Oleh Amanah Nurish
Tulisan ringan ini bermaksud untuk memaparkan fenomena mengenai isu kependudukan yang dilekatkan dengan mitos sekaligus konstruksi agama. Dalam sejarah peradaban manusia, faktor sumber daya alam dan agraria senantiasa menjadi sumber utama dalam konflik antar golongan, suku, negara, dan bangsa. Nilai-nilai utama dalam kekuasaan memang tidak lepas dari dua unsur penting; yakni sumber daya alam dan agraria. Pengaruh utama penyebab perang dan konflik di dunia dalam memperebutkan wilayah kekuasaan dan sumber energi yang ada di perut bumi secara tidak sengaja mengorbankan dua golongan umat manusia; kaum perempuan dan anak-anak.
Pascarevolusi industri, gaya hidup
manusia bergeser dari cara hidup tradisional menjadi modern. Manusia lebih
menggantungkan keberhasilan inovasi dan teknologi, termasuk pemanfaatan
kemajuan teknologi kontrasepsi (Sachs, 2005). Di tengah arus modernisasi, jumlah
manusia mengalami ledakan yang signifikan dari tahun ke tahun. Konsumsi energi,
pangan, kesehatan, dan tempat tinggal menjadi semakin terbatas sehingga angka
kemiskinan di dunia kian bertambah. Kemiskinan adalah penyebab utama dari
kondisi ketidakmerataan ekonomi, sumber daya energi, dan lapangan pekerjaan
pada populasi, yang biasanya diukur dari proporsi rumah tangga dengan
penghasilan di bawah garis kemiskinan (Mason, 2005). Di Indonesia sendiri angka kelahiran dan ledakan penduduk menjadi
salah satu kekhawatiran yang tak kunjung ada jawaban.
Ledakan penduduk yang makin tak
terkontrol selain menyebabkan masalah sosial dan ekonomi juga menyebabkan kerusakan
ekosistem dan lingkungan hidup. Perebutan wilayah dan sumber daya alam yang
konon memicu politik dunia tidak stabil sehingga terjadi konflik antar negara.
Penekanan jumlah penduduk yang terus menerus diupayakan melalui program Millennium Declaration hingga
disepakatinya indikator kependudukan dalam sasaran pembangunan global Millenium Development Golas (MDGs) masih
menjadi pijakan yang cukup serius terutama di negara-negara berkembang seperti
Indonesia.
Regenerasi Atas Nama Agama
Peran Nahdlatul Ulama (NU) di masa orde baru sempat menjadi salah satu
pilar penting dalam mensukseskan program pembangunan Keluarga Berencana
Nasional (KBN) di tingkat Fatayat-Muslimat yang dialokasikan melalui wadah
LKKNU. Selain organisasi NU, peran organisasi Muhammadiyah dalam program KBN
juga memiliki keterlibatan yang cukup penting untuk dicatat. Melalui lembaga
Majelis Pembina Kesehatan (MPK) Muhammadiyah didirikanlah klinik-klinik
kesehatan dan rumah sakit untuk menyediakan pelayanan KB sekaligus pelayanan
kesehatan reproduksi bagi kaum perempuan (Widyantoro, 2003). Namun
organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah dalam mendukung program
KB mengalami fluktuasi. Peran MPK dan LKKNU yang bekerja sebagai lembaga
advokasi perencanaan keluarga-yang zaman orde baru pemberdayaannya didukung
oleh pemerintah, kini peran lembaga-lembaga tersebut mengalami kemandulan dan
kemunduran.
Fatwa
dari beberapa kelompok Islam radikal menyikapi KB sebagai suatu larangan dan
diharamkan. Tentunya, menurut saya ini sungguh ancaman yang serius. Mengenai
hukum KB menurut Syaikh Abdul Aziz Bin Baz adalah berdasarkan hasil Haiah
Kibaril Ulama yakni organisasi ulama di Saudi yang telah memutuskan bahwa
mengkonsumsi alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan tidak diperbolehkan dan
bersifat haram. Dalam penjelasannya, kenapa KB itu diharamkan karena Allah
mensyariatkan untuk hamba-Nya untuk mendapatkan keturunan dan memperbanyak
jumlah umat.
