Opini

Gus Dur Menyebutnya Kiai Kampung

Rabu, 8 Februari 2017 | 02:01 WIB

Oleh: Ahmad Naufa Kh. F.

Pak kiai adalah tokoh yang paling kami hormati di desa kami. Di setiap acara-acara seremonial dan ritual, namanya selalu dipilih pertama kali untuk disebuit, dihormati, baru kemudian pejabat, dan tokoh lainnya. Duduknya selalu disilakan di kursi paling depan. Maklum, mungkin karena dialah yang selalu hadir dan paling dekat dengan kami: warga masyarakat. 

Padahal, penampilan beliau sih biasa saja, laiknya kiai-kiai desa: sering berkopiah, membawa lintingan (tembakau dan sigarete) untuk merokok, memakai baju putih atau batik, bersarung dan bersandal – jarang dan tak pernah memakai sepatu. Sesekali juga memakai sorban hijau atau putih. Juga pekerjaannya: selain mengajar anak-anak di madrasah, beliau juga berkebun, ke sawah, ke pasar, mencangkul, berdagang dan tentunya memimpin ritual keagamaan.

Pak kiai selalu terdepan memimpin lamaran – melamarkan tepatnya. Beliaupun hadir dan tak jarang menjadi saksi atau bahkan turun tangan langsung: “menghalalkan” pasangan pengantin. Ia pula yang memberi wasiat pernikahan: agar pasangan suami istri saling menutupi kekurangan dan saling berebut kesalahan. Dan tentunya, tak lupa mengutip Al-Qur’an surah Ar-Rum: 46 yang selalu dipopulerkan undangan-undangan perkawinan itu. Yah, dalam ayat tersebut, Dia-lah Allah yang menciptakan pasangan dan cinta kasih yang ada dalam pasangan suami, adalah tanda-tanda keagungan-Nya. Betapa, bagi orang yang berfikir, ini adalah tanda yang tak terbantahkan. Statement Tuhan yang bikin melongo orang-orang atheis.

Ketika buah dalam kandungan berusia empat bulan, Pak Kiai kembali datang. Dalam bahasa nenek moyang kami, ritual itu disebut ngapati. Kata Pak Kiai, banyak petunjuk dalam Al-Qur’an dan Hadits, bahwa di bulan ke-empat itu, ruh ditiupkan ke janin. Dalam upacara ngapati itu, ada doa, ada syukur, ada sedekah dan ada hangat kebersamaan. Tujuannya jelas: agar sang jabang bayi kelak menjadi orang yang baik dan berguna. Ini cara kami yang diwariskan nenek moyang kami bangsa Nusantara, khususnya Jawa, secara turun temurun. Terserah kalau cara orang Barat – janin itu – diperdengarkan dengan musik klasik atau jazz. Kami ikuti saja tata-cara Pak Kiai, untuk memperbanyak membaca dan memperdengarkan Al-Qur’an, terutama Surat Yusuf dan Mariam.

Ketika sang buah hati lahir, Pak Kiai juga mengajari kami untuk mendengankan gema adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Menurut beliau itu ajaran Nabi Muhammad saw, sang utusan Tuhan. Kami sendiri tidak tahu, oleh karena jarang membuka kitab itu. Kami percaya saja kepada Pak Kiai. Bahkan, untuk nama pun kami banyak yang minta petunjuk kepada Pak Kiai. Kata beliau, salah satu kewajiban orang tua itu adalah memberi nama anaknya dengan nama yang baik, karena nama yang baik itu adalah sebuah doa. Di pemberian nama itu, yang kami menyebutnya dengan upacara puputan, lagi-lagi Pak Kiai yang memberi doa.

