Oleh Muhammad Syamsudin
Indonesia merupakan negara kepulauan. Ada kurang lebih 17.504 pulau yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara dan masuk menjadi bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebanyak 7.870 pulau sudah memiliki nama, sementara sisanya 9.634 pulau belum memiliki. Bentang alam dengan 82 persen terdiri atas lautan menjadikan Indonesia paling banyak memiliki sejarah pelayaran di dunia dan sebagian di antaranya masih bertahan hingga kini.
Sejarah mencatat adanya banyak wilayah dengan jalur niaga berbasis pelayaran tradisional di Nusantara hingga negeri Tiongkok, Gujarat India dan bahkan sampai Iskandaria Turki dan negeri-negeri Timur Tengah. Dengan berbekal perahu layar, para saudagar Nusantara melakukan kontak dagang dengan negeri-negeri sekitarnya. Tak urung armada laut dalam sejarah pernah dibentuk untuk menangkal VOC memasuki wilayah Nusantara di Makassar. Semua itu menunjukkan bagian dari kekayaan sejarah bangsa. Bahkan dalam sebuah lagu untuk anak-anak, hal itu diabadikan:
Nenek moyangku seorang pelaut
Gemar mengarungi luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Angin bertiup layar terkembang,
ombak berdebur di tepi pantai.
Pemuda b'rani bangkit sekarang,
ke laut kita beramai-ramai.
Demikianlah penggalan lagu yang mengesankan gambaran dunia niaga kelautan kita semenjak masa nenek moyang dan turun temurun hingga sekarang.
Dewasa ini, pelayaran niaga tradisional semakin terdesak oleh kemajuan zaman. Sebuah resiko zaman yang syarat dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pelayaran niaga tidak lagi mengandalkan pada jasaa-jasa kapal niaga tradisional. Meskipun di banyak tempat, jasa niaga ini masih banyak ditemui. Seperti di sejumlah pulau terpencil. Jangankan di pulau terpencil, di pulau-pulau besar seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera bahkan Papua, jasa niaga kapal barang tradisional ini masih syaarat ditemui.
Infiltrasi kemajuan penggerak kapal yang sebelumnya mengandalkan layar memang sudah dilakukan. Banyak kapal dagang tradisional sudah memakai jasa penggerak motor. Pemerintah dengan beberapa kebijakan yang berbasis kelautan juga tercatat beberapa kali memberi bantuan berupa mesin kapal yang berbasis solar ini.
Tahun 2018 pemerintah pernah mencanangkan hendak membangun kurang lebih 100 unit kapal pelayaran rakyat (Pelra) di 6 gallangan kapal Pelra. Pembangunan disesuaikan dengan standart keselamatan kapal dan penumpang sebagaimana peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. HK.103/2/8/DJPL-17 tanggal 18 April 2017 tentang Petunjuk Kapal Tradisional Pengangkut Penumpang untuk Seluruh Wilayah Perairan di Indonesia. Peraturan ini juga mengatur tentang keselamatan kapal tradisional pengangkut penumpang yang meliputi pengesahan gambar rancang bangun, konstruksi kapal, permesinan dan pelistrikan serta pencegahan pencemaran, status hukum kapal dan pengawakan kapal tradisional pengangkut penumpang.
Bagaimana dengan kapal dagang? Semenjak diratifikasinya United Nation Convention on the Law of The Sea melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982, Indonesia belum memiliki kebijakan yang secara spesifik mengatur laut. Untuk kebijakan kapal pengangkut penumpang tradisional saja baru saja aturan spesifik ini dicanangkan. Pencanangan ini tidak lepas dari beberapa kasus kecelakaan kapal yang mengakibatkan hilangnya ratusan nyawa dan harta benda. Sayangnya, hal itu tidak diikuti dengan pencanangan basis niaga tradisional dengan kapal niaga tradisional. Padahal, kejadian hilangnya materi di lautan akibat tenggelamnya kapal barang karena dihantam gelombang, tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, bahkan berkali-kali. Perlindungan konsumen perkapalan niaga menjadi terabaikan karena jasa asuransi hanya bisa masuk pada jenis kapal niaga modern dengan basis peralatan modern juga. Akibatnya adalah, semua barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat pulau terpencil kadang mengalami hambatan penyaluran, apalagi saat cuaca buruk gelombang laut, yang menyebabkan semua kapal niaga tradisional tidak ada yang berani melaut.
Andaikan terjadi kenekadan dari saudagar kapal untuk melepaskan jangkar dan menyeberang mengarungi lautan dalam situasi badai, kemudian terjadi kasus pecahnya kapal sehingga banyak barang konsumen menjadi ikut tenggelam, semua barang konsumen tidak berjamin asuransi. Tidak sebagaimana jasa kapal niaga modern. Di sisi lain, dilematika induksi kapal niaga modern ke wilayah yang dikuasai oleh kapal-kapal niaga tradisional, mengalami hambatan seiring penolakan dari para pengusaha jasa kapal tradisional. Di sinilah peran dan campur tangan pemerintah sangat diharapkan oleh para konsumen kapal niaga yang rata-rata terdiri atas masyarakat pulau terpencil.
Beberapa wilayah kebijakan yang penting bagi pemerintah untuk ikut serta di dalamnya antara lain, adalah:
1. Perlunya penerbitan asuransi kapal niaga tradisional, karena bagaimanapun jasa niaga tradisional adalah merupakan usaha jasa rakyat. Perlindungan mata pencaharian saudagar yang bergerak dalam industri jasa niaga ini mutlak diperhatikan seiring pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan yang senantiasa disuarakan oleh pemerintah
2. Perlunya penerbitan asuransi keselamatan barang konsumen kapal. Peran Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam hal ini sangat diharapkan guna menyuarakan kepentingan pembelaan terhadap materi harta benda konsumen yang dimuat dalam kapal niaga tersebut
Pembangunan ekonomi kelautan berbasis kerakyatan merupakan hal penting untuk diperhatikan oleh setiap pemegang kebijakan di dalam negeri ini. Kita mengingat kembali bahwa Indonesia ini terdiri atas kurang lebih 2/3 wilayahnya terdiri atas lautan. Jasa niaga tradisional tidak mungkin dihilangkan karena mereka yang selama ini bergerak membantu menjembatani kebutuhan masyarakat di wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan tol laut mutlak juga harus memperhatikan kontinyuitas para penggerak jasa tradisional ini, manakala hal itu turut disertakan untuk beberapa pulau terpencil. Mereka adalah rakyat yang bergerak dalam mencari nafkah dan selama ini banyak dirasakan manfaat dan perannya juga bagi masyarakat, pulau tersebut.
Penulis adalah Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim