Opini

Haji Organik Penyubur Persaudaaan Imani

Senin, 25 Oktober 2010 | 02:26 WIB

Oleh: Zenno Noeralamsyah

Semenjak dilahirkan, Islam dengan konsepsi tauhidnya berupaya untuk menggugurkan semua bentuk ikatan persaudaraan primordial warisan budaya jahiliah, ikatan persaudaraan yang hanya berlandaskan pada kesukuan atau strata sosial. Alquran turun mendekonstruksi konsep persaudaraan (ukhuwwah) yang ada di masa jahiliah, yang semula hanya berdasarkan pada garis keturunan dan kesamaan asal kabilah, menjadi lebih universal sebagai persaudaraan imani yang berdasarkan pada keimanan. Sehingga sekat-sekat kesukuan, garis keturunan, atau letak geografis dapat diruntuhkan dengan tali keimanan. Slogan persaudaraan dalam Alquran yang berbunyi “innamā al-mu’minūna ikhwat[un]”, melambangkan bahwa semata-mata keimanan yang menjadikan manusia bersaudara, dan bukan faktor lain. Selain dengan konsepsi wahyu, anjuran Islam untuk selalu menjaga sekuat tenaga dalam persatuan umat direfleksikan dalam berbagai ibadah yang disyariatkan oleh Allah.<>

Model ibadah dalam Alquran hampir selalu memiliki dua sisi yang tak bisa dipisahkan ibarat sekeping mata uang; dimensi transendental dan dimensi sosial. Sujudnya seseorang hingga dahinya menghitam tidaklah mencerminkan ibadah yang sehat jika dari mulut yang sama masih keluar umpatan kepada orang lain, celaan dan hujatan kepada saudaranya, dan jika masih saja membuat orang yang dekat dengannya merasa tidak aman dan tidak selamat. Infak semisal zakat, jelas sekali disyariatkan agar harta tidak melulu berputar di kalangan tertentu, tapi si miskin bisa makan enak dan berpakaian layak. Apalagi haji, ibadah ini terlalu padat akan sosial-eksoteris. Bahkan menurut Ayatullah Khomeini, haji adalah ibadah yang memiliki nuansa politik.

Semestinya orang Indonesia adalah manusia yang paling pintar memaknai haji dan menangkap kearifan simbolik di dalam rangkaian ibadahnya. Karena masyarakat kita sangat erat dengan lambang dan simbol yang mengandung makna filosofis. Tarian tradisonal melambangkan gerakan filosofis pribadi bangsa Indonesia. Garuda, bendera merah putih, bentuk rumah, upacara adat, kenduri, rupa-rupa makanan tradisonal, semua mempunyai makna simbolik bagi masyarakat. Masyarakat Sunda misalnya mengenal betul siloka, simbol-simbol filosofis yang mengandung kearifan dan makna kehidupan di balik fisiknya. Pun demikian dengan haji, bukan pencarian huruf “H” di depan nama, tapi ibadah yang satu ini penuh sesak dengan filosofi kehidupan. Ibadah yang mengajarkan manusia untuk merenungi hampir semua dimensi kehidupannya.

Ibadah haji dimaknai secara spiritual-revolusioner oleh Dr. Ali Shariati ketika menuangkan pengalaman berhajinya dalam buku Hajj (The Pillgrimage). Dalam pandangannya hakikat haji adalah proses evolusi manusia menuju Allah. Haji adalah demontrasi simbolis dari falsafah penciptaan Adam. Haji adalah panggung sandiwara ilahi, yang menampilkan “pertunjukan penciptaan” (show of creation), “pertunjukan sejarah” (show of history), “pertunjukan keesaan” (show of unity), “pertunjukan ideologi Islam” (show of the Islamic ideology), sekaligus sebagai pertunjukan umat (show of the Ummah).