Seiring dengan pertumbuhan anak, lagi-lagi kami menyerahkannya kepada Pak Kiai, untuk dibekali ilmu agama di madrasah beliau. Anak-anak diajari ilmu akidah dan akhlak, baik yang berbahasa jawa, berbentuk syair atau penyarian kitab-kitab Arab. Kedua ilmu itu, kata Pak Kiai, ilmu yang paling penting, atau istilah anak mahasiswa sekarang: fundamental. Dalam akidah, anak-anak diajari kitab aqidatul awam, keyakinan untuk orang awam. Aqaid yang 50 itu biasanya dikhatamkan. Dengan modal kitab kecil itu, dadanya – ketika dewasa kelak – takkan rapuh diterjang ilmu filsafat, marxisme dan bahkan atheisme. Pun akhlak, kitab seperti syiir Alala dan Akhlakul Banin akan memberinya lentera, yang meski terlihat kecil tapi itulah visi nabi diutus ke dunia.

Nah, sekarang anak-anak itu sudah khatam Al-Qur’an. Juga usianya sudah layak untuk di khitan. Pak Kiailah yang mendoakan. Adapun yang mengkhitan, kalau dulu adalah mantri dan dukun khitan. Sekarang mah jarang, sudah banyak dokter. Kata Pak Kiai, khitan itu, selain wajib bagi umat Islam laki-laki, menyehatkan, juga membuat bentuknya jadi nyeni: indah. Haha, ada-ada saja Pak Kiai ini.

Pak Kiai punya rutinitas, yaitu kenduren, yang dalam bahasa lebih umum disebut kenduri. Belia yang memimpin langsung ritual yang digelar rutin dan bergiliran dari rumah warga satu ke warga yang lain itu. Dalam kenduren, dibacakan – secara bersama – ayat-ayat Al-Qur’an dan kalimah-kalimah thayyibah. Tentu disertai pula makan-makan. Selain untuk kebaikan kami, doa itu juga di transferkan kepada leluhur kami, orang-orang yang berjasa terhadap kehidupan kami hari ini. Maklum, kami orang yang percaya masih ada kehidupan setelah kematian, juga orang yang telah mati masih bisa menerima manfaat dari doa orang yang masih antri mati.

Selain kenduri, Pak Kiai juga punya banyak agenda. Pengajian keliling salah satunya. Pengajian ini hampir selalu kami gelar setiap bulan.  Maklum, setiap bulan selalu saja ada momentum. Menurut Pak Kiai, ini adalah cara Walisongo dulu dalam menyebarkan ajaran agama, menjadikannya tradisi. Dengan demikian, kita masyarakat beragama tapi serasa menjalankan rutinitas. Kata anak kuliahan, ini namanya pendekatan budaya, kultur dan tradisi. Maka, jangan heran kalau kami sampai hari ini memiliki banyak tradisi, tak seperti di luar negeri.

Rutinitas Bulanan
Di bulan Muharram atau Suro, kita ada ritual suronan dan juga pengajian. Kata Pak Kiai, ini semua ada sejarahnya dari Nabi. Di bulan ini, kata Pak Kiai, ada 12 keutamaan, sunnah, yang diantaranya adalah menyantuni anak yatim, memakai celak, memotong kuku, puasa (asyuro dan tasyua’ah), memotong  rambut, sowan ulama, menjenguk orang yang sakit, mandi besar, mengusap kepala anak yatim, shodaqoh, masak enak untuk keluarga, sholat sunnah dan membaca surat ikhlas 1000 kali.

Di bulan mulud atau Rabiul Awwal, lebih dahsyat lagi. Di bulan ini, kata Pak Kiai, Nabi Muhammad saw dilahirkan ke dunia. Ya, nabi yang memberi cahaya kebenaran itu – sehingga kita semua tahu Allah, rukun Iman, Islam, salah-benar, baik-buruk, halal-haram dlsb – selayaknya  dirayakan. Perayaan maulid nabi, di desa kami disebut muludan. Orang-orang akan bergotong-royong menyumbang dana, tratag, sound sistem, sampai makanan untuk oleh-oleh: berkat. Bahkan, ada tradisi unik di desa tetangga kami: berkatnya gila-gilaan: kadang berisi ingkung kambing. Wow, sungguh penyambutan luarbiasa untuk merayakan lahirnya manusia utama. Dalam muludan, Pak Kiai – selain membacakan Albarzanji yang berisi sejarah nabi – juga mengundang Kiai dari luar kota untuk berceramah. Dalam pada itulah, biografi nabi dibedah untuk kita teladani. Pak Kiai sendiri kadang mengisi di tempat lain, misal di desa tetangga. Oh ya, Muludan ini juga tidak hanya diadakan di desa dan di kota, bahkan Istana negara juga merayakannya. 