Kelompok-kelompok
radikal yang menganggap KB sebagai produk barat memegang teguh sebuah hadis
yang berbunyi “Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena
sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di
hari kita” (Abu Daud 1/320, Nasa’i 2/71, Ibnu Hibban No. 1229, Hakim 2/62).
Interpretasi terhadap surat Al Isra yang berbunyi “Dan Kami jadikan kamu
kelompok yang lebih besar” (Al-Isra: 6) dipandang sebagai pedoman dalam
memperbanyak keturunan. Persoalan kependudukan tidak hanya menyangkut masalah negara,
melainkan juga melibatkan persoalan gender, ideologi dan agama yang turut
bermain di dalamnya.
Tingginya
angka ledakan penduduk di Indonesia tidak hanya menjadi tanggung jawab dan kesadaran
pemerintah saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab dari semua elemen
masyarakat. Jumlah penduduk yang kian hari kian bertambah tidak hanya
menyebabkan terjadinya krisis pangan dan energi sebagai penopang kehidupan
manusia, namun juga menyebabkan terjadinya krisis ekologi, oksigen, dan udara
sehat yang akan dihirup oleh manusia-terutama di perkotaan. Kritik tajam atas
masalah kependudukan di Indonesia pernah diungkapkan Prof Muhajir Darwin dari
Pusat Studi Kependudukan (PSKK) Universitas Gadjah Mada, yang dengan tegas
berpendapat bahwa isu-isu mengenai KB sudah tidak menjadi hal penting lagi
semenjak runtuhnya rezim orde baru.
Problem
kependudukan di Indonesia tidak sepenuhnya berada di tangan negara saja,
melainkan juga menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai individu dan
masyarakat. Jika pertumbuhan penduduk rata-rata setiap tahunnya meningkat
antara 3,4 juta – 3,5 juta, maka jumlah angka kelahiran di Indonesia berkisar
kurang lebih 9.589 bayi setiap harinya. Artinya, dengan laju pertumbuhan
penduduk yang semakin tahun semakin meningkat, maka menurut laporan BKKBN tahun
2012 menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia adalah
masalah ketahanan pangan, dengan rasionalitas sebagai berikut: (1) Alih fungsi
lahan pertanian akibat tingginya urbanisasi (2) Perubahan iklim sehingga
mempengaruhi kemampuan produksi dan stok pangan, gejolak penawaran dan
permintaan pangan, serta gejolak dan ketidakpastian harga pangan (3) 27% penduduk
rawan pangan (4) Masih tingginya prevalensi gizi buruk.
Keberhasilan
pembangunan di suatu negara tidak hanya bergantung pada jumlah sumber daya alam
yang tersedia, namun bergantung pada kualitas penduduk. Melalui beberapa
wawancara yang saya lakukan dengan kelompok organisasi keagamaan kelompok
radikal menunjukkan indikator bahwa persoalan ledakan penduduk di Indonesia
tidak menjadi soal asalkan pemerintah dan negara bisa mengatur sumber daya alam,
sehingga seberapapun jumlah penduduk di negeri ini tidak jadi masalah.
Ledakan populasi yang makin hari makin meningkat memiliki implikasi persoalan kriminalitas, kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, krisis energi, dsb. Menurut saya hal ini menjadi penting untuk direnungkan karena dogma agama mempunyai potensi untuk membesarkan populasinya masing-masing demi alasan regenerasi umat. Masih relevankah anekdot “banyak anak banyak rejeki” di era kapitalisme global seperti sekarang ini?
Warga Nahdliyin dan peneliti di bidang sosial keagamaan masyarakat Asia Tenggara.
Saat ini sedang bekerja sebagai konsultan tim USAID-Washington untuk program Agama,
Perdamaian, dan Lingkungan.