Opini

Gaya Jabat Tangan Pesantren

Jumat, 7 September 2018 | 12:00 WIB

Oleh Abdullah Alawi

Seorang santri asal Gresik bercerita tentang pertemuan kiainya, Kiai Masbuhin Faqih dengan Kiai Mu’tasim Billah melalui tulisan. Kiai Masbuhin sebagai pribumi, sementari Kiai Mu’tasim sebagai tamu. Selain tulisannya bagus, ia juga menyertakannya sebuah gambar yang merekam adegan pertemuan yang terjadi di kediaman Kiai Masbuhin. 

Gambar itu adalah dua orang yang sama-sama merunduk, menyantrikan diri masing-masing. Artinya, masing-masing memposisikan diri sebagai santri yang sedang berhadapan dengan kiai. Seorang santri, ketika bertemu kiai, akan menunduk dan mencium tangannya.

Mungkin mulanya sang tamu yang menyantrikan diri dengan merundukkan badan dan hendak mencium tangan pribumi. Hal sama terjadi juga pada pribumi. Walhasil kedua-duanya saling merunduk, merendahkan diri hingga pada posisi jongkok. Padahal dua-duanya adalah kiai besar dengan ribuan santri di pesantren masing-masing.

Jadilah gaya bersalaman yang mungkin paling aneh di muka bumi ini. Donald Trump bila ketemu Vladimir Putin tentunya tak seperti itu. Mereka akan saling berdiri tegak untuk saling menujukkan superiotas masing-masing. Namun, bagi kalangan pesantren kehebatan ilmu dan ribuan santri bukan untuk superior, melainkan tawadhu. Bagi kelangan pesantren, ada yang lebih tinggi dari semua itu, yaitu akhlak. 

Ada lagi jabat tangan gaya lain, ketika santri bertemu dengan gurunya. Saya sendiri menjadi bagian dari gaya itu saat di Pondok Pesantren Assalafiyah Nurul Hikmah Parungkuda, Sukabumi. 

Setiap santri Assalafiyah akan mencium telapak tangan Mama Ajengan KH Fariduddin Soleh. Telapak tengan kanannya akan digenggam telapak kiri dan kanan santri. Kemudian dibuka perlahan, sembari mencium telapak bagian dalam dan punggungnya. Begitulah. Turun-temurun. Santri senior yang mempraktikkannya akan menjadi kebiasaan santri baru tanpa bertanya. 

Tantu saja ada juga pesantren yang tidak seperti itu. Gaya salamannya sebagaimana umumnya orang-orang. Begitu juga antara kiai dengan kiai lainnya, tidak mesti seperti itu. 

Saya menyaksikan sendiri pertemuan antara Ajengan Mahmud Mudrikah Hanafi dan Ajengan Mimar Hidayatullah tidak seperti itu. Keduanya adalah pemimpin pesantren besar. Yang satu di Sukabumi, yaitu Siqyoyaturohmah. Yang satu lagi di Garut, yaitu Hidayatul Faizin. 

Saat keduanya bertemu pada Konferensi Wilayah NU Jawa Barat dua tahun lalu, telapak tangannya saling menggenggam beberapa lama, sebagaimana sahabat yang lama tak bersua. Mereka saling bertanya kabar, tanpa memperhatikan posisi tangan masing-masing, mereka seperti hendak panco di udara. 

Berjabat tangan pun ada kalanya sangat dramatis. Ketika Kiai Ma’ruf Amin ke Lombok, ke Pesantren Al-Manshuriyah Bonder, asuhan Tuan Guru Taqiuddin Manshur, kedatangannya diserbu para santri hingga berdesakkan. Sang kiai pun hanya bisa merayap mendekati panggung. Dan saya menemukan kejadian sama ketika sang kiai hadir pada sebuah acara. 

Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) sampai kerepotan di kongres Muslimat NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, 2014. Ia dikepung ibu-ibu Muslimat NU dari berbagai arah. Selain meminta bersalaman, mereka menuntut selfie.  

Lalu bagaimana gaya berjabat tangan santri dengan sesama santri? Santri seumuran. Santri senior dan junior. Kiai muda dan kiai tua, kiai seumuran. Kita juga akan menemukan gaya salaman yang berbeda. Kiai yang muda dan kiai tua pun ada kalanya berlainan karena bila kiai muda itu adalah putra dari gurunya, bisa jadi yang tua bersalaman ke yang muda. 

Dalam kitab Ta’limul Muta’alim diceritakan ada seorang ulama yang tiba-tiba menghentikan aktivitas mengajar santrinya. Ia malah menatap ke satu arah. Di situ ada seorang anak kecil yang sedang bermain bersama teman-temannya. Santri kemudian bertanya, kenapa hanya anak kecil saja bisa menghentikan aktivitas mengajar sang guru.

“Itu anak guru saya,” jawab sang ulama. 

Jadi, ia menghormati anak itu karena menghormati guru, menghormati guru berarti menghormati ilmu. Ilmu kemudian ditempatkan di bawah akhlak. 



Terkait