Oleh Rohmatul Izad
Akibat
terlalu mengagungkan rasio, manusia modern mudah dihinggapi penyakit
kehampaan spiritualitas. Kemajuan yang begitu pesat pada wilayah ilmu
pengetahuan dan rasionalisme, tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok
manusia dalam aspek nilai-nilai transenden,
satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber Ilahiyah
melalui pengkajian dan pengamalan esoterik. Landasan epistemologis yang
paling primordial ini menentukan karakter ruhani dari kehidupan manusia.
Teori
psikologi trans-personalisme kembali menjadi kajian serius dalam
pengembangan dunia spiritualitas yang berfungsi memberikan pencerahan
dan makna kehidupan. Dalam kenyataan ontologis, manusia adalah makhluk
spiritual yang memiliki pengalaman fisik dan bukan makhluk fisik yang
memiliki pengalaman spiritual.
Hal ini menjadikan spiritualitas
sebagai aktifitas yang sebenarnya alamiah dalam kehidupan manusia. Namun
demikian kealamiahan itu bukan serta merta tidak menimbulkan masalah.
Pasalnya, penyakit kehampaan spiritual manusia modern menjadi kenyataan
yang begitu kering akan kondisi-kondisi alamiah tersebut.
Spiritualitas,
menurut Ibn ‘Arabi adalah pengerahan segenap potensi rohaniyah dalam
diri manusia yang harus tunduk pada ketentuan syar’i dalam melihat
segala macam bentuk realitas baik dalam kehidupan empiris, maupun dalam
dunia meta-empiris. Ibn ‘Arabi memberikan jalan bagi kita tentang
bagaimana menyikapi dan mengelola kehidupan material.
Di era
modern, seringkali satu bentuk kemajuan diiringi dengan satu bentuk
kemunduran. Kemajuan rasionalisme menjadikan spiritualisme menjadi
mundur, padahal dua hal ini tidak bersifat oposisif, melainkan satu
bentuk kriteria yang harus ada dalam segenap kehidupan umat manusia.
Spiritualitas
Ibn ‘Arabi memiliki arti penting dalam mencari jawaban atas kekeringan
spiritual di era modern ini yang penuh dengan sifat-sifat materialisme,
skeptisisme, dan dogmatisme kaku sebagaimana kaum fundamentalisme lintas
Iman. Bukan sesuatu yang wajar jika dikatakan gejolak kemunduran
spiritual ini sebagai prestasi kemajuan di era modern. Kenyataannya,
kehampaan spiritual manusia modern membuat mereka kehilangan arah,
orientasi kehidupan yang sempit, dan pandangan dunia yang terlalu
mengedepankan sifat ke-material-an segala sesuatu.
Sebagai jawaban atas problem kekinian
yang akut, kita semestinya belajar dan menengok masa lalu guna mencari
titik temu atas kehidupan panjang yang bergejolak ini. Sebagai satu
alternatif, tulisan singkat ini ingin menawarkan pemikiran spiritualitas
Ibn ‘Arabi dan menjadikannya kontekstual untuk kita hari ini.
Sebagai suatu tawaran penting, Ibn ‘Arabi membagi spiritualitas dalam tiga karakteristik. Pertama, spiritualitas
sebagai gerakan psikologis yang senantiasa berorientasi ke-Ilahi-an.
Gerakan ini muncul dari satu keyakinan yang teguh dalam melihat
ke-Esa-an Yang Maha Mutlak wujudnya. Dia sebagai sumber, sekaligus
sebagai objek inspirasi, bahkan sebagai sentra orientasi.
Keyakinan
semacam ini haruslah menjadi prinsip dasar dalam beragama. Gerakan
ke-Ilahi-an ini harus bergerak pada dua arah sekaligus, seperti ungkapan
Ibn ‘Arabi yang indah “Mengetahui
kemajemukan makhluk dalam kesatuan, dan menyaksikan kesatuan di dalam
kemajemukan makhluk, dengan tajjalinya: Yang Maha Esa pada yang banyak,
dan yang banyak pada Yang Maha Esa”.
Kedua, spiritualitas
sebagai gerakan integralistik. Tidak hanya sebatas fenomena psikologis,
tetapi juga sebagai perwujudan ketaatan totalitas potensi insaniyah
kepada syar’i dalam satu tujuan, yakni beribadah kepadanya. Dengan
demikian, antara syariat dan hakikat memiliki hubungan integralistik
yang tidak bisa dipisahkan seperti dua jiwa yang bersatu di hadapan
cinta.
Ketiga, spiritualitas
sebagai gerakan nilai. Nilai itu menjadi sikap moral positif, yang
mengaktualisasikan penciptaan fitrah manusia sebagai citra Allah dalam
bentuk penampilan manusia yang berakhlak dengan akhlak Allah. Bagi Ibn
‘Arabi, pemaknaan spiritualitas akan menyalahi bahkan akan merusak nilai
kemanusiaan, jika unsur-unsur potensi batin dalam diri manusia
mengabaikan aspek-aspek mendasar dalam perjalanan spiritualitas.
Jadi,
diplomasi spiritual harus mengedepankan beberapa aspek tertentu agar
terhubung dengan yang Ilahi. Ini bukanlah satu-satunya jalan namun
adakah jalan pintas yang lebih baik untuk menuju Tuhan selain dari pada
mengedepankan sikap trans-personalisme Ilahi?. Orang tidak harus mencari
guru tarikat atau sufi untuk mendekatkan diri dengan yang Ilahi. Tetapi
mereka harus belajar dari orang-orang yang telah cukup pantas untuk
berdialog dengan Tuhan.
Semakin kita berpaling dari yang Ilahi,
semakin hati kita keruh dan bahkan kering. Kita tidak perlu atau
seharusnya memotong tali keduniawian, tetapi yang diperlukan adalah
mengendalikannya. Para guru sufi mengajarkan tentang sikap pengendalian
ini. Menjadi sufi bukanlah dengan cara menjadi miskin dan menjaga jarak
atas orotitas dunia, tetapi bagaimana bahkan dalam keadaan yang begitu
pahit manusia bisa selalu bernafas seperti ruh Ilahi yang menghidupi
jiwa-jiwa kematian.
Manusia hari ini harus bisa berdiri dan
berkata “iya” terhadap spiritualitas, bukan sebagai kebutuhan tetapi
sebagai jawaban. Tidak semua pertanyaan ada jawabannya, sementara setiap
jawaban tidak selalu membutuhkan pertanyaan. Ada saat di mana manusia
harus diam untuk merefleksikan apa kenyataan serius di kehidupan ini.
Manusia modern hanya butuh beberapa saat untuk diam, memikirkan ulah
tentang dari mana dan akan kemana kehidupan ini tanpa harus pusing
dengan ini dan saat ini.
Rohmatul
Izad, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada dan
Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu
Hikmah Krapyak Yogyakarta.