Opini

Ijtihad Politik: Demokrasi Kemanusiaan

Rabu, 27 Juni 2018 | 11:00 WIB

Ijtihad Politik: Demokrasi Kemanusiaan

ilustrasi (politiktoday)

Oleh: Moh Wasik

Yang lebih baik dari politik adalah kemanusiaan (Gus Dur).

Dialektika dan diskursus politik tidak henti-hentinya menjadi perbincangan di media sampai di warung kopi. Berbicara politik yang terlintas dalam pikiran adalah pemilihan presiden, gubenur, bupati, wali kota, kepala desa. Lebih singkatnya cara pandang yang terpaku pada suatu kontestasi pemilihan sosok pemimpin.

Bahkan lebih miris, politik identik dengan framing  dan stigma buruk dan 'menjijikkan' implikasi runtuhnya sendi kepercayaan (trust) rakyat terhadap sebagian besar janji-janji politisi. Dari Pemilu ke Pemilu, Pilkada ke Pilkada, hingga Pilkades, rakyat sering kali hanya meratapi janji setelah sosok kandidat, pasangan calon atau partai politik yang didukung tak kunjung merealisasikan janjinya.

Saat ini memang sulit menemukan pemimpin, figur atau kader partai politik yang dapat diteladani seperti sosok kepemimpinannya kanjeng Rasul. Pola kepemimpinannya yang spektakuler dan fenomenal tidak hanya membuat namanya tercatat dalam ensiklopedia Islam, namun juga tercatat rapi dalam pengakuan intelektual Barat. 

Seperti yang ditulis Michael Hart dalam buku The 100: A Rangking of The Most Influential Persons in History, menempatkan sosok figur keteladanan Rasul sebagai tokoh pertama yang paling memberikan pengaruh dan inspirasi bagi dunia.  Pengakuan KS Ramakrishna Rao, Professor Philosophy dari India dalam bookletnya, mengakui kehebatan Rasul dan dilukiskan dengan ungkapan yang indah. 

Pengakuan Sir George Bernard Shaw seorang tokoh Irlandia,pendiri London School of Economics, mengatakan Muhammad Saw menjadi pemimpin dunia pasti berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian besar, hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia. Kemudian pengakuan Karen Armstrong, dalam A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, "Muhammad adalah seorang jenius yang sangat luar biasa."

Penegasan Rasul sosok pemimpin yang amanah, jujur, cerdas dan dapat dipercaya sudah ditegaskan dalam Al-Qur'an. "Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam:4). "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (QS. al-Ahzab:21).

Tentu kita merindukan pemimpin agung seperti Baginda Rasul, pemimpin yang adil, santun, penyayang, cerdas, yang senantiasa melindungi umatnya. Tentu harus kita akui mencari sosok sesempurna beliau sangat sulit dan mustahil.

Akan tetapi, beliau sudah memberikan pencerahan, arahan dan ajakan untuk menjadi pimpinan serta memilih pemimpin yang ideal dalam koridor agama berbangsa dan bernegara. Setidak-tidaknya sifat-sifat Rasul yang harus ada dalam jiwa pemimpin ada empat. Sudah jamak bahkan kita menghafal di luar kepala yakni siddiq, amanah, tabligh dan fathanah.  

Tetapi, penulis akan menyoroti memilih pemimpin baik untuk konteks Pemilu dan Pilkada dan lainya dengan pendekatan syarat menjadi imam shalat sebagai standarisasi dan tolok ukurnya. Shalat sebagaimana kita ketahui dalam Islam adalah penentu, penyempurna dari ibadah dan prilaku manusia.

Pemimpin yang baik dan ideal setidaknya memiliki persyaratan sebagaimana imam shalat. Dalam kitab al Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah Al-Zuhaili disebutkan syarat utama menjadi imam dalam shalat, yaitu: Islam, berakal, laki-laki, suci dari hadas, bagus bacaan dan rukunnya, selamat, sehat (tidak sakit), tidak uzur dan lidahnya fasih, dapat mengucapkan bahasa Arab dengan tepat. 

Pertama, kriteria pemimpin yang kita harus pilih adalah Muslim, artinya pemimpin yang menjadi kita pilihan harus seagama dan sekeyakinan. Konsep Al-Qur'an dalam surat Al-Kafirun ayat terakhir berbunyi "lakum dinukum wa liyadin" artinya bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku. Dalam ayat ini, al-din lebih dipahami bukan hanya keyakinan agama an-sich,  tetapi juga sebagai ekspresi dari sikap dan keyakinan terhadap sebuah pilihan dalam pemilihan pemimpin dalam konteks yang seagama dengan kita. 

