Opini

Bab Kematian dan Islam Nusantara dalam ‘Putih’ Efek Rumah Kaca

Ahad, 13 Mei 2018 | 13:00 WIB

Oleh Sobih Adnan

Indonesia memiliki 4 persen dari jumlah total penduduk di dunia, namun ihwal musik, rezeki yang bisa dikelola darinya cuma 0,4 persennya saja. Begitu, menurut Yonder Music, salah satu perusahaan video streaming yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) pada pertengahan 2016 lalu. 

Faktornya, beragam. Penulis menduga, selain karena desakan teknologi digital yang kian memungkinkan publik mendapatkan produk secara cuma-cuma, musabab lainnya adalah anjloknya kualitas karya musisi di Indonesia.

Tolok ukurnya gampang. Nama-nama kelompok musik pop, misalnya, relatif tak ada yang baru atau mampu menggeser pamor band-band yang sudah ada sebelum tahun 2000-an. Masih eksis dan digandrunginya grup Slank, Dewa 19, Sheila On 7, dan para pemain lawas lainnya menunjukkan betapa perkembangan musik di dalam negeri ini memang stagnan. 

Kabar baiknya, kualitas karya dan perkembangan teknologi yang mengepung itu tampak masih bisa diolah dengan apik oleh para musisi label indie. Platform digital yang serba terbuka berpadu dengan proses kekaryaan yang tak sembarang menjadikan mereka makin menemukan dunia dan rezekinya tersendiri. Untuk nama-nama sekelas Mocca, White Shoes and The Couples Company, The S.I.G.I.T, atau Burgerkill, bahkan mampu menggaet penggemar sendiri di kancah musik dunia.

Yang tak kalah moncer, ada kelompok SORE, Payung Teduh, dan Efek Rumah Kaca (ERK). Tentang satu nama yang disebut terakhir inilah penulis merasa menemukan banyak hal menarik. Salah satunya, soal bagaiamana cara ERK mampu menyelaraskan komposisi musik, lirik, dan pesan yang ingin disampaikan kepada khalayak secara tidak main-main. 

Hampir di keseluruhan albumnya, boleh dibilang ERK berhasil menempatkan lagu-lagu berbobot. Tapi dari sekian banyak karya yang dimiliki, ada satu lagu berjudul "Putih" yang dianggap penulis paling bisa mewakili betapa jeniusnya Cholil Mahmud, sang pentolan grup tersebut dalam melahirkan karya-karya yang banyak diminati.

Sudut pandang

Lagu Putih terbagi dalam dua segmen. Yakni, ihwal kematian (tiada) dan kelahiran (ada). Soal pemilihan judul, tak ditemukan penjelasan persis. Yang jelas, dalam album Sinestesia yang dirilis 2015 lalu ini memang didominasi penamaan judul yang diambil dari banyak sebutan warna; Merah, Biru, Jingga, Hijau, dan Kuning.

Durasi Putih melebihi standar lagu 3 menitan. Sekali putar, pendengar membutuhkan 9 menit 46 detik untuk bisa menikmati secara keseluruhan. Barangkali, rentang waktu sepanjang ini lantaran masing-masing segmen dibentuk selaras dengan ukuran satu lagu tersendiri.

Daya tarik pertama dalam lagu ini adalah mengenai sudut pandang yang diambil. Padahal, bercerita tentang kematian, namun secara penuh cerita yang dibangun justru menggunakan sudut pandang orang pertama. 

Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulans
Dengar, pembicaraan tentang pemakaman
Dan takdirku menjelang
Sirene berlarian bersahut-sahutan
Tegang, membuka jalan menuju Tuhan
Akhirnya aku usai juga.

Pencerita dengan kata ganti “aku” adalah orang yang tengah mengalami dan memahami kematian. Kali pertama mendengarkan lagu ini, nyaris tak habis pikir, betapa si pencipta yang saat berkarya tentu masih dalam keadaan hidup itu mampu memosisikan diri sebagai orang yang sedang berada di ambang batas menemui ajal. Belum lagi, proses lepasnya ruh yang dalam lagu tersebut digambarkan dengan nuansa yang amat karib dalam kajian-kajian di dunia pesantren.

Ambil misal, dalam La’aali Masnunah diterangkan adanya sebuah pendapat bahwa tidak setiap manusia yang meninggal menyadari kondisi yang tengah dialaminya. Proses terlepasnya ruh dari jasad lebih mirip mimpi. Ketika sanak keluarga disibukkan dengan kain kafan dan persiapan pemakaman, ruh baru memafhumi kematiannya melalui penanda sosok yang berdiri tepat di posisi kepalanya.

