Di media massa, baik cetak maupun daring, isu terorisme dan kekerasan atas nama agama terus menjadi wacana aktual para jurnalis, akademisi kampus, juga kalangan intelektual baik skala lokal maupun nasional. Wacana ini menjadi amat masif dibicarakan pasca rangkaian aksi kekerasan mulai dari yang terjadi di Rutan Mako Brimob hingga rangkaian bom bunuh diri di Surabaya, Sidoarjo dan daerah lainnya beberapa waktu lalu.
Persoalan utama yang sering menjadi polemik dan tampak membingungkan adalah para pelaku teror ini dan kelompok tertentu yang melakukan kekerasan, sama sekali tidak merasa bersalah sebab mereka merasa mendapat justifikasi dari ajaran agama (Islam) yang diyakininya. Faktanya memang ada kelompok tertentu dalam Islam yang menghalalkan dan melakukan tindakan teror untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Aman Abdurrahman misalnya, terpidana terorisme dan otak di balik berbagai aksi bom di Tamrin, Kampung Melayu dan Samarinda, menolak dan menganggap para pelaku bom bunuh diri di Surabaya sebagai kelompok yang tidak mencerminkan Islam dan mereka tak lebih dari orang-orang yang terjangkit sakit jiwa. Betapapun Aman bersikap demikian, tak dapat dipungkiri bahwa dia juga mendapatkan justifikasi ajaran Islam ketika merencanakan berbagai aksi bom dan kekerasan. Sebab sedari awal dia merasa Indonesia menjalankan prinsip kenegaraan dan hukum berdasarkan asas-asas yang bukan berasal dari hukum Islam.
Ada dua hipotesis yang bisa diajukan terkait masalah ini. Pertama, terorisme dan tindak kekerasan itu sebenarnya berawal dari kesalahpahaman dalam menafsirkan dogma-dogma utama dalam teks suci agama Islam, misalnya tentang orientasi makna jihad dan kafir. Dua istilah ini amat sering dipahami secara salah kaprah dan sebagai pembenar. Mereka tak pernah merasa bersalah ketika melakukan aksi bom dan kekerasan lainnya.
Kedua, tindakan teror dan kekerasan ini sebenarnya bukan merupakan persoalan agama, namun lebih mengarah pada persoalan-persoalan sosial-politik dan ekonomi, sehingga lewat jalur agama justu tidak akan ditemukan akar persoalannya dan lebih tampak sebagai tindakan sembarangan yang tidak berguna.
Hipotesis ini sekaligus mengungkap satu fakta tak terbantahkan bahwa memang ada kelompok tertentu di kalangan umat Islam yang memiliki anggapan tindakan teror dan kekerasan itu sah-sah saja. Yang menarik, kelompok ini memiliki pola pikir yang porosnya sama dengan mayoritas umat Islam pada umumnya, yakni selalu berangkat dari pemahaman Al-Qur’an dan Hadits.
Meskipun perspektif yang berbeda membuat kelompok ini melahirkan pemahaman yang berbeda secara tajam, termasuk membolehkan terorisme dan kekerasan yang bagi sebagian besar umat Islam dikategorikan sebagai ‘bukan bagian dari ajaran Islam’. Mereka Muslim, tetapi pada saat yang sama tidak mencerminkan nilai-nilai Islam, justru para pelaku teror ini mencerabut iman dari akarnya.
Media sosial yang selama ini amat berpengaruh dalam memproduksi isu-isu yang dimunculkan kelompok tertentu yang anti negara dan seluruh perangkat ideologinya, membuat kita begitu susah memberantas paham ekstremisme. Padahal, tidaklah cukup jika hanya mengandalkan aparat negara. Kita butuh bahu-membahu dan selalu waspada dengan seluruh paham yang menyimpang ini. Dengan selalu mengedepankan sikap moderat dan cinta damai. Strategi ini pasti akan sangat berguna untuk melawan mereka.
Dalam masyarakat yang plural dan demokratis, setiap individu dan kelompok memang bebas dan memiliki hak untuk menyakini dan menyatakan pemikirannya. Namun di level sosial-kemasyarakatan, tidak setiap pemikiran dan keyakinan diperbolehkan hidup dan berkembang. Kenyataan inilah yang menjadi akar resistensi terhadap beberapa varian-varian baru tersebut, khususnya terhadap kelompok radikal dan ekstremis.
Kesepakatan-kesepakatan sosial memang tidak selalu tepat dan proporsional. Kadang-kadang pandangan umum yang over-generalisir dijadikan standar bersama. Hal inilah yang juga seringkali menjadi sumber generalisasi oleh kelompok tertentu di luar Islam, khususnya masyarakat Barat yang memiliki pandangan Islamophobia terhadap orang Islam sebagai radikal atau teroris.
Pada akhirnya, yang perlu ditumbuhkan di kalangan umat Islam Indonesia sekarang adalah sebentuk kesadaran bersama, yakni kesadaran akan identitas sekaligus kesadaran akan pluralitas. Lebih jelasnya, sebuah kesadaran akan nampak dari sejauh mana seorang Muslim harus menyakini dan mengekspresikan keislamannya dalam konteks keindonesiaan dan sejauh mana seorang Muslim harus mampu menyikapi dan menghargai pluralitas secara tepat. Hal ini amat penting sebab kesadaran akan pluralitas berguna sekaligus sebagai penopang toleransi dan harmoni.
Batas pemisah antara identitas dan pluralitas ini mungkin tidak terlalu tegas dan perlu diwacanakan secara terus-menerus. Namun yang jelas setiap pribadi Muslim pasti mengemban dan memiliki dua tanggungjawab sekaligus, yakni sebagai hamba Allah yang wajib patuh dan taat apapun kehendak-Nya, dan sebagai wakil Allah yang dituntut untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi ini. Bukan malah menjadi sumber konflik dan teror yang anti kemanusiaan.
Di sisi lain, Pemerintah melalu Polri dan TNI sudah bersama-sama dalam melakukan pemberantasan terorisme. UU terorisme yang baru saja disahkan juga akan semakin memperkuat negara dalam melawan dan menindak aksi-aksi terorisme. Seluruh lapisan masyarakat, sudah seharusnya bersama-sama membendung seluruh arus paham radikal yang akan menjerumuskan pada praktik kekerasan atas nama agama. Maka tinggalkan seluruh perbedaan di antara kita dan satukan diri atas nama cinta tanah air.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.