Dengan kata lain, memilih Muslim yang jujur, amanah cerdas serta memperjuangkan aspirasi rakyat hukumnya wajib.  Pasti di sini terjadi kompatibel bahwa siapa pun pemimpinnya dangan latar belakang agama yang berbeda tidak menjadi persoalan asalkan adil. 

Ungkapan yang gencar dijadikan landasan di sini ungkapan yang pernah disampaikan oleh Ibnu Taimiyah yang ia kutip dari Ali bin Abi Thalib. "Akan kuat suatu negara itu kalau dipimpin dengan adil, tak peduli apakah yang jadi pemimpin Muslim atau kafir. Akan hancur suatu negara apabila pemimpinnya zalim, tak peduli itu Muslim atau tidak."

Saya bukan tidak setuju dengan pernyataan tersebut yang menekankan pada signifikansi keadilan. Tetapi, pernyataan itu perlu digali konteks yang melatarbelakangi Ali bin Abi Thalib mengeluarkan fatwa demikian. Karena teks itu tidak muncul dengan sendirinya. Dalam bahasa Edward Sa'id teks dan penulis (pembuat teks atau yang mengucapkan teks) tidak lahir dari ruang yang kosong.

Kedua, berakal. Tidak sah kepemimpinan anak yang belum baligh, orang stres, gila, cacat mental, dan semacamnya. Sebab, memimpin itu berarti menangani urusan orang lain. Dalam term Al-Qur'an berakal dijumpai kalimat "ulil albab" dalam pengertian secara sederhana sering diartikan sebagai orang yang berakal atau orang yang berpikir.

Pemimpin harus memiliki jiwa ulil albab. Dalam Al-Qur'an ulul albab diulang sebanyak 16 kali.  Dari elaborasi makna ulul albab dalam teks Al-Qur'an, ulul albab secara skematik dapat dirumuskan dalam 'berkesadaran histories-primordial atas relasi Tuhan-manusia-alam, berjiwa optimis-transedental atas kemampuan mengatasi masalah kehidupan, berpikir secara dialektis, bersikap kritis, bertindak transformatif'.

Ketiga, baligh. Menurut bahasa sendiri mempunyai artian sampai. Pengertian baligh menurut istilah ialah telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaannya. Raymond Bernard Cattell, seorang psikolog abad 20, menyebutkan bahwa salah satu syarat penting untuk menjadi seorang pemimpin adalah kedewasaan. Kedewasaan membantu seorang dalam mengambil sikap dan keputusan-keputusan berdasarkan perkiraan-perkiraan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat. 

Kesuksesan dan kegagalan seseorang untuk memimpin  akan sangat tergantung pada kedewasaan sikap dan tindakan yang akan diambilnya. Di sinilah elanvital kedewasaan bagi seoarang pemimpin. Bukan yang lebih tua tapi lebih dewasa, karena tua itu pasti, tapi dewasa adalah pilihan. Kedewasaan bukanlah suatu keadaan yang statis, tetapi merupakan suatu keadaan menjadi (a state of becoming) dari being ke becoming.

Keempat adalah laki-laki. Penelitian menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki testosteron yang tinggi biasanya lebih dominan dan percaya diri. Secara alamiah, hormon testosteron yang dimiliki laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Laki-laki identik tegas, mengambil keputusan akal, berani meski bukan berarti perempuan tidak memiliki sifat yang sama.

Laki-laki di sini tidak lagi diartikan secara eksistensial tapi secara esensi, yakni pemimpin harus memiliki keberanian,  ketegasan dalam melawan ketimpangan sosial dan kemiskinan, baik kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. Jadi laki-laki di sini bukan secara fisik anatomis-biologisnya, tapi sifat psikologisnya. Sehingga tidak membuat perempuan terhalang untuk sama-sama menjadi imam.

Terlebih semakin familiarnya wacana gender menjadi perbincangan dunia sejak 977 ketika kelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu patriarchal atau sexist. Dan perundang-undangan di Indonesia juga melindungi perempuan masuk bagian dalam pemegang kebijakan,  ini adalah legitimasi bagi perempuan berhak dipilih sebagai pemimpin. Bahwa ada hadits lan yufliha qaumun wallau amrahum imraatan, melihat teks dan konteks lahirnya hadits tersebut disabdakan dalam konteks negara monarki. 

Dalam pandangan double movement Fazlur Rahaman menyatakan bahwa untuk memahami dan menafsiri Al-Quran, dibutuhkan kajian terhadap sisi historis dengan menyajikan problem kekinian ke konteks turunnya Al-Qur’an. Begitupun memahami dan menyikapi hadits tersebut, perlu kontekstualisai teks ke kontekstualiasi sistem kenegaraan (baca: Indonesia).

