Oleh Muhammad Syamsudin
Beberapa kasus kredit macet perbankan yang diakibatkan oleh bencana alam di Indonesia, selama beberapa dekade ini, tercatat mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda dari pemerintah. Yang berhasil dicatat oleh penulis, perbedaan penanganan ini terjadi dalam beberapa hal, yaitu (1) penjadwalan ulang utang, (2) perlakuan dalam mengajukan pinjaman baru akibat pinjaman lama belum terurus, dan (3) penghapusan utang.
Penyebab perbedaan ini adalah diakibatkan oleh ketidaksamaan pemegang otoritas kebijakan dalam menimbang faktor kerusakan yang diakibatkan oleh bencana yang terjadi. Sejarah mencatat bahwa telah terjadi perbedaan kebijakan yang diberikan oleh perbankan antara korban banjir Manado, korban erupsi Gunung Sinabung di Karo, Korban Erupsi Merapi di Jawa Tengah dan Kelud di Jawa Timur. Perbedaan penerapan kebijakan ini sejatinya membingungkan dan menimbulkan rasa tidak adil bagi kalangan nasabah yang sama-sama menjadi korban bencana alam di wilayah masing-masing.
Ketidakadilan dalam kebijakanan sangat terasa sekali khususnya terhadap penanganan nasabah yang terdiri atas pengusaha UMKM, dan petani yang justru merupakan bagian terbesar yang menjadi korban. Seolah pemerintah sebagai pemegang policy kala itu hanya berpihak pada para pemegang dan pemilik modal saja tanpa memperhatikan mereka yang terdiri dari masyarakat kecil yang bernasib serupa dengan para pengusaha yang ada di wilayah korban dan benar-benar menjadi bagian dari korban bencana.
Belajar dari pengalaman penulis saat erupsi Gunung Kelud, Otoritas Jasa Keuangan hanya bersifat memberi keputusan keringanan utang melalui proses restrukturisasi utang selama jangka waktu 3 tahun yang diberikan kepada debitur nasabah dengan hanya melalui penjadwalan ulang angsuran, keringanan bunga pinjaman hingga pemberian kredit tambahan sebagai upaya akselerasi kondisi debitur nasabah. Sayangnya, kebijakan ini hanya diberikan kepada debitur yang memiliki track record usaha bagus selama dekade terakhir sebelum erupsi terjadi. Sementara itu untuk UMKM dan debitur lain yang belum memiliki track record bagus, alih-alih penghapusan utang, tidak ada kebijakan apapun yang diberlakukan oleh OJK terhadapnya. Bila dibandingkan dengan kebijakan OJK atas erupsi Merapi, kebijakan ini sama sekali tidak sepadan. Korban Erupsi Merapi mendapatkan kebijakan penghapusan utang sehingga menjadi nol tanggungan, meskipun keputusannya harus dilalui melalui proses mediasi dan gugatan selama 7 tahun.
Parahnya, kebijakan yang berlaku untuk korban erupsi Kelud, masih ada embel-embel syarat agar para debitur segera mengajukan permohonan restrukturisasi/relaksasi utang tercatat sejak hal keputusan restrukturisasi itu dikeluarkan hingga selambat-lambatnya 3 bulan untuk niat agar mereka tidak dimasukkan ke dalam kategori debitur bermasalah (blacklist). Bagi pihak pengusaha dan pemilik modal yang bermasalah, sudah pasti mudah untuk mempersiapkan program restrukturisasi itu. Namun, untuk masyarakat UMKM kecil dan petani yang setiap harinya harus bergelut dengan dunia pertanian, jangankan berfikir ke arah pengajuan restrukturisasi, mengurus prosesnya saja mereka tidak tahu, atau bahkan informasi tentang restrukrusisasi itu tidak sampai ke telinga mereka.
Sebuah catatan lain bahwa ternyata kebijakan yang sama dengan Kelud ini juga diberlakukan kepada debitur korban banjir di Manado dan erupsi Gunung Sinabung di Karo. Padahal, status bencana yang menimpa mereka sudah dicanangkan sebagai bencana nasional oleh pemerintah saat itu dan sama dengan status erupsi Kelud. Rupanya status bencana tidak memiliki imbas besar terhadap kebijakan pemegang policy dan perbankan.
