Opini

Aksi Destablisasi di Myanmar

Ahad, 7 Oktober 2007 | 12:26 WIB

Hendrajit

Tidak selamanya gerakan menuntut pemindahan kekuasaan segera dari rezim militer ke sipil selalu merupakan suatu langkah politik yang cukup strategis dan efektif. Salah satu bukti nyata adalah gerakan menuntut penggusuran pemerintahan rezim militer Myanmar di bawah kepemimpinan Jenderal Than Shwe yang dilancarkan oleh kelompok oposisi yang berada dalam naungan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi.

Kelemahah yang paling mendasar dan krusial dari gerakan pro demokrasi di Myanmar adalah, Aung San Suu Kyi itu sendiri secara riil politik belum bisa dianggap sebagai pemimpin alternative  yang menjadi simbol pemersatu dari seluruh elemen gerakan kekuatan sipil yang menentang rezim militer pimpinan Jenderal Than Shwe.<>

Kedua, meskipun Agama Buddha dianut oleh 89 persen warga Myanmar dan ada semacam kesepakatan umum di Myanmar bahwa para biksu atau tokoh spiritual Agama Buddha merupakan sumber kekuatan moral yang yang cukup potensial untuk memobilisasi penyikapan masyarakat terhadap rezim militer, pada kenyataannya Myanmar tidak mempunyai pemimpin gerakan yang mampu memobilisasi para Biksu menjadi sebuah kekuatan moral yang aktual dan efektif seperti yang pernah dilancarkan oleh tokoh pergerakan India Mahatma Gandhi melalui gerakan Ahimsa dan gerakan anti kekerasan ketika melawan pemerintahan kolonial Inggris pada dekade 1930-an.

Alhasil, gerakan menuntut penggusuran rezim militer pimpinan Jenderal Than Shwe akhir Septemer lalu yang bermula dari gerakan menentang kebijakan pemerintahan militer menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, pada perkembangannya menjadi gerakan pro demokrasi yang bertumpu pada seorang pemimpin bernama Aung San Suu Kyi, namun tanpa kejelasan kepemimpinan dan strategi yang tepat sasaran.

Inilah sisi rawan dari gerakan pro demokrasi pimpinan Suu Kyi yang terperangkap dalam ilusi bahwa gerakan NLD yang dia pimpin merupakan sebuah kekuatan rakyat yang solid, terorganisasi dengan rapid an punya basis sosial-budaya yang kuat dan mengakar di kalangan masyarakat Myanmar.

Karena secara faktual gerakan pro demokrasi NLD pada hakekatnya tidak memiliki basis sosial dan budaya yang mengakar di Myanmar, gerakan pro demokrasi Suu Kyi dan NLD pada umumnya, secara sadar atau tidak akhirnya masuk dalam skema dan agenda kekuatan-kekuatan negara asing seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa. Dengan kata lain, gerakan demokratisasi pimpinan Suu Kyi pada perkembangannya telah dirancang berdasarkan sistem demokrasi ala Amerika atau Uni Eropa.

Untuk jelasnya, gerakan pro demokrasi NLD pimpinan Suu Kyi yang sekarang mengklaim menjadi National Coalition Government (NCG). Jadi semacam pemerintahan koalisi nasional. Dengan agenda tunggal saat ini: mengganti dengan sesegera mungkin rezim militer pimpinan Jenderal Than Shwe (Rezim Change).

Inilah agenda utama Amerika, negara-negara Uni Eropa dan  Jepang. Demokratisasi Myanmar berarti mengganti rezim militer dengan pemerintahan sipil yang dimonopoli oleh kelompok Oposisi di bawah naungan NLD yang sekarang menegaskan dirinya sebagai Pemerintahan Koalisi Nasional (NCG).

Karena agenda utama gerakan pro demokrasi Suu Kyi adalah rezim change, maka tidak mengherankan jika langkah-langkah yang ditempuh Suu Kyi dan sekutu-sekutu politiknya adalah aksi destabilisasi ditujukan untuk mengondisikan dua hal: Mencari dan Mencuri perhatian dunia internasional dengan momentum Sidang Umum PBB. Dan mengondisikan dan mempertajam polarisasi di tubuh junta militer.