Kelima, suci dari hadas. Secara terminologi hadas adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor, dan tentu menjadi penghalang sahnya shalat. Bagitupun pemimpin dalam suatu bangsa, ibarat shalat adalah sistem kenegaraan dan makmum adalah rakyatnya, pemimpin harus suci dari hadas. Hadas di sini sifat kotor seperti bermental korupsi, nepotisme, otoriter,  melindungi kaum kapitalis untuk memperkaya pribadi dan golongannya, membiarkan ketidakadilan bahkan melegitimasinya serta sifat kotor lainnya.  

Karena dalam konsep Niccolo Machiavelli, seorang filsuf Abad Pencerahan secara psikologis manusia pada dasarnya condong pada kejahatan yang ada dalam pikirannya. Ia akan berbuat ketika memiliki kesempatan. Karenanya mereka diliputi kekuasan, napsu dan ketamakan. Seorang pemimpin harus suci dan terhindar dari hadas dalam tafsir sifat kotor yang tidak berperikemanusiaan.

Keenam, bagus bacaannya dan rukunnya. Seorang pemimpin harus memiliki bacaan yang bagus baik bacaan secara teks dan keadaan sosial masyarakat. Bacaan yang bagus memberikan konsekuensi baik terbentuknya wawasan yang luas dan berpikir out of the box. Wawasan tersebut kemudian digunakan olehnya untuk meformulasi gagasan, visi-misi, program kerja dan kebijakan-kebijakan arif dan berbasiskan kemaslahatan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Selanjutnya bagus rukunnya, pemimpin memiliki track record yang baik karena visi misi seorang pemimpin harus diimbangi oleh rekam jejak atau track record masa lalunya. Visi-misi yang bagus tidak punya banyak arti jika rekam jejak masa lalu pemimpin itu penuh masalah. Track record seorang kandidat dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya lingkungan, riwayat kerja, dan riwayat kepemimpinan.

Pemimpin yang berada dalam lingkungan kapitalis berpotensi untuk berjiwa kapitalis dan menindas. Pemimpin yang memiliki riwayat kerja dan  kepemimpinan yang koruptif akan berpotensi korupsi. Di sinilah track record harus menjadi pertimbangan penting karena pemimpin adalaha contoh dan track record adalah realitas seorang pemimpin yang nyata. Harus menjadi preskripsi para ulama, kiai, sesepuh, tokoh masyarakat dan partai politik untuk mengusung pemimpin yang bersih dan mampu menciptakan kemaslahatan umat.

Ketujuh, selamat tidak sakit. Sudah menjadi keharusan pemimpin harus senantiasa sehat baik jasmani dan rohani. Karena pemimpin harus merealisasikan visi-misi, gagasan dan program kerja seperti saat menyampaikan dalam debat kandidat dan masa kampanye.  Sehingga, tidak hanya menjadi teks mati atau bahkan teks yang hanya dibuat menaruh simpati masyarakat, tapi berwujud teks yang hidup dan bergerak di tengah kehidupan masyarakatnya.

Kedelepan, lidahnya fasih. Dalam tafsir kepemimpinan dimaknai memiliki kemampuan dalam berkomunikasi. Seorang pemimpin dituntut vokal berbicara untuk membangun komunikasi yang hebat dengan banyak orang.

Salah satu faktor suksesnya seorang pemimpin terletak pada kemampuan berkomunikasi.  Dalam bahasa Bung Karno pemimpin adalah penyambung lidah rakyat Indonesia.Pemimpin juga hendaknya memperlihatkan contoh kepemimpinan yang efektif melalui kemampuan berkomunikasi yang konsisten dalam komitmen yang dipercaya oleh banyak orang.

Singkatnya pemimpin harus memiliki kapabilitas dan integritas, kapabilitas sebagai manifestasi dari karakter kerja dan integritas sebaga wujud dari karakter moral. Kedua syarat tersebut terakumulasi pada syarat menjadi imam shalat sebagaimana pemaparan tafsir di atas.

Secara yuridis-konstitusional penetapan pemimpin di Indonesia mulai presiden, gubernur, bupati, wali kota sampai kepala desa dipilih melalui pemilihan oleh rakyat secara langsung, bebas,  jujur dan rahasia.  Hal ini sebagai implementasi dari kedaulatan ditangan rakyat dari amanah UUD 45 pasal 1 ayat 2.

Dalam pemilihan ini muncullah sistem pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagaimana yang diatur dalam perundangan-undangan Indonesia. Pemilu dan Pilkada merupakan dua hal yang memiliki sifat substantif dan teknis-operasional yang sama, namun kedudukan normatif yang berbeda. Secara substantif memiliki kesamaan, karena baik Pemilu maupun Pilkada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara demokratis untuk memilih pemimpin bangsa. 