Haji menjadi syi’ar utama yang menggema ke seantero negeri, dikenal di seluruh kalangan dan di semua pemeluk agama, ciri bahwa umat Islam eksis sebagaimana terus berputarnya manusia di sekeliling Ka’bah. Imam Ja’far Al-Shadiq as. berkata, “Tidak akan pernah runtuh agama (Islam) selama Ka’bah masih berdiri tegak”. Perkataan ini bukan berlebihan, tidak main-main. Ka’bah (setidaknya dalam keyakinan penulis) tidak akan mengalami kejadian seperti halnya gedung WTC yang luluh lantak ditabrak pesawat terbang. Ka’bah telah eksis semenjak kehidupan Nabi Ibrahim, hingga sekarang Ka’bah tetap berdiri tegak. Tetapi sangat mungkin bernasib sama seperti sebagian besar masjid di Indonesia, megah dan hanya ramai di hari Jum’at, orang datang berbondong-bondong, ada yang sekedar beristirahat dan tidur menyimak khutbah, ada pencuri yang berlagak orang saleh dan pulang membawa sandal orang lain. Masjid hanya penuh dengan orang-orang beribadah ketika bulan Ramadhan saja, orang pun ramai mengaku pemakmurnya bila tiba giliran menjadi panitia zakat. Bukankah ini juga berarti sebuah keruntuhan? Keruntuhan maknawi suatu masjid. Ka’bah pun demikian, bisa saja diruntuhkan secara maknawi oleh kaum muslimin sendiri. Ketika putaran thawaf terus bergulir, namun roda kemiskinan terus berputar. Quota haji semakin menggelembung seperti menggelembungnya dana siluman ke saku sebagian anggota dewan. Ketika berhaji “setan” dilempari batu di Jamarat, tapi dijadikan sahabat sepulang dari sana.

Haji semestinya tidak mekanik tapi organik. Ibadah haji yang tidak sekedar berlangsung seperti mesin produksi, yang bergerak statis dengan tujuan mengasilkan produk (yaitu gelar “Haji”). Tapi menjadi haji organik, seperti halnya intelektual organik yang disebut oleh pemikir Italia Antonio Gramsci bahwa antara intelektualitas dan praktik ada interdependensi mutlak. Intelektual sejati adalah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari massa. Borjuis dalam ilmu namun proletar dalam perilaku dan kepedulian sosial. Cendekiawan yang mencium bau debu-debu buku pengetahuan dan juga mencium bau keringat tukang becak yang menggenjot kehidupannya. Maka haji organik adalah haji yang berusaha secara sempurna menunaikan ibadah haji sesuai tatacaranya secara fikih, dan pulang dari tanah suci menjadi pelopor pembelaan terhadap kaum tertindas. Karena misi seorang muslim adalah membebaskan dirinya dari tuhan-tuhan artifisial, baik itu kebodohan, kemiskinan atau tirani. Ibadah yang bermisi menggiring manusia menuju kebebasan dari ikatan-ikatan rasis dan kapitalis menuju keimanan, membebaskan saudara seiman dari jerat kemiskinan, mengusung cahaya ilmu di tengah kebodohan, dan menciptakan persaudaraan berlandaskan ketauhidan, dan perdamaian universal berdasarkan akhlak dan keadilan.
Kita berhaji ke Ka’bah tapi tetap berhati ke Barat. Sepulang memboyong air zam-zam dari tanah suci, kita tetap tak bisa melepaskan jerat kapitalis yang tidak diajarkan ketika haji, tapi subur di ladang kehidupan Barat. Setiap tahun negara kita mensuplai calon haji (atau calon haji kedua, ketiga kali) dengan quota ratusan ribu jamaah. Jika alumni haji yang ratusan ribu itu tidak menjadi manusia paripurna yang berdimensi sosial, hajinya tak sampai ke awan apalagi menembus langit, hanya terapung di udara tak menyentuh tanah, bukan haji namanya.

Haji adalah sekolah yang mengajarkan kaum muslim untuk menghargai perbedaan dalam bingkai persaudaraan imani. Jika pakaian adalah perlambang status dan kedudukan sosial. Maka hal inilah yang pertama kali digugurkan dalam berhaji. Ketika beranjak dari Miqat dan memakai pakaian ihrām, lepaslah semua simbol status dan kedudukan seseorang sosial yang melekat. Pakaian yang dipakai sama disisi Nya, pakaian ini adalah pakaian putih keimanan dan seutas kain putih ketaqwaan. Apapun kebangsaannya, warna kulit, status sosial dan pekerjaannya, semua tak dibedakan. Tak dibedakan antara pakaian ihrām seorang pembantu dengan pakaian ihrām majikannya.

