Nikah/Keluarga

Istri Mengaku Lajang hingga Dilamar Orang

Sabtu, 31 Agustus 2024 | 14:00 WIB

Istri Mengaku Lajang hingga Dilamar Orang

Istri mengaku lajang hingga dilamar orang (© aquila-style.com).

Kecanggihan internet dan sistem informasi turut membawa berbagai dampak dalam kehidupan, termasuk dalam perjodohan di antara manusia. Koneksi yang mudah dan intens kadang juga membentuk hubungan-hubungan spesial di antara orang hanya melalui media, yang ditindaklanjuti dengan pertemuan di dunia nyata.
 

Pola hubungan demikian membuat banyak orang kecolongan terhadap latar belakang pasangannya. Baik latar belakang ekonomi, pendidikan, keluarga, dan yang paling parah lagi adalah status lajang tidaknya. 
 

Ada saja kejadian wanita telah menikah dan memiliki suami namun mengaku single terhadap pria barunya. Bahkan ada pula yang sampai pada titik dilamar dan benar-benar melakukan pernikahan.
 

Lalu bagaimana hukum dan status pernikahan bagi wanita yang sudah menikah namun mengaku masih lajang tersebut?
 

Untuk mendapat jawaban utuh dari kasus di atas ada beberapa uraian yang akan penulis singgung dalam tulisan ini sebagaimana berikut.
 

Lima Rukun Pernikahan 

Pernikahan yang sah secara syariat harus memenuhi lima rukun di dalamnya. Adapun kelima rukun pernikahan adalah:

  1. Sighat yang dikenal dengan istilah ijab qabul.
  2. Calon suami.
  3. Calon istri.
  4. Dua saksi.
  5. Wali. (Al-Bajuri, Hasyiyah Al-Bajuri 'ala Ibni Qasim, [Dar Al-'Ilmi; 1999], juz II, halaman 103).  

Semua rukun ini masing-masing memiliki syarat-syarat yang harus terpenuhi.
 

Di antara syarat yang harus dipenuhi oleh calon pasangan suami istri terbagi menjadi dua:

  1. Syarat yang berlaku bagi kedua calon mempelai, yaitu  harus jelas dan spesifik orangnya (muayyan), merupakan orang halal untuk dinikahi, dan ketiga bukan orang yang sedang ihram.
    (Musthafa Dib Al-Bugha, Fiqhul Manhaji, [Darul Kutub Al-'Alamiyyah; 2000], juz IV, halaman 60).
     
  2. Syarat yang berlaku khusus bagi masing-masing laki-laki dan perempuan.
    Syarat bagi calon istri harus tidak sedang berstatus menjadi istri orang lain, bukan wanita yang sudah ditalak tiga oleh calon suami, bukan wanita yang disumpah li'an oleh calon suami, tidak sedang dalam keadaan 'iddah.

    Sedangkan syarat bagi calon suami adalah bukan pria yang sudah memiliki empat orang istri. (An-Nawawi, Raudatut Thalibin, [Darul Kutub Al-Islamiyyah], juz VII, halaman 34)
 

Dengan demikian, wanita yang sedang berstatus sebagai istri tidak sah menikah dengan pria lain, selama status pernikahannya sah secara syariat. 
 

Mengulik Kondisi Calon Pasangan 

Islam mengajarkan kita untuk selektif dalam mencari pasangan hidup, dengan memprioritaskan empat hal, yakni agama, nasab, kecantikan/ketampanan, dan kemampuan finansial. Karena itu Islam menyunahkan bagi orang yang hendak menikah untuk mencari tahu kondisi calon pasangan agar saat menikah tidak membawa penyesalan.
 