Menelusuri sisi dasar penerapan kebijakan pemerintah terhadap korban Erupsi Kelud, kebijakan penanganan debitur oleh perbankan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006. Aturan ini diberlakukan sesaat setelah terjadinya erupsi Merapi. Saat itu korban erupsi Merapi belum mendapatkan fasilitas pemutihan utang sehingga kemudian menggugat peraturan ini atas nama debitur nasabah korban Merapi, lalu turun pemutihan utang. Mengingat sejarah ini, seharusnya kebijakan ini berlaku bagi semua perbankan mikro atau makro yang berada di bawah naungan Bank Indonesia sebagai bentuk tanggapan dari kondisi darurat (force majeure). Namun, ternyata hal itu tidak terjadi. Hanya nasabah bank BUMN saja yang mendapatkan.
Seharusnya aksi gugat debitur nasabah Merapi ini tidak perlu ada. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64 Tahun 2010 tentang Penyelesaian Piutang bermasalah pada BUMN bidang usaha perbankan seharusnya bisa menjadi dasar bagi bank-bank konvensional dan syariah untuk melakukan penghapusan tagihan pinjaman debitur korban bencana alam. Praktisnya, perbankan lebih memilih mengabaikan PMK ini dan menerapkan keputusan pemerintah dengan mengacu pada keputusan BI Nomor 8/15/PBI/2006 di atas. Mungkin, penyebab utama pengabaian ini adalah benar diakibatkan oleh faktor ambiguitas dunia perbankan tersebut seiring kewajibannya untuk menghasilkan profit bagi negara. Jadi, kepentingan aksi korporasi ini yang menjadi bahan pertimbangan utama pengabaian tersebut, karena statusnya BUMN adalah milik negara. Jika pihak direksi memutuskan hapus penagihan, maka mereka akan menghadapi masalah besar yaitu dituduh merugikan negara.
Anehnya, sebenarnya kita juga memiliki PP Nomor 14 tahun 2005 tentang hapus tagih sesuai mekanisme negara yang diperjelas pemberlakuannya oleh PMK Nomor 31 Tahun 2005. Demikian juga, kita memiliki PP Nomor 33 Tahun 2006 tentang mekanisme korporasi yang diperjelas pemberlakuannya oleh PMK Nomor 87 dan 07 Tahun 2006. Belum lagi ada sejumlah PP yang lain yang turut menguatkan. Uniknya adalah, kenapa peraturan-peraturan ini seolah diabaikan oleh pemegang kebijakan saat itu? Padahal PMK Nomor 31 Tahun 2005 jelas sekali mengatur mekanisme hapus tagih dan besarnya potongan//penghapusan utang debitur korban bencana.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005, Pasal 2 ayat 2 dan ayat 3, disebutkan bahwa pengertian “Hapus Buku” adalah sama maksudnya dengan “Penghapusan Secara Bersyarat” yaitu mengeluarkan piutang macet dari pembukuan bank tanpa menghilangkan hak tagih. Sedangkan “Hapus Tagih” adalah sama dengan “Penghapusan Secara Mutlak” dengan cara menghapuskan hak penagihan perbankan kepada nasabah. Kewenangan hapus buku dan hapus penagihan terhadap piutang negara/daerah tersebut diatur dalam PP 14/ 2005 Pasal 4 dan Pasal 9. Hapus buku dan hapus tagih terhadap piutang negara yang berjumlah sampai dengan Rp 10 Miliar merupakan kewenangan Menteri Keuangan. Piutang negara di atas Rp 10 Miliar sampai dengan Rp 100 Miliar merupakan kewenangan Presiden. Dan piutang negara di atas Rp 100 Miliar adalah merupakan kewenangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sampai di sini, kita patut berharap dengan pemerintahan sekarang agar memperhatikan keberadaan peraturan-peraturan ini untuk penanganan saudara-saudara kita di Palu dan Nusa Tenggara Barat. Kondisi darurat (force majeure) memaksa harus dilakukan hal ini. Mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal. Bahkan perkampungan pun ada yang lenyap akibat efek likuifikasi. Indonesia sedang berduka. Saudara kita sedang berduka. Sebuah hadits Rasulillah SAW yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah RA:
من فرج عن أخيه من كرب الدنيا فرج الله عنه كربة من كرب يوم القيامة رواه مسلم
Artinya: “Barangsiapa memberi solusi bagi saudaranya tentang masalah dunia, maka Allah SWT akan memberikan solusi masalah dia di hari kiamat.” (HR. Muslim [Ibnu Rajab al-Hanbaly, Syurûhu al-Hadits: Jâmi’u al-Ulûm wa al-Hukam, Beirut: Muassisah al-Risâlah, tt.: 284]). Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
Penulis adalah Mantan Aktifis “Jangkar Kelud” Kabupaten Kediri, Jawa Timur