Di ‘Arafah, tempat reuni akbar berlangsung dan dihadiri kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia untuk menyambut satu seruan Allah. Semuanya bersatu dalam satu tempat, dengan harmonisasi gerak dan tujuan. Karena persatuan umat adalah rahmat, dan perpecahan umat adalah laknat. Mengapa rahmat? Karena bersatunya hati orang-orang mukmin adalah karunia Allah. Alquran sendiri yang mengatakan bahwa sekalipun harta dan kekayaan dipakai untuk merekayasa sebuah persaudaraan, tak akan bisa sampai mempersatukan hati orang-orang mukmin, kecuali dengan kuasa dan kasih sayang Allah, karena Allah yang mempersatukan hati kaum mukmin (QS.8: 63). Menurut almarhum Gus Dur, kata “rahmah” (rahmat) diambilkan dari pengertian “rahim” (rahim) ibu, dengan demikian manusia semuanya bersaudara, sehingga menurutnya ayat “wa mā arsalnāka illā rahmatan lī al-‘ālamīn” bermakna “Tiadalah Ku-utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi sesama umat manusia”. Soal ini penulis yakin, Gus Dur yang dulu di Indonesia tidak berbeda dengan Sayyid Quthb yang dulu di Mesir sana, ujar Sayyid Quthb jinsiyyat al-muslim ‘aqīdatuhu, kewarganegaraan seorang Muslim adalah akidahnya. Tidak beda dia seorang muslim NU atau Muhammadiyah, di Indonesia atau di Amerika, tidak ada urusan seorang Jawa atau Sunda, kaya-miskin, petani-pejabat, semua orang yang bertengger keimanan di hatinya, maka dia saudara sesaudara-saudaranya.

Ulama lima madzhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) memiliki perbedaan dalam beberapa kecil ihwal fikih haji, namun tak ada yang berbeda bahwa berhaji pasti menuju Ka’bah (baitullāh), tak ada yang membolehkan wukuf di Mesir atau berthawaf di India, tak ada lemparan lain selain ke tiga tiang di Jamarat, tak ada lari kecil dari Shafa kecuali pasti kembali ke Marwah. Inilah cerminan pluralitas umat Muhammad dalam bingkai keimanan, kesamaan tauhid walaupun berbeda mazhab dan organisasi. Karena persatuan umat bukan berarti mengeliminasi perbedaan dalam mazhab dan pemahaman fikih. Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam Fiqh al-Sīrah mengungkapkan bahwa upaya untuk menghapuskan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (bukan perbedaan fundamental) adalah bertentangan dengan hikmah rabbāniyah dan mekanisme ilahi dalam syariat-Nya, hal ini juga merupakan upaya yang sia-sia. Karena, bagaimana mungkin kita bisa menghapus adanya perbedaan pendapat selama dalilnya bersifat zhannī dan mengandung multi tafsir (muhtamal)? Seandainya hal itu mungkin terjadi di masa Rasulullah Saw. dan orang-orang yang paling pantas untuk tidak berbeda pendapat adalah para Sahabat. Akan tetapi kenyataannya mereka pun berbeda pendapat.

Haji adalah rangkaian sinergis terwujudnya umat yang bertauhid. Memiliki syi’ar yang sama menyambut seruan Allah dengan kumandang talbiyah, seperti halnya seruan Allah di setiap waktu untuk tidak saling berbantah-bantahan dan memecah belah persaudaraan. Sealing melangkah dalam derap talbiyah dan seragam keimanan yang sama, kaum muslimin juga bisa bersatu di Jamarat dalam melempar “setan” yang menjadi musuh bersama, mengahadapi musuh yang bersama yang diperangi dari berbagai sisi. Musuh kaum muslimin adalah kolonialisme, kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan yang mesti diperangi lewat berbagai jalur; pendidikan, ekonomi dan teknologi. Thawaf adalah sinergi, berputar dan bergerak dalam satu poros yang sama (Ka’bah), semakin jauh dari poros, putaran semakin lambat. Ini adalah cerminan kaum muslimin yang semestinya bersinergi membangun umat, dengan poros tauhid dan niat mengharap kerelaan Allah. Haji adalah manifestasi perjalanan kaum muslimin menjadi umat yang saling mengenal dan saling bekerjasama mewujudkan kemaslahatan.

Bukan tua-tua keladi semakin haji semakin jadi, gemar meresahkan umat dengan vonis sesat tak pandang bulu, sesama muslim berbeda baju dicurigai, berbeda sedikit dalam masalah satu jari ketika tahiyat segera diseret ke meja akidah, ini bukan haji sebenarnya. Dan rasanya, jika alumni haji pulang ke kampong halamannya masing-masing bukan membawa umat untuk bersatu, lebih baik berhaji saja ke Tanah Abang dan thawaf di pasar, tak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Haram. Haji seperti itu bisa-bisa rumahnya terkenan lemparan jumrah dari masyarakat, semoga saja haji semacam ini hanya mitos yang tak ada di Indonesia.

* * *

*Guru sekolah swasta di Kota Bandung. Jama’ah Pengajian KH. Tajudin Subki dan KH. Maftuh Kholil di PC.NU Kota Bandung.


Terkait