Oleh: Uub Ayub Al Ansori
Saat mondok dulu saya pernah mendengar kutipan "Tetesan tinta seorang pelajar lebih berharga dari darah seorang syuhada". Entah hadits, entah korasan dari kitab kuning atau ungkapan kiai. Saya tidak tahu. Namun dipikir-pikir setidaknya kutipan tersebut merupakan bentuk penegasan bahwa betapa pelajar-santri yang sedang mencari ilmu berada dalam kedudukan dan posisi sangat berharga di hadapan Allah SWT.
Saya tidak hendak merendahkan para syuhada apalagi merendahkan makna jihad. Tapi jihad bagi pelajar-santri adalah belajar. Belajar bagi pelajar-santri adalah mencari dan menguasai ilmu. Karena dengan ilmu kita dapat meraih kemuliaan. Belajar kata James Whittaker berarti juga proses dimana perilaku yang dihasilkan atau dimodifikasi melalui pencarian ilmu, pengalaman, dan pelatihan.
Derajat kemuliaan manusia sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menguasai ilmu. Ketidakmampuan dlm menguasai ilmu atau pengetahuan akan mengantarkan manusia ke jurang kebodohan. Dengan ilmu selain menjadikan kita berpengetahuan juga berperadaban. Ilmu mengantarkan manusia ke keadaban. Meraih dunia dan akhirat. Ingat sabda Nabi Muhammad SAW yang sering kita dengar, yang artinya: “Barangsiapa yang ingin meraih dunia maka ia harus menguasai ilmu. Dan barangsiapa yang ingin meraih akhirat maka ia harus dengan ilmu. Dan barangsiapa ingin meraih keduanya maka juga harus dengan ilmu.”
Hadits Nabi di atas menegaskan bahwa jangan bermimpi memiliki peradaban maju dan berkelas jika para pelajar-santri nya tidak mau serius belajar mencari ilmu. Jangan pernah membayangkan enaknya surga jika para pelajar-santri nya enakan tidur pulas saat ngaji atau belajar.
Allah SWT sendiri mengkhususkan ayat bagi para pencari ilmu. "Allah akan mengangkat orang2 beriman di antara kamu dan orang2 yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat" (Al Mujadalah: 11).
Jalan Jihad Pelajar-Santri
Dalam proses belajar, saya sebut sebagai "jalan Jjhad pelajar-santri", ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan. Menurut Imam Al Zarnuji dalam kitab Ta'lim Al Muta'allim, bahwa ketentuan mencari ilmu ada enam, yaitu cerdas-mau berpikir, penuh semangat, sabar-penuh perjuangan, ada bekal-biaya, Bersahabat dengan guru, dan waktu yang lama.
Cerdas salah satu sayaratnya. Saya lebih suka memaknainya sebagai kemauan untuk berpikir. Sebodoh-bodohnya orang -meskipun tidak ada yang benar-benar bodoh di dunia ini- pasti ada sedikit keinginan untuk berpikir. Dalam berjihad mencari ilmu pelajar-santri sudah seharusnya selalu mau berpikir.
Setelah kita memiliki kemauan untuk berpikir, jalan selanjutnya adalah semangat. Dengan penuh semangat apa pun mudah diraih, termasuk ilmu. Semangat inilah yang mengantarkan pelajar-santri memperoleh predikat takwa.
Kalau kita sudah mau berpikir dan memiliki semangat, maka dengan sabar dan penuh perjuangan apa yang kita cari dari proses belajar sedikit-demi sedikit akan kita raih. Kita jangan berharap tinggi dapat ilmu laduni kalau dalam belajar saja tidak mau bersabar dan berjuang. Maksimalkan dan upayakan segalanya dalam proses, biarkan hasil akhir Allah SWT yang menentukan.
Ketiga ketentuan di atas harus pula ditopang oleh kebutuhan akan bekal dan biaya dalam belajar. Kita perlu makan-minum, membeli alat untuk belajar, dan kebutuhan lainnya. Namun biaya jangan menjadi penghalang kita dalam belajar. Sekarang sudah zamannya kemudahan dalam belajar. Tidak perlu biaya mahal untuk belajar. Kalau kita berangkat dari keluarga yang kurang mampu tidak ada alasan untuk tidak belajar. Manfaatkan apa yang ada dan syukuri.
Nah, belajar juga perlu guru. Di Sekolah atau madrasah kita akan menemukan guru dengan berbagai macam pola pikir dan perspektif keagamaan tertentu. Bersahabatlah dengan guru yang memiliki pemikiran terbuka soal keagamaan. Guru yang tidak memaksa apalagi suka mencaci maki dan mudah mengkafirkan sesama orang Islam.
Kalau di pesantren ada kiai-nyai dan ustad-ustadzah yang sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Carilah guru yang jelas sanad keilmuannya dan bersahabatlah dengannya. Dengan penuh rasa takdim, kalau belajar pada guru, kita juga bisa banyak bertanya dan berdiskusi langsung. Sehingga ada transfer atau sharing keilmuan. Bersahabat dengan guru atau ustad sangat dianjurkan agar ikatan batin antara guru-murid semakin kuat. Khusus untuk pelajar-santri perempuan jangan sampai kepincut guru-ustad karena kegantengannya ya. Biasanya saling naksir-menaksir, bisa jadi nanti dijodohkan Pak Kiai dan Bu Nyainya.
Boleh kita belajar dari sumber lain seperti buku, internet, dan lain lain asalkan jelas dan kita harus pintar-pintar memilah dan memilih sumbernya. Jangan sampai terjebak dalam sumber-sumber yang tidak jelas, yang menjerumuskan kita pada kedangkalan berpikir. Apalagi belajar ilmu agama, jangan sampai kita terjerembab pada lembah keagamaan yang penuh kebencian dan caci maki. Kalau soal ini carilah buku-buku dan situs-situs dakwah yang santun dan mengajak pada kebaikan.
Lalu belajar perlu waktu yang lama. Kenapa? Kata al-Maghfurlah Akang KH Muhammad (Pendiri Ponpes Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon), mencari ilmu itu seperti menggali sumur di tanah yang tandus. Satu sampai enam meter menggali tanah mungkin saja belum menemukan titik mata air. Tapi kalau sudah 7 meter ke atas bisa jadi kita menemukan mata air, meskipun cuma setetes. Begitupun mencari ilmu, harus lama waktunya. Maka kepada para santrinya, Akang menganjurkan untuk mondok minimal 7 tahun. Kalau 7 tahun, meskipun tidak pintar2 amat, yakin akan ada setetes ilmu yang kita peroleh dan manfaat.
Lah, sekarang zaman sudah semakin canggih dan modern. Selain enam tadi, kita juga harus mampu menggunakan teknologi atau perangkat modern seperti komputer, laptop, smartphone, dan lain sebagainya. Juga mampu mengaplikasikan perangkat lunaknya dengan bijak. Kita akan menemukan banyak sekali perangkat untuk belajar dari internet dan aplikasinya. Karena dunia internet bebas nilai, maka para pelajar-santri mesti bijak dalam menggunakannya.
Dari uraian di atas, kita juga mesti ingat dawuh sesepuh kita di pesantren: rajin belajar-ngaji supaya pintar, dan rajin berjama'ah supaya benar. Oleh karena itu, yuk belajar dan terus belajar. Ngaji dan terus ngaji. Belajar-Ngaji tentang ilmu pengetahuan disertai akhlak al karimah adalah jalan jihad paling elegan yang mampu membawa kita bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a'lam bisshawabi.
Penulis adalah santri Pondok Kebon Jambu Al Islamy Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon