Upaya pemerintah, lembaga masyarakat, hingga masing-masing individu, harus mengarah pada upaya pembangunan karakter dan kepribadian yang baik kepada segenap keluarga di Indonesia. Saatnya mengakhiri kekerasan pada anak melalui keluarga.
* Pengurus PP IPPNU