Tidak terasa, kita telah 100 hari ditinggalkan Gus Dur. Momentum 100 hari wafatnya Guys Dur menjadi refleksi publik dengan beragam perhelatan yang digelar di mana-mana. Tetapi kita tanpa terasa, banyak lubang yang telah ditinggalkan Gus Dur belum mampu diisi oleh penerus bangsa. Perhelatan demi perhelatan yang digelar selama ini jangan hanya "sekedar" menjadi "in memoriam" an sich. Perhelatan tersebut seharusnya mampu menjadi spirit menumbuhkan kembali gelora perjuangan untuk menegakkan tradisi kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia.
Terlebih lagi bagi warga nahdliyyin. Janganlah mengenang Gus Dur hanyalah dilakukan dengan beragam ritual an sich, tanpa sebuah perenungan mendalam akan pemikiran dan gerakan Gus Dur dalam menggugah warga NU menjadi mekar dan berkembang seperti sekarang. 40 hari Gus Dur jangan lagi terjebak dengan seremonial yang sesaat, tetapi mengembalikan ruh perjuangan Gus Dur untuk men<>ata kembali ketulusan berjuang dan kemurnian bergerak demi kemaslahatan publik.
Kala Gus Dur belum memimpin NU tahun 1984, warga nahdliyyin masih dibabtis publik sebagai kelompok tradisional dengan berbagai stereotip negatif; kelompok ekslusif, tidak beranjak dari kitab-kitab mu'tabaroh, mengagungkan tradisi, mendaur ulang pemikiran lama, serta basis komunitasnya pesantren dan komunitas ndeso. Stereotip-stereotip tersebut akhirnya pudar ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik tangga Ketua Umum PBNU dalam Muktamar di Situbondo tahun 1984.
Sosok Gus Dur yang darah biru dan kritis mengubah seratus delapan puluh derakat pola pemikiran dan pola gerakan NU. Gagasannya yang cerdas nan bernas serta gerakan politinya yang zig-zag membuat dirinya menjadi figur utama lahirnya perubahan ditubuh NU. Kaum NU yang tadinya dianggap ndeso dan jauh dari sinar peradaban, ternyata bangkit menjadi komunitas besar yang menjadikan tradisi sebagaai basis gerakan kulturalnya. Dengan berpegang tradisi, komunitas NU justru semakin eksesif, unik, dan menohok berbagai gerakan modern. NU bangkit ditengah gerakan modern kehilangan basis tradisinya.
Sosok Gus Dur yang telah membangkitkan tradisi inilah kemudian yang melahirkan beragam pemikiran di lingkungan NU, khususnya kaum mudanya. Darah segar pemikiran yang mengalir dalam diri Gus Dur kemudian menjalar bagi kaum muda dibawahnya. Gagasan-gagasan segar kaum muda, walaupun sering mendapatkan petisi keras kaum tua, tetap saja berlangsung eskalatif menembus batas-batas pemikiran yang belum terjamah. Di bawah perlindungan Gus Dur, kaum muda terus menggali tradisinya sambil mengkritiknya- untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer. Mereka melakukan dekontruksi tradisi.
Menurut Ali Riyadi (2006) setidaknya ada tiga problem krusial yang menyebabkan kaum muda melakukan perubahan. Pertama, kejumudan berfikir. Masyarakat NU selama ini hanya melakukan al-muhafadhotu ala al-qodimi al-sholih, melestarikan tradisi yang relevan. Ada anggapan bahwa tradisi berkembang dalam tubuh NU telah final, selesai, dan dapat menjawab berbagai persoalan keummatan. Tradisi berfikir yang diwariskan ulama abad pertengahan dan para kiai terdahulu selalu diagungkan dan diklaim dapat menyelesaikan segala persoalan. Apa yang terjadi, NU lupa mengembangkan spirit wa al-akhdhu bi al-jadidi al-ashlah, melakukan terobosan baru yang revolusioner. Mereka lupa, bahwa tantangan kehidupan kontemporer membutuhkan kreativitas baru yang inovatif yang dapat diterima semua pihak.
Kedua, kiprah NU dalam politik formal. Dalam berbagai kesempatan, NU selalu mengumandangkan politiknya sebagai politik kebangsaan. Politik yang memberikan kemaslahatan bagi seluruh warga bangsa. Bukan politik yang perorangan dan kelompok. Di samping itu, NU secara organisasi tidak terikat sama sekali dengan organisasi politik manapun. Warga NU bebas berpolitik. Inilah manifesto kembalinya Khittah NU 1926 di Situbondo tahun 1984. Tetapi realitas berbicara lain. Manifesto Khittah ternyata banyak di bobol.
