Dari Defleksi ke Diplomasi: Jalan NU Merespons Perubahan Global
Rabu, 18 Juni 2025 | 17:00 WIB
Dalam ilmu fisika, deflection berarti perubahan arah suatu objek karena pengaruh gaya luar. Cahaya yang dibelokkan oleh lensa, atau partikel bermuatan yang bergeser lintasannya akibat medan magnet, adalah contoh bagaimana gerak lurus bisa dialihkan. Metafora ini tak hanya relevan di dunia sains, tetapi juga dalam membaca gejala sosial dan geopolitik kontemporer.
Di tengah dunia yang semakin cair dan penuh tekanan, organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) tampil bukan sebagai kekuatan yang mendorong dominasi, melainkan sebagai “lensa pembelok” yang mengarahkan dinamika dunia ke arah yang lebih damai dan beradab.
Dunia Islam saat ini sedang mengalami defleksi besar. Banyak negara dan kelompok yang sebelumnya mendukung proyek politik berbasis identitas keagamaan mulai mengalami kejenuhan dan kegagalan arah.
Di saat yang sama, muncul kebutuhan baru untuk mencari bentuk keberagamaan yang tidak eksklusif dan mampu hidup berdampingan dengan sistem demokrasi, hak asasi manusia, dan tatanan global yang pluralistik. NU, dengan kekayaan tradisi Islam Nusantara dan pengalaman sosial-politiknya di Indonesia, hadir tepat di tengah belokan sejarah ini.
NU Sebagai Medan Gaya Moral Global
Strategi defleksi yang digunakan NU bukanlah upaya reaktif semata, melainkan pendekatan strategis untuk menciptakan “medan gaya moral” yang mampu menarik simpati, membelokkan arah ekstremisme, dan mengarahkan energi keagamaan ke jalan damai. Dalam bahasa diplomatik, NU sedang menggeser paradigma dari “agama sebagai instrumen konflik” menjadi “agama sebagai sumber solusi global”.
Dalam konteks ini, NU tidak berjalan sendiri. Ia membangun jaringan diplomasi moral melalui forum-forum seperti G20 Religion Forum (R20), serta mengembangkan dua inisiatif besar yang menjadi tulang punggung pendekatan globalnya: Humanitarian Islam dan Fiqh Peradaban.
Humanitarian Islam adalah gerakan transnasional yang menempatkan nilai kemanusiaan sebagai inti dari ajaran Islam. NU menyadari bahwa ekstremisme agama tidak bisa dilawan hanya dengan narasi moderasi, tetapi harus dengan pendekatan teologis yang membongkar akar ideologinya. Oleh karena itu, Humanitarian Islam tidak sekadar berbicara soal kasih sayang, tetapi juga menantang langsung ajaran klasik yang telah lama dipolitisasi oleh kelompok radikal.
Sementara itu, Fiqh Peradaban adalah upaya membangun kembali kerangka hukum Islam agar selaras dengan realitas global kontemporer. Ini bukan reformasi ringan, melainkan transformasi mendalam terhadap cara pandang umat Islam terhadap syariah. Melalui pendekatan ini, NU menyodorkan bahwa hukum Islam dapat hidup berdampingan dengan hukum internasional modern, dan bahkan menjadikannya sebagai dasar baru fiqh, sebagaimana pernah dilakukan Nabi Muhammad melalui Perjanjian Hudaibiyah.
Gagasan ini disampaikan secara eksplisit oleh Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, dalam pidatonya di hadapan Working Group of EU Member States’ Advisors on Religion and Diplomacy di Brussels pada Januari 2025.
Dalam forum tersebut, ia menegaskan bahwa tantangan terbesar agama saat ini adalah instrumentalisasi untuk kekuasaan, yang tidak hanya merusak masyarakat Muslim, tetapi juga memperkeruh demokrasi di Barat. Ia menawarkan pendekatan baru: menjadikan konsensus internasional—seperti Piagam PBB dan Deklarasi HAM—sebagai basis etis yang bisa diakui secara syariah.
Ini adalah langkah radikal yang elegan. NU tidak menentang tradisi, tetapi menafsirkan ulang ajaran secara progresif dan kontekstual. Ia tidak ikut dalam konflik ideologis global, tetapi justru membelokkan perdebatan menuju ruang kolaborasi dan kemanusiaan.
R20, Ekologi Spiritual, dan Jalan Baru Perdamaian
Partisipasi NU dalam forum global bukan sekadar seremoni simbolik. Melalui R20, NU membangun platform nyata yang mempertemukan pemimpin agama dari berbagai belahan dunia, untuk bersama-sama merespons krisis kemanusiaan, lingkungan, dan konflik sektarian. Salah satu inisiatif terbarunya, Spiritual Ecology Movement, menegaskan bahwa pelestarian lingkungan bukan hanya urusan teknis, melainkan tugas spiritual.
Baca Juga
Inovasi Gerakan Sosial Muslimat NU
Pada R20 Summit di Bali, NU meluncurkan tujuh working group yang membahas isu seperti rekontekstualisasi ajaran ortodoks, teknologi dan etika, serta seni sebagai jendela transendensi. Semua ini diarahkan untuk menghidupkan kembali peran agama sebagai pembentuk peradaban yang bernilai, bukan alat mobilisasi massa.
Lebih jauh, NU juga meluncurkan The Road Not Yet Taken, sebuah inisiatif lintas agama untuk perdamaian Timur Tengah, sebagai respon terhadap konflik Israel-Hamas. Melalui pendekatan dialog antariman yang jujur dan strategis, NU ingin menunjukkan bahwa agama tidak harus ikut membakar konflik, tetapi bisa menjadi jembatan rekonsiliasi yang berkelanjutan.
Yang menarik, pendekatan NU bukan apologetik. Dalam setiap pidatonya, Gus Yahya tidak menutup-nutupi fakta bahwa memang ada ajaran-ajaran lama dalam Islam yang bisa disalahgunakan. Tapi alih-alih menolak, NU memilih menghadapinya secara terbuka, menawarkan alternatif berbasis konsensus universal. Di sinilah letak kekuatan NU: jujur secara intelektual, teguh secara moral, dan lentur secara diplomatik.
Menjadi Kompas di Tikungan Sejarah
Seperti cahaya yang dibelokkan lensa untuk menghasilkan pelangi, NU tengah membelokkan arah sejarah dunia Islam—bukan untuk menyimpangkan, tetapi untuk memfokuskan ulang nilai-nilai yang esensial. Ia tidak terjebak dalam nostalgia kejayaan masa lalu, melainkan menawarkan arah baru yang lebih sejalan dengan semangat zaman: kesetaraan, keadilan, dan perdamaian.
Strategi defleksi dan diplomasi NU tidak hanya relevan bagi umat Islam, tetapi juga bagi masa depan dunia. Dalam konteks di mana agama kerap diperalat untuk memecah, NU justru menawarkannya sebagai alat menyatu. Ini bukan perkara kecil. Di tengah gelombang populisme, identitas sempit, dan krisis global, NU tampil sebagai kekuatan sipil yang tenang tapi tajam—bekerja dalam diam, tapi menyentuh jantung persoalan.
NU bukan hanya penjaga warisan Islam Nusantara, tetapi juga penyumbang narasi global yang otentik dan transformatif. Dalam dunia yang terus bergerak di tikungan sejarah, NU tampil bukan untuk menguasai arah, tetapi untuk menjadi kompas yang memberi arah.
Eko Ernada, dosen HI Universitas Jember dan Pengurus Badan Pengembangan Jaringan Internasional (BPJI) PBNU