Opini

Inklusivisme dalam Kesadaran Beragama di Indonesia

Rabu, 2 September 2015 | 06:13 WIB

Oleh: Ahmad Rifqi Riva'i
Indonesia merupakan bangsa yang besar dan memiliki beragam agama. Terhitung ada 6 agama yang disahkan oleh pemerintah Indonesia untuk hidup secara berdampingan di negeri ini. Hal tersebut patut kita syukuri bersama, karena sampai saat ini keyakinan yang dianut oleh masyarakat indonesia tidak mempengaruhi kedamaian dalam bernegara. Yang sangat luar biasa mereka bersatu padu dalam bingkai NKRI, bersatu padu dalam membangun negeri dan<> peradaban Nusantara.  Dengan demikian perbedaan agama bukan hal utama yang mesti dipermasalahkan.

Namun pada saat-saat ini sering kita jumpai kabar yang mengharukan seantereo dunia tentang konflik agama. Sebut saja negara Myanmar yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Budha telah tega membumi hanguskan masyarakat Muslim di Rohingya sehingga mengharuskan mereka melarikan diri dari kampung halamannya. Tidak jauh berbeda dengan kasus pembakaran rumah ibadah orang Islam di Papua yang melibatkan kaum Nasrani. Palestina-Israel yang bertikai, seolah-olah di negeri sana kericuhan antara Yahudi dan Islam selalu menjadi pertengkaran yang tidak pernah usai. Dengan demikian secara tidak langsung hal-hal yang demikian telah menggambarkan bahwa konflik yang terjadi sangat erat keterkaitannya dengan hal-hal keagamaan.

Berkaca pada negara Indonesia sendiri, konflik-konflik yang mengatasnamakan agama terus bergeliat dan merambah di negeri ini. Dengan alasan yang berbeda-beda mereka berdalih bahwa ajaran mereka itu yang paling benar. Faham ekslusif itulah yang akhirnya membawa mereka ke dalam ranah perpecahan. Ini tidaklah dibenarkan, karena setiap agama itu mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama yang berhak mengklaim bahwa ajarannya yang paling baik di masyarakat luas, terutama pada masyarakat Indonesia yang majemuk yang setiap suku dan agama bercampur baur dalam kedamaian.

Lalu dengan demikian maka akan kita temukan masalah inti dan yang terbesar adalah apakah setiap agama itu mengajarkan sikap intoleransi dan apakah setiap agama itu menghendaki sebuah permusahan kepada yang bukan golongannya? Tentu hal ini tidak bisa dibenarkan karena persepsi ajaran agama tentang intoleransi itu tidak jauh berbeda. Semua agama sepakat bahwa tiada agama yang tidak toleran. Sebut saja agama Kristiani yang mengajarkan tentang kasih sayang, agama Konghucu dan Budha pun demikian. Terlebih Islam, sebuah agama yang kitab sucinya itu sangat menerima perbedaan dan toleransi. Maka sebuah kekeliruan apabila setiap agama yang ada di Indonesia itu mengajarkan intoleransi, karena ini akan berbenturan dengan ajaran penganut agama itu sendiri.

Sebagai orang Islam yang baik kita harus bijak dalam bertindak. Terutama kepada hal-hal yang bersifat deskriminan. Toleransi harus dijunjung, karena sikap toleransi ini adalah salah satu pemahaman yang diajarkan oleh Al-Qur'an. Ada kurang lebih 300 ayat yang mengajarkan tentang toleransi dan tercantum pada kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Selain anjuran toleransi, penghargaan terhadap agama-agama lain juga terdapat padanya. "Lakum Dienukum Waliadien" (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku) itulah sedikit kutipan dalam surat Al-Kaafirun yang mengaskan bahwa Islam sangat menghargai segala macam perbedaan termasuk perbedaan agama itu sendiri.

Mungkin boleh-boleh saja seseorang mengklaim agama yang dianutnya adalah agama yang paling benar. Tetapi hal itu lebih baik disampaikan pada umat yang seagama dengannya. Jika tidak begitu dikhawatirkan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Terlebih setiap agama memiliki klaim yang sama dalam membenarkan agamanya masing-masing. Sikap dan pandangan yang mengarah kepada inklusivisme harus diperteguh kembali, namun sayangnya inklusivisme pada umumnya hanya dianut oleh kelompok minoritas. Inilah yang menjadi tugas besar umat manusia dimanapun berada. Jika inklusivisme ini tidak bisa diteguhkan kembali maka dikhawatirkan pemahaman eklusivisme yang telah meninggalkan jejak sejarah kelam yaitu berupa konflik dan peperangan akan terus berlanjut. Tentu kita tidak ingin hal itu terjadi, karena naluri manusia adalah ingin hidup dalam kemerdekaan. Apabila konflik dan peperangan terus berlanjut, maka hidup merdeka hanyalah sebuah kekosongan.

Tinjauan dasar terhadap pandangan inklusivitas ini sejalur dengan apa yang terkandung dalam surat Ar-rum[30] : 30, "Tegakkan wajahmu keada agama secara lapang dada, yaitu fitrah Tuhan yang difitrahkan kepada manusia. Tidak ada perubahan pada ciptaan Tuhan. Itulah agama yang lurus, tapi sebagaian besar dari manusia tidak mengetahuinya". dalam ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa pandangan inklusivisme ini menuju pada fitrah dasar manusia yaitu suci dan benar. Dengan pemahaman yang mengarah kepada sikap yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar akan menimbulkan sebuah kesadaran beragama yang baik.

Janganlah agama ini menjadi sebuah konflik. Pada dasarnya semua agama bertujuan sama, dan memiliki jalan sendiri untuk menebar kebaikan ke seluruh umat manusia. Adapun ada yang mengatakan bahwa Islam itu teroris, Yahudi itu biadab dan lainnya itu hanyalah sebuah tuduhan yang murahan. Karena yang salah itu bukan ajarannya, melainkan oknum yang memahami agama tidak benar.

Tentu di luar sana banyak sekali orang-orang yang menjadikan agama sebagai sebuah batu loncatan untuk mencapai keinginannya. Dengan alasan sebuah jabatan, nama baik, bahkan popularitas agama tega mereka lacurkan. Semua agama pasti memiliki problem yang seperti itu. Tidak terbatas kepada siapapun itu, agama selalu saja ada yang menjadikannya kambing hitam. Padahal agama sendiri dengan mentah-mentah melarang perbuatan itu, karena yang selama ini dipahami agama itu bukan alat politik atau dagangan yang bisa saja diperjualbelikan, melainkan sebuah ajaran yang bijaksana.

Maka jawabannya adalah kesadaraan agama itu sendiri yang akan menuntun kita menuju pemahaman yang benar, tingkah laku yang terpuji dan sikap toleransi yang tinggi. Kesadaran beragama itulah yang akan menjadikan segalanya indah, Islam akan tenang dengan segala aktivitas peribadahannya, Kristen akan tentram bergaul dengan siapa saja, Konghucu akan terlindungi dari marabahaya, dan lain sebagainya.

Kesadaran itu pula yang akan menjadi katalisator kedewasaan kita. Kedewasaan dalam menghadapi setiap permasalahan, konflik dan memaknai kehidupan itu sendiri. Jika kesadaran beragama itu sudah terbangun maka tidak mungkin kita akan menemukan sebuah kericuhan. Oleh karenanya, bukan agama yang bersalah dalam setiap problematika kemanusiaan, melainkan manusia sendiri itulah yang salah dalam menyadari ajaran agama.

Sebuah harapan besar apabila kesadaran beragama ini akan dijadikan modal pijakan untuk menggalang persatuan dan kesatuan, sehingga Indonesia ini menjadi kiblat perdamaian dunia. Bahkan menjadi pelopor dalam perdamaian. Namun harapan ini perlu proses yang panjang dan lama. Keterlibatan kitalah yang akan mengubah itu semua, tidak perlu menunggu orang lain yang memulai, cukup kita dan diri kita saja yang mengawalinya.

* Penulis adalah kader PMII


Terkait