Opini

Dari Pesantren, NU Mewarisi Obor Kenabian

Ahad, 16 Juni 2019 | 00:00 WIB

Dari Pesantren, NU Mewarisi Obor Kenabian

(Foto: @romziahmad)

Oleh Ubaidillah Achmad

Pesantren merupakan tempat yang memiliki bangunan sederhana, berupa mushalla, rumah kiai, dan kamar para santri. Pesantren melaksanakan proses pendampingan dan pembelajaran yang mencerahkan untuk membentuk sikap dan perilaku yang berbudi mulia. Pembentukan sikap dan perilaku seperti ini memerlukan rutinitas dan pembiasaan diri yang dilakukan secara terus-menerus.

Model pembelajaran pesantren menekankan pada pola komunikasi sistem keluarga dan kebersamaan, terjalin dengan ikatan kekelurgaan yang kokoh dalam kendali seorang kiai dan santri senior.

Dalam sistem kekeluargaan, sesama anggota keluarga, para santri dapat saling mempengaruhi dan mendukung untuk mendalami ilmu keislaman, merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan melakukan resolusi konflik sosial politik, seperti merespon konflik masyarakat, bangsa, dan negara.

Oleh karena itu, dalam memahami peran santri, kita perlu memahami latar belakang sistem kekeluargaan, baik dalam perilaku maupun sistem yang terbangun di dalamnya. Meskipun demikian, banyak dari perilaku santri yang didasarkan pada sistem nilai yang terbentuk di luar sistem keluarga. 

Kekhasan Pesantren
Dalam sistem pembelajaran, pesantren menerapkan model yang bersifat normatif, yaitu membentuk kesadaran diri dari hasil pencerahan keilmuan para kiai yang sesuai dengan visi kenabian, yaitu memahami keutamaan akhlak yang baik dan ketaatan kepada Allah.

Keutamaan akhlak dapat dipahami dari bentuk keseimbangan unsur jiwa manusia (roh, qalbu, aqal, nafs, jasad). Dalam sistem pembelajaran di pesantren, nasab bukan tujuan risalah, meski banyak kiai pesantren yang masih memiliki jalur nasab Walisongo dan nasab pejuang babat tanah Jawa masih memiliki kenasaban dengan Nabi Muhammad SAW.

Kesemua lingkaran geneologi ini sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan Islam Nusantara. Dengan tidak mengabaikan sikap hormat kepada keluarga kiai dan kenasaban Nabi Muhahammad SAW, para kiai lebih menekankan pada pembelajaran akhlak mulia, ketaatan dan tafaqquh fiddin (pendalaman agama) sesuai dengan standar prinsip keilmuan Ahlussunah wal Jamaah dan NU. Jadi, para santri dalam tradisi pesantren, telah sadar diri untuk menjaga agar tidak merusak akhlak yang baik yang sudah diajarankan oleh Nabi Muhammad SAW.

Di hari yang fitri, kalangan santri dan kiai telah menumbuhkan rasa kekeluargaan dengan saling memohon maaf. Hal ini merupakan perjumpaan untuk membuka tema dialog santri yang berbeda latar belakang dalam satu sistem pesantren.

Hari yang fitri menjadi media temu kembali setelah satu tahun penuh kesibukan, yang jarang bertemu antara kiai dan santri dalam kesatuan sistem. Suasana momentum pertemuan ini dapat merefleksikan rasa rindu antarsantri dan menguatkan politik santri versus politik identitas.

NU Mewarisi Obor Kenabian
Obor kenabian bagi para kiai, baik dari nasab Walisongo maupun dari mereka yang digembleng dalam tradisi pesantren, adalah obor yang masih menyala kuat pada gerakan Nahdlatul Ulama untuk pengembangan keilmuan abad pertengahan dan menjaga politik kebangsaan NKRI.

Dalam sistem kebudayaan Nusantara, obor ini menyalakan model Islam Nusantara. Semua santri saling memuliakan dan saling memberikan penghargaan, baik mereka yang cerdas dan pintar serta berakhlak yang baik maupun yang berkebutuhan khusus.

Di pesantren, para kiai selalu mengajarkan para santri agar setiap dari mereka tidak mengunggulkan kenasabannya, karena bukan dikatakan pemuda yang mengatakan, “Ini Bapak saya. Namun yang dikatakan pemuda, adalah yang secara tegas mengatakan, ‘Inilah saya.’”

Model kemandirian yang diajarkan di pesantren tidak hanya dalam hal belajar, mengatur keperluan belajar, dan menata kebersihan pakaian, namun juga diajarkan kemandirian dalam hal memberikan pandangan dan pemikiran yang bersumber dari kemampuan pemahaman dan pengalaman intelektual sendiri.

Model ini sangat efektif untuk meneguhkan sikap intelektual para santri di tengah konflik sosial dan menjawab problem masyarakat. Model ini yang memudahkan para santri mendampingi masyarakat untuk memilih prinsip kebenaran dan rencana setrategis melakukan transformasi budaya.

Model yang diterapkan para kiai pesantren dan NU ini tidak terlepas dari model yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para Walisongo. Dari kilas balik model Nabi Muhammad SAW dapat dipahami bahwa ketika beliau membawa risalah, selalu menunjukkan rasa sayang yang tinggi kepada umat Islam dan menjadikan prinsip ajaran wahyu sebagai instrumen pertama dan utama dalam mendidik keluarga dan masyarakatnya.

Model ini telah diikuti oleh para Walisongo, yang nota benenya masih memiliki jalur kenasaban dengan Nabi Muhammad SAW. Walisongo memilih mengedepankan pembangunan pribumisasi Islam dengan konsekuensi menikahkan kenasabannya dengan masyarakat lokal, baik dari kalangan masyarakat umum dan kalangan keluarga kerajaan. Karenanya, sekarang ini dapat dibaca dari geneologi Walisongo sudah banyak dari mereka membaur dengan geneologi masyarakat lokal.

Para kiai dalam tradisi pesantren untuk penguatan NU mengajarkan para santri, mengedepankan ilmu dan adab (Man kāna muftakhiran bil māl wan nasab wa innamā fakharna bil ‘ilmi wal adab). Mereka yang tidak berilmu dan beradab, dapat diibaratkan bagaikan seorang yang tidak memiliki keindahan hidup dan bagaikan seorang yang yatīm, yang ditinggal wafat orang tuanya (Laysal yatim huwa man māta wāliduhū. Innamāl yatīm bi la ‘ilmin wa adab).

Secara psikologis, jika seseorang membanggakan nasabnya, sementara tidak mencerminkan kepribadian leluhurnya, maka akan membuat kesan negatif para leluhurnya. Berikut ini, bahaya membanggakan nasab: melemahkan kecerdasan, pemahaman, dan potensi diri atau melemahkan pengembangan pembentukan sikap kepribadian yang baik. Hal ini ditandai dengan ketergantungan diri kepada para leluhur sehingga tidak ada upaya memperbaiki kekurangan dan kesiapan menghadapi tantangan.


Penulis adalah khadim Pesantren Bait As-Syuffah An-Nahdliyah, Desa Sidorejo-Njumput Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah penulis buku Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng.


Terkait