Juga di bulan Rajab. Pada bulan ini, kami memiliki tradisi Rajaban. Tradisi ini adalah untuk mengenang peristiwa yang paling tidak masuk akal: nabi Muhammad saw diperjalankannya nabi – dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Pelestina, kemudian pergi ke langit, melihat surga, neraka, bertemu nabi, sampai menghadap Tuhan Semesta di Sidratul Muntaha dan mendapat perintah shalat lima waktu – dalam waktu semalam, yaitu Isra’ Mi’raj. Kata Pak Kiai, sejarah ini menandakan sudah ada lift atau eskalator canggih di masa lalu. Haha, Pak Kiai-ku ini, ada-ada saja kelakarnya. Oh iya, kata Pak Kiai, Isra’ Mi’raj ini, adalah salah satu hal yang paling sulit dijelaskan dalam Islam. Perlu sebuah keimanan. Jangankan kita di hari ini, di jaman nabi saja, banyak yang tidak percaya. Namun, belakangan, seiring dengan meningkatnya rasionalisme dan pengetahuan orang modern, seakan peristiwa itu rasional. Coba pelajari hukum dan kecepatan cahaya dalam Ilmu Fisika, dan beberapa teori ilmuan tentang waktu dan masa, yang sec
ara hampir plek digambarkan dalam film Hollywood: Lucy. Yah, Isra’ Mi’raj adalah ujian keimanan. Satu-satunya bukti atau dalil peristiwa itu, kata Pak Kiai: nabi Muhammad saw tidak pernah bohong sepanjang sejarah hidupnya. 

Kemudian kita masuk di bulan Ruwah atau Sya’ban. Di bulan ini banyak yang mengadakan Haul. Yah, maklum, di Nusantara ini, juga di desa kami sendiri, banyak ulama dan leluhur yang menjadi panutan. Keteladanan mereka selalu relevan untuk selalu diaktualisasikan.

Memasuki bulan Ramadhan, wuih, itu adalah bulan yang paling romantik diantara bulan-bulan lain. Ya, itulah bulan puasa. Di malam hari, dipimpinm Pak Kiai, kita tarawih bersama di masjid. Usai tarawih, wiridan secukupnya dan niat puasa bersama-sama, kami akan memainkan begud dan kentongan kami. Dengan suaranya yang khas – hanya ada di Indonesia sepertinya – semua riang gembira. Itu adalah sebuah gema yang indah, jauh sebelum lahirnya MP3, yang sampai kini masih ngangeni. Selesai menabuh bedug, kami makan-makan dari snack dan minuman yang dihidangkan oleh jamaah secara bergiliran. Maklum, tarawihnya 20 rakaat, jadi capek dan butuh banyak bahan bakar, hehe. Usai tarawih, Pak Kiai memimpin tadarus Al-Qur’an. Sesekali, dalam tadarusnya beliau berhenti, menerjemahkan apa yang terkandung dalam bacan: Al-Qur’an. Di desa kami, tadarus bersahut-sahutan antara masjid satu dengan masjid yang lain. Sungguh mendamaikan. 

Sampai menjelang sahur tiba, suara bedug dan kentongan kembali membangunkan. Kadang diiringi suara dalam speaker toa, sahur...sahur...sahur...!!! Yah, ia membangunkan orang untuk makan sahur sendiri, tidak mengajak sahur bersama di masjid. Hehe, Untuk di kota-kota, juga ada aneka jajanan untuk takjil. Dimana-mana diselenggarakan buka bersama. Pengajian juga tumbuh subur, bak jamur di musim hujan. Di pesantren-pesantren, berbagai kitab dikaji khusus di bulan ramadhan. Di masjid. Di majelis taklim. Di berbagai tempat, tak terkecuali televisi – sebuah industri yang hanya berpikir untung dan rugi, pun tak luput dari mengkapitalisasi pengajian. Tapi sudahlah, itu masih mendingan.

Menjelang Idul Fitri, seisi negeri gemuruh oleh suara dan lantunan takbir yang penuh cinta dan kerinduan. Takbir yang mampu menyayat hati siapa saja yang tak berada di kampung halaman bersama keluarga. Takbir yang penuh romantika dan mengaduk emosi jiwa akan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Bukan takbir yang penuh kebencian dan dendam. Eh.

Lalu semua orang memakai baju baru, pergi ke masjid, untuk shalad ied kemudian bermaaf-maafan, saling silaturrahmi, mengunjungi dan merasakan kehangatan keluarga. Maaf-memaafkan ini juga terlembagakan dalam sebuah tradisi unik: Halal Bihalal. Yah, kata Pak Kiai, jika pun puasa sebulan di bulan ramadhan menghapus dosa kepada Tuhan, tetapi tidak kepada sesama. Untuk itu, penting sekali adanya Halal Bihalal, karena tidak setiap waktu orang dapat bertemu dan bermaaf-maafan.

Kemudian, masih ada bulan Dzulhijjah. Di bulan ini adalah bulan haji. Ada hari paling utama dalam Islam: Idul Adha. Yah, itulah peristiwa penting yang Allah ajarkan kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya, tentang nenek moyangnya: Nabi Adam dan Nabi Ibrahim As. Umat Islam yang mampu disuruh haji, agar tahu bahwa Nabi Adam dan Hawa pernah terpisah beratus-ratus tahun, diuji kerinduan, dan disatukan di bukit Shafa dan Marwah. Menapaktilasi sejarah, bahwa sang manusia pertama pernah berdoa dan tak putus diulang-ulang sampai hari ini: Rabbana dhalamnaa angfusana waillam taghfirlana wa tarhamna lanakunannaa minal khaasirin. Juga, menapaktilasi bagaimana Nabi Ibrahim as, Bapak Para Nabi yang kaya raya dan disedekahkan semuanya itu, diuji: disuruh menyembelih hartanya yang paling berharga: Ismail as, putranya, generasi penerusnya. Dan akhirnya, ujian itu berbuah manis: sampai kini tetap dikenang dan dijaga sejarah dalam Idul Qurban.

Kesemuanya itu, Pak Kiai selalu terlibat, selain juga kegiatan kesehariannya: memimpin shalat di masjid atau langgar, mengajari ilmu agama, mengisi pengajian, menikahkan, mengurus jenazah, sampai tempat mengadu segala keluh kesah atas segenap persoalan. Ia menjadi tempat rujukan, atas persoalan anak, persoalan keluarga, persoalan hukum, persoalan kemasyarakatan sampai meminta doa-doa atas segenap keinginan, kepada Sang Pemilik Alam.

Para kiai dan kami-kami – pengikutnya ini – memiliki pemimpin, yang menjadi panutan dan rujukan juga. Semenjak tahun 1926, para kiai secara legal telah membentuk wadah jam’iyyah. Di “level atas” itulah, para kiai menentukan nasib yang lebih besar, persoalan keummatan: agama dan bangsa. Di desa kami, Pak Kiai pun sering mengikuti acara-acaranya, dan tentu acara yang selama ini kami gelar, baik yang bersifat “duniawi” maupun “ukhrawi” yang akan kekal disana. Pak Kiai, meski hujan dan kadang tertusuk dingin malam, ia selalu setia dengan umatnya, ajaran nabinya, dan tanggungjawab sosialnya. Pak Kiai – yang dipopolerkan oleh Gus Dur dengan sebutan Kiai Kampung ini – banyak tersebar di penjuru pelosok Nusantara. Ia bergabung dengan penerus pemimpin agamanya, dengan cara masuk dan mengemban amanah didalam jam’iyyah-nya: Nahdlatul Ulama.


Ahmad Naufa Khoirul Faizun, kader muda NU, fans berat kiai-kiai Nusantara














Terkait