Ijtihad politik ini berlangsung lima tahun sekali. Pada momen inilah kita menentukan secara langsung figur yang layak memimpin negara ini untuk masa lima tahun ke depan, meningkatkan kesejahteraan dan menyelesaikan segala permasalahan. Tak bisa dipungkiri, negara Indonesia masih memiliki banyak permasalahan yang harus diselesaikan seperti perilaku korupsi, penegakan hukum, peningkatan ekonomi, hingga pemberantasan narkoba. Hal tersebut menuntut kemampuan pemimpin masa depan untuk memperbaiki negeri ini.

Demi tercapainya cita-cita politik yang berorientasi kemanusiaan dan kebaikan bersama. Sebagaimana pandangan Aristoteles politik  adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Untuk mewujudkan cara agung ini perlu usaha serius dan komprehensif dengan istilah lain ijtihad politik. Ijtihad politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang mencurahkan seluruh kemampuan dan pikiran dengan sungguh-sungguh dalam memilih dan menetapkan kebijakan negara, salah satunya dengan jalan memilih pimpinan negara. 

Di sini semua pihak harus dengan sungguh-sungguh melahirkan pemimpin yang berporos pada kesejahteraan rakyat.  Ulama, kiai, tokoh masyarakat harus bersungguh-sungguh mengawal pemimpin yang berkapabilitas dan berintegritas. Tentu tidak hanya saat pencalonan, masa kampanye dan maklumat penyatuan suara.

Ulama, kiai, dan tokoh masyarakat harus dengan sungguh-sungguh mengawal visi-misi, program yang dijanjikan calon pemimpin. Sehingga, visi-misi dan program kerja menjadi motor perubahan untuk menciptakan trust masyarakat. Pada sisi lain untuk menghilangkan anggapan masyarakat bahwa pesantren dan kiai hanya menjadi kendaraan partai politik. 

Kandidat yang kelak akan menjadi pemimpin harus sungguh-sungguh menciptakan visi-misi dan program kerja yang realistis dan benar-benar dibutuhkan masyarakat, serta bersungguh-sungguh untuk merealisasikan, karena rakyat engkau terpilih. Perkataan Presiden pertama Soekarno "Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat," mestinya senantiasa diresapi.

Bagi rakyat yang akan memilih harus bersungguh-sungguh menentukan pilihannya, sebagaimana rekomendasi di atas. Memilih dengan kesadaran yang kritis bukan kesadaran palsu. Di tangan rakyatlah masa depan negeri ditentukan. Jangan sampai pertaruhan nasib lima tahun ditukar hanya nilai uang yang jika dibeli beras saja tidak cukup. Sungguh lebih hina dari seorang pelacur jika hanya mangadaikan suara dengan uang lima puluh ribu atau maksimal seratus ribu, lebih miris kurang dari itu.

Bagi partai politik bersungguh-sungguh megusung pasangan pemimpin atas dasar aspirasi  masyarakat, kader yang terbaik,  bukan karena cucu, keponakan dan kerabat pemilik partai yang berbasis dinasti.

Sebagai ijitihad politik mewujudkan Pemilu dan Pilkada yang berbasis kemanusiaan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, substansi Pemilu dan Pilkada adalah norma, aturan pelaksana harus berorientasi kemaslahatan dan berbasis kemanusiaan. Kedua, struktur Pemilu dan Pilkada adalah seperangkat penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang harus bersifat independen-efesiensi-profesionalisme-transparan. Ketiga, budaya dan kesadaran masyarakat. Masyarakat harus memiliki kepedulian dan perhatian penuh pada suksesnya pemilihan ini.

Masyarakat pun harus sadar orientasi Pemilu dan Pilkada yang sebenarnya, bahwa politik semacam ini adalah cara bukan tujuan. Maka antara cara dan tujuan dalam kaidah fiqh tujuan harus di dahulukan daripada cara. Tujuan politik semacam ini mulia dan baik maka harus dikerjakan dengan baik pula.

Dalam kaidah fiqh disebutkan "mankana amruhu ma'rufan fal-yakun bi ma'rufin." Maka tidak ada alasan bermusuhan karena perbedaan pilihan, tidak perlu mati-matian membela pilihan pribadi dan mencederai persatuan. Nilai kemanusiaan jauh lebih penting diprioritaskan dari kontestasi pemilihan semacam ini. Dalam hal ini Gus Dur berpesan, "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan." Politik hanya strategi untuk memastikan agar kita mampu menjaga kemanusiaan.

Wallahu a'lam bish shawab

Penulis adalah Presiden Mahasiswa IAIN Jember dan Koordinator Keilmuan PMII Komisariat IAIN Jember, aktif di komunitas baca Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember.


Terkait