Siasat semacam ini, jika pun pada akhirnya berhasil seperti beberapa contoh kasus di negara-negara Amerika Latin maupun Asia, hanya sekadar mengganti rezim lama dengan rezim baru, namun agenda-agenda demokrasi baik politik maupun ekonomi, tidak pernah benar-benar bisa dituntaskan.

Mengapa disebut aksi destabilisasi? Karena inilah yang sebenarnya diharapkan oleh kekuatan-kekuatan asing seperti Amerika, Uni Eropa dan Jepang. Dengan menguatnya gerakan demonstrasi anti rezim militer dan jatuhnya banyak korban jiwa baik dari kalangan Biksu Buddha maupun aktivis pro demokrasi yang titik kulminasinya terjadi pada Minggu 23 September lalu, maka kekuatan-kekuatan asing yang berkepentingan untuk bermain di Myanmar tersebut, punya justifikasi atau alasan pembenaran bahwa desakan ke arah demokratisasi dan penggulingan rezim Jenderal Than Shwe sudah sangat urgen dan mendesak untuk dilakukan.

Pada tataran ini, kepentingan Amerika-Uni Eropa-Jepang, nampaknya bertentangan dengan kepentingan Cina dan negara-negara ASEAN yang lebih memilih cara-cara gradual untuk menuju demokratisasi Myanmar.

Sebenarnya kalau Amerika dan kekuatan-kekuatan negara barat menuding Cina tidak perduli dengan sikap represif pemerintahan militer jenderal Than Shwe, sebenarnya tidak cukup beralasan atau malah sangat berlebihan. Buktinya, Cina sudah berkali-kali mendesak Myanmar melanjutkan proses demokratisasi yang sesuai bagi negara itu. Dengan menggarisbawahi demokratisasi yang sesuai bagi negara itu, jelas bahwa Cina sebenarnya juga menginginkan adanya suatu perubahan politik yang cukup substantif dan signifikan di Myanmar namun tetap dengan mempertahankan stabilitas politik di dalam negeri.

Kedua, meskipun di balik layar, Cina ternyata memainkan peranan besar dalam mendesak rezim militer Than Shwe untuk melonggarkan tekanan dan represinya terhadap gerakan pro demokrasi. Bahkan, adalah Cina yang berhasil memfasilitasi kunjungan utusan PBB Ibrahim Gambari ke Myanmar dan menemui pimpinan oposisi Aung San Suu Kyi.

Gagasan Cina mengenai demokratisasi yang sesuai dengan natur dan kultur Myanmar sebagaimana diutarakan oleh diplomat senior Cina Tang JIaxuan kepada Menteri Luar Negeri  Myanmar U Nyan Win ketika berkunjung ke Beijing beberapa waktu yang lalu, nampaknya sejalan dengan gagasan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda.

Bahkan Wirajuda lebih kongkrit lagi dengan mengusulkan Myanmar agar dalam transisi menuju demokrasi, pemerintahan Junta militer Myanmar perlu memberi kesempatan untuk melakukan pembagian kekuasaan sementara dengan pemerintahan sipil.

Maka menurut Menlu RI, perlu segera dibentuk pemerintahan bersama sipil-militer. Diharapkan melalui proses transisi tersebut, militer berhasil diyakinkan bahwa sipil memang bisa memegang kendali kekuasaan dan militer tidak merasa terancam oleh adanya perubahan kekuasaan ke arah pemerintahan sipil yang demokratis. Sehingga pada akhirmya, pembagian kekuasaan secara seimbang antara sipil dan militer bisa diwujudkan.

Baik konsep Cina  maupun Indonesia, secara tersirat menentang konsep demokrasi ala Amerika dan negara-negara barat yang mengandalkan proses demokratisasi Myanmar dalam monopoli pengaruh kelompok oposisi pimpinan Aung San Suu Kyi. Artinya, dalam skema Cina maupun Indonesia, Aung San Suu Kyi tetap harus dilibatkan dalam rekonsiliasi nasional. Namun tidak dibatasi hanya rekonsiliasi antara Than Shwe dan Aung San Suu Kyi. Melainkan rekonsiliasi antara militer dan seluruh elemen kekuatan sipil yang menginginkan perubahan substantif namun bertahap dan dalam kerangka stabilitas politik dalam negeri yang tetap terjaga.