Kerja-kerja kultural NU terbengkelai. Konsentrasi politik telah menghabiskan umur NU dalam berpolitik. Tidak heran Gus Dur pernah menyatakan bahwa separuh hidup NU itu berpolitik. Dan ketiga, pengelolaan organisasi. NU belum mampu mengelola dirinya sebagai jamiyyah (organisasi). Seperti dalam pesantren, NU lebih mengandalkan kharisma kiai tertentu. Program-program struktural dan kultural tidak jalan. NU secara strrultural seolah gagap. Para pengurusnya yang terbiasa dengan tradisi pesantren, gagal merubah kulturalnya sebagai kaum profesional, sehingga kekayaan tradisi yang besar ditubuh NU tidak pernah diberdayakan secara maksimal. NU kaya dengan buku, tetapi miskin katalog, ujar almarhum Nurcholis Madjid dalam Muktamar Pemikiran NU di Situbondo tahun 2003.
Ditengah problem tersebut kaum muda NU gelisah. Kaum muda disini adalah mereka yang telah merasakan kuliah diberbagai perguruan tinggi, khususnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dengan mendapat bekal akademis, bekal managerial dan teori kritik sosial, kaum muda melanjutkan kegelisahan Gus Dur dalam menata kembali tradisi yang berserakan.
Mereka mulai berkumpul, berdiskusi, dan merancang agenda-agenda pemberdayaan tradisi. Lahirlah Lakpesdam NU, P3M, Jaringan Islam Liberal (JIL) di Jakarta; LKiS dan LKPSM di Yogyakarta; dan Lembaga Kajian Sosial dan Agama (eLSA) di Surabaya; serta berbagai lingkar studi ke-Nu-an diberbagai tempat di Jawa. Mereka mengoorganisir diri melakukan kajian, diskusi, penelitian, pelatihan, pemberdayaan skiil, penerbitan majalah, penerbitan buletin, penerbitan buku, dan kegiatan sosial lainnya.
Banjir pemikiran yang melanda republik NU menghentakkan banyak kalangan. Kaget sekaligus bangga. Kaum muda semenjak akhir 1980-an mempelopori gerakan pembaharuan pemikiran kesislaman. Mereka bangga menyebut namanya Post Tradisonalisme Islam. Kekayaan tradisi pemikiran yang ada ditubuh NU dijadikan sebagai landasan gerakan kritik sosial dan kritik pergerakan. Lambat laun mereka mengatasnamakan dirinya sebagai pelopor kaum liberal yang dimotori Ulil Abshar Abdalla dengan JIL-nya.
Gaung mereka semakin bergema karena dentuman pemikiran yang mereka lahirkan tidak hanya mampu mematahkan stereotip negatif publik, tetapi juga sekaligus memukul telak kaum modernis yang miskin tradisi. Kaum muda NU telah menemukan kunci dan katalog buku, mungkin demikian komentar Nurcholis Madjid kalau Tuhan tidak cepat-cepat mengambilnya.
Walaupun sering kali kiai sepuh melancarkan kritik pedas, bahkan ada yang sampai dikafirkan, tetapi masih banyak kiai sepuh yang memberikan angin segar pemikiran kritis dan progresif id tubuh NU. Peran Gus Dur, Kiai Sahal, Said Aqil, dan para kiai progresif akan terus membuka pintu perubahan. Cuma, kaum muda NU kedepan harus melakukan terobosan-terobosan baru yang lebih menggigit akan spirit pembaruan tidak mengekor dengan gerakan Gus Dur, Kiai Sahal, Masdar, dan Ulil. NU memiliki khazanah tradisi yang melimpah, berarti masih banyak peluang yang dapat dimasuki kaum muda dalam meneguhkan kekuatan tradisinya.
Kini gus Dur telah tiada. Beliau merupakan katalog utama bagi kebangkitan peradaban NU. Warga NU harus berjuang kembali menegakkan peradaban yang telah ditingalkan Gus Dur. Perjuangan Gus Dur belumlah usai. Saatnya kaum muda berinisiatif untuk melanjutkannya.
*Alumnus PP Sunan Ampel Jombang