Kesunahan mencari informasi kondisi calon pasangan tersebut jika hanya berkaitan dengan sesuatu yang tidak prinsip dan tidak bersentuhan langsung dengan sah tidaknya pernikahan. Namun jika informasinya berkaitan dengan hal-hal yang menjadi penentu sah tidaknya pernikahan, maka hukum mencari informasi kondisi pasangan tersebut adalah wajib. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi: 
 

وشرط فيها حل خرج من شك في حلها كالخنثى او المعتدة حتى لو اعتقد انها معتدة فالعقد باطل وان تبين عدم العدة لعدم تيقن الحل 
 

Artinya, “Disyaratkan bagi calon istri adalah wanita yang halal dinikah. Karena itu mengecualikan wanita yang masih diragukan kehalalannya, seperti khuntsa atau wanita yang seang menjalani masa 'iddah, sehingga jika seorang pria meyakini bahwa wanita yang akan dinikahi sedang dalam masa 'iddah, maka pernikahannya batal meskipun terbukti bahwa dia tidak sedang 'iddah karena tidak adanya kemantapan atas kehalalan wanita tersebut.” (Hasyiyah Bujairimi 'alal Khatib, [Darul  Kutub Al-Alamiyyah], juz IV, halaman 140).
 

Dengan demikian, penetapan status kehalalan seorang wanita untuk dinikahi harus dipastikan sebelum pernikahan terjadi dalam rangka berhati-hati (ihtiyath).
 

Namun andaikan ada wanita yang jika ditanya mengaku masih dalam keadaan sendiri atau single, maka ucapannya bisa dibenarkan dan wali boleh menikahkannya. (Al-Bujairimi, IV/141).
 

Sementara jika ia mengaku telah menikah dan sudah diceraikan oleh suaminya, maka dapat dibenarkan jika yang menikahkannya adalah wali khususnya, dan dibutuhkan sebuah pembuktian dan penetapan tertentu jika yang menikahkan adalah wali umum (Imam). (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal 'ala Syarhil Manhaj, [Dar Al-Ilm], juz IV, halaman 138).
 

Meski demikian, wanita yang mengaku seperti ini tetap berdosa atas tindakan berbohongnya. 

 

Hukum Pernikahan yang Terlanjur Dilaksanakan

Pernikahan yang dilakukan dalam kondisi tidak memenuhi rukun dan syaratnya, maka dihukumi sebagai nikah yang fasid (rusak) dan batal demi hukum.
 

Adapun konsekwensi hukumnya berkaitan dengan hubungan yang dibina dalam pernikahan tersebut, di antaranya dalam hal hubungan badan, mahar, status anak, dan hubungan kekerabatan mushaharah

Hubungan lelaki perempuan yang terjebak dalam status pernikahan yang tidak sah maka hubungan badan yang dilakukan dinamakan dengan wati syubhat (hubungan yang terdapat ketidakjelasan).
 

Secara umum penyebab hubungan badan distatuskan sebagai wathi syubhat disebabkan beberapa perkara sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari:
 

ومن وطء امراة بملك او بشبهة منه كان وطء بفاسد نكاح او شراء اوبظن زوجة حرم عليه أمها
 

Artinya, “Barang siapa menyetubuhi seorang wanita sebab adanya kepemilikan, atau sebab hubungan yang tidak transparan (syubhat) dari seorang laki-laki, seperti persetubuhan yang dilakukan dalam pernikahan yang batal, atau pembelian (budak dalam konteks berlakuknya masa perbudakan), atau dengan sangkaan bahwa si wanita adalah istrinya, maka ibu dari wanita tersebut menjadi haram dinikahi olehnya.”. (Zainuddin Al-Malibar, Fathul Mu’in, [Al-Haramain], halaman 103).
 

Referensi di atas sekaligus menegaskan bahwa hubungan tidak jelas tadi memiliki implikasi hukum berkelanjutan, seperti terciptanya hubungan mertua dan menantu bagi orang tua perempuan dan si laki-laki, adanya kewajiban memberikan mahar karena ia telah memanfaatkan si wanita dan adanya penisbatan anak terhadap si bapak jika ia pada akhirnya mendapatkan keturunan