Inilah akar penyebab mengapa proses demokratisasi di Myanmar menjadi rumit dan sulit. Skema gerakan demokratisasi Aung San Suu Kyi yang lebih menekankan pemindahan kekuasaan segera dari militer ke sipil sebagaimana kepentingan Amerika dan Eropa Barat, sebagai akibatnya gerakan demokratisasi yang dimotori oleh NLD dan NCG tersebut, tidak terlalu mendapat dukungan yang cukup meluas dari kalangan masyarakat Myanmar. Karena aspek sosial-ekonomi yang menjadi masalah utama yang dihadapi rakyat Myanmar saat ini, justru tidak menjadi agenda utama para elit politik oposisi pimpinan Suu Kyi.

Bahkan dalam gerakan demonstrasi memprotes kenaikan harga BBM pada 23 September lalu yang pada hakekatnya merupakan isu ekonomi, oleh para elemen NLD dan NCG telah digeser isu sentralnya menjadi gerakan menuntut pemindahan kekuasaan segera dari rezim militer ke pemerintahan sipil. Sehingga tidak heran jikan Jenderal Shwe memanfaatkan celah ini dengan menuding Aung San Suu Kyi dan gerakan NCG sebagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.

Diabaikannya masalah ekonomi dan sosial sebagai isu sentral untuk diusung oleh Suu Kyi dan NCG, mereka seakan yakin bahw setelah demokrasi sipil yang mereka pimpin berhasil mengambil-alih kekuasaan, masalah-masalah sosial ekonomi dengan sendirinya akan bisa diatasi. Nampaknya, para demonstran khawatir dengan kondisi obyektif ekonomi Myanmar, sehingga tidak mengajukan tuntutan-tuntutan apapun. Disamping itu, agenda strategis Amerika dan Uni Eropa memang hanya membatasi agenda demokratisasi hanya pada ruang lingkup politik sebagai peluang untuk menciptakan sirkulasi elit politik baru di Myanmar, namun tetap dalam kendali kepentingan kekuatan-kekuatan asing.

Ini bukan sebuah tren yang cukup aneh. Beberapa perusahaan raksasa global, termasuk Amerika, berebut kekayaan alam di Myanmar. Seperti Perusahaan raksasa energi dan minyak Amerika Chevron, perusahaan raksasa minyak Perancis Total. Belum lagi termasuk China National Petroleum Corporation, perusahaan Minyak Jepang Nippon Oil Corp, perusaah Korea Selatan Daewoo International, Petronas Malaysia, Oil and Natural Gas Corp (India).

Dengan fakta-fakta seperti ini, barang tentu kelompok NLD dan NCG pimpinan Suu Kyi, sudah berangan-angan bahwa jika mereka berhasil menggusur rezim militer Than Shwe, mereka akan menjadi oligarki politik baru yang memiliki akses terhadap perusahaan-perusahaan raksasa global tersebut. Karena itu, masalah kesenjangan ekonomi dan sosial dengan sadar mereka hindari untuk dijadikan isu sentral dari gerakan pro demokrasi Suu Kyi dan para pendukungnya.

Sebaliknya, dalam konteks persaingan global Amerika-Eropa Barat versus Cina di kawasan Asia Tenggara, keberhasilan kelompok Suu Kyi menjadi kekuatan politik baru Myanmar, akan menjadikan Suu Kyi dan para kroninya sebagai komprador-komprador baru yang akan malanggengkan kepentingan strategis Amerika dan Eropa Barat di Myanmar, sekaligus melumpuhkan atau setidaknya menetralisasi pengaruh ekonomi dan bisnis Cina di Myanmar yang saat ini sudah sangat kuat sebagai penopang ekonomi rezim militer Than Shwe.

Karena itu, bisa dimengerti jika banyak kalangan yang menilai gerakan pro demokrasi di Yangon dan Mandalay sebenarnya tidak sebesar sebagaimana dilansir oleh beberapa media massa asing. Misalnya saja ketika ada klaim dari kalangan NCG bahwa gerakan demonstrasi di Yangon berhasil memobilisasi sekitar 10-20 ribu orang, ternyata versi lain mengatakan demonstrasi tersebut hanya melibatkan sekitar 7000 orang.