Sosok tersebut digambarkan amat tampan jika terbentuk dari amal baik, atau sangat buruk dan menakutkan sesuai dengan dosa-dosa yang sudah terlampau banyak diperbuat. Setelah menyadari kepulangannya, barulah ruh ditempa rasa haru dan gemetar. Dalam lagu ERK, perasaan itu dilukiskan melalui kalimat "Akhirnya aku usai juga", berulang-ulang.

Tengok pula bait berikutnya;

Saat berkunjung ke rumah
Menengok ke kamar ke ruang tengah
Hangat, menghirup bau masakan kesukaan
Dan tahlilan dimulai
Doa bertaburan terkadang tangis terdengar
Akupun ikut tersedu sedan
Akhirnya aku usai juga
Oh, kini aku lengkap sudah

Perjalanan ruh berikutnya, apabila merujuk Daqaiqul Akhbar fi Dzikril Jannati wan Nar karangan Abdirrahim bin Ahmad al Qadhiy dijelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda; Ketika ruh keluar dari tubuh anak cucu Adam dan telah lewat 3 hari, ia berkata: Wahai Tuhanku, izinkanlah aku berjalan-jalan dan melihat jasad tempatku berada. Allah pun mengizinkannya, maka ruh pergi mendatangi kuburannya dan memandanginya dari kejauhan, dan sungguh mengalir darah dari hidung dan mulutnya, maka menangislah ruh dengan tangisan yang berkepanjangan, lantas berkata: Wahai jasadku yang miskin, hai kekasihku, apakah engkau ingat hari-hari kehidupanmu (di dunia), ini adalah rumah tempatnya kesunyian, bala', kepayahan, kesusahan dan penyesalan."

Sementara dalan riwayat Abu Hurairah dikatakan, ketika seorang mukmin meninggal dunia, ruhnya berputar mengelilingi rumahnya selama 1 bulan. Dia melihat harta yang ditinggalkannya, bagaimana pembagian dan pembayaran utang-utangnya. Setelah masa itu, barulah dia kembali pada kuburnya dan berputar-putar selama setahun. Dilihatnya siapa orang-orang yang mendoakan dan yang bersusah hati atas kepergiannya. Setelah genap satu tahun, ruhnya diangkat dan dikumpulkan dengan ruh-ruh lain sampai hari kiamat, tepatnya, saat malaikat Israfil meniupkan sangkalala.

Tradisi Nusantara

Masih dalam segmen "Tiada", ERK tak lupa mengutip suasana yang bersumber dari tradisi Muslim yang banyak dilakukan di Indonesia. Bahkan disebut kata "tahlilan", term yang tak lazim dan tak mudah ditemukan dalam album religi musisi kebanyakan. 

ERK, barangkali tak ambil pusing tentang adu dalil bid’ah atau tidak. Penggalan pertama lagu Putih ini menyatakan betapa seriusnya Cholil dan kawan-kawan menyajikan sesuatu yang dekat dan ada di tengah masyarakat Indonesia.

Awal 2017, survei yang dirilis Alvara Research Center menyebutkan, sebanyak 83,4 persen muslim Indonesia menjalani tradisi tahlilan. Jadi, dengan lirik sedalam ini, sudah barang tentu ERK tak usah takut kehilangan pangsa pasar. Apalagi, dalam album yang sama ERK sendiri yang menjudulkan bahwa "Pasar Bisa Diciptakan."

Kepekaan ERK dalam memotret tradisi masyarakat Indonesia ini menjadi nilai tambah berikutnya setelah mampu dengan fasih memainkan sudut pandang. Belum lagi, ketika disorot dari komposisi nada yang dimainkan, antara bab kematian dan kelahiran, ERK mampu menghadirkan suasana kontras antara makna permenungan dan penyambutan.

Sekali lagi, ERK begitu canggih dalam menghadirkan tradisi Islam di Nusantara. Dalam penutup segmen “Tiada”, karya band yang lahir pada 2001 ini kian sempurna melalui lirik berbunyi;

Dan kematian, keniscayaan
(Laa ilaaha illallah)
Di persimpangan, atau kerongkongan
(Laa ilaaha illallah)
Tiba tiba datang, atau dinantikan
(Laa ilaaha illallah)
Dan kematian, kesempurnaan
(Laa ilaaha illallah)
Dan kematian hanya perpindahan
(Laa ilaaha illallah)
Dan kematian, awal kekekalan
(Laa ilaaha illallah)
Karena kematian untuk kehidupan tanpa kematian.

Alhasil, abadilah ERK dalam setiap karya-karyanya.


Penulis adalah santri penikmat kopi, musik, dan puisi. Bekerja sebagai content editor di Metro TV.


Terkait