Lalu dalam kaitannya dengan klaim adanya dukungan para biksu Buddha sebagai kekuatan moral dari gerakan ini, sebenarnya juga muncul berbagai kontroversi yang justru semakin menimbulkan keraguan bahwa kelompok NCG pimpinan Suu Kyi berhasil memobilisasi para biksu sebagaimana yang mereka klaim berhasil memobilisasi 400.000 biksu dalam gerakan demonstrasi di Yangon dan Mandalay.

Padahal menurut sebuah sumber dari kalangan wartawan yang meliput ke Myanmar kepada penulis, secara riil yang berhasil digalang oleh kelompok NCG pimpinan Suu Kyi, hanya sebesar 1200 biksu. Itupun, kabarnya merupakan orang-orang yang bukan biksu namun menggunakan atribut baju biksu. Terlepas benar tidaknya informasi ini, namun setidaknya ini membenarkan dugaan dan anggapan banyak kalangan yang meragukan gerakan pro demokrasi pimpinan Suu Kyi dalam memobilisasi elemen-elemen masyarakat yang punya basis sosial budaya di kalangan masyarakat.

Memang harus diakui bahwa dalam sejarah pergerakan Myanmar ketika masih bernama Burma, Biksu memang merupakan kekuatan moral dan spiritual masyarakat Myanmar. Ketika mereka menyatakan sikap non kooperatif terhadap rezim, maka masyarakat seperti disadarkan bahwa pemerintah dan negara secara moral sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

Namun sebagai kekuatan moral dan spiritual, dalam sejarahnya para biksu selalu menyatakan sikap non kooperatifnya kepada rezim dengan cara melakukan gerakan turun ke jalan secara damai dengan berdoa dan membaca kitab suci. Dan justru dengan pola gerakan semcam itu yang sifatnya spiritual dan bermuatan keagaamaan, justru berhasil menyentuh hati sanubari masyarakat Myanmar untuk bersatu sikap mengambil sikap non kooperatif terhadap rezim. Dan biasanya, biasanya gerakan para biksu ini hanya berujung pada aksi boikot.

Namun yang terjadi dalam gerakan demonstrasi pro demokrasi yang puncaknya pada 23 September lalu, sungguh megherankan bahwa para biksu kemudian menjarah took-toko milik pendukung junta militer, dan yang lebih mengejutkan lagi, lalu menyandera sejumlah aparat  keamanan sebagai bentuk perlawanan terhadap junta militer Jenderal Than Shwe.

Tidak mengherankan jika arus utama dari komunitas pemeluk agama Buddha yang kebetulan dianut oleh 89 persen masyarakat Myanmar, kabarnya sempat melayangkan tegoran kepada para biksu “gadungan” tersebut yang dalam pandangan komune pemeluk Buddha telah melanggar larangan dan pembatasan yang telah ditetapkan.

Jadi klaim kelompok pro demokrasi NCG bahwa mereka berhasil memobilisasi 400.000 biksu, sebenarnya cukup berdasar asal mereka memang berhasil menggalang dukungan dari koumnitas pemeluk agama Buddha yang merupakan agama mayoritas masyarakat Myanmar. Namun dengan fakta bahwa komunitas Buddha tidak merasa menjadi bagian dari gerakan para biksu yang diklaim oleh kelompok Suu Kyi sebagai sumber kekuatan moral dan spirituasl gerakan pro demokrasi, maka klaim kubu NCG tersebut menjadi tidak berdasar sama sekali. Apalagi ketika kemudian berkembang informasi bahwa 1200 biksu yang berhasil digalang kelompok pro demokrasi, sebenarnya hanya sekelompok orang yang menggunakan atribut dan baju biksu.

Mengamati perkembangan tersebut, bisa jadi menurunnya gerakan para biksu setelah gerakan 23 September tersebut, bukan karena semata adanya represi dan penyerbuan militer ke wihara-wihara tempat para biksu bermukim, melainkan karena adanya arahan dan instruksi dari komunitas pemeluk Buddha untuk  tidak terperangkap dalam skema gerakan demokratisasi NLD dan NCG yang hanya mengeksploitasi para biksu untuk dijadikan basis massa kelompok pro demokrasi Suu Kyi dalam melancarkan aksi destabilisasi terhadap rezim militer Than Shwe di Myanmar. 

Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute(GFI)
     



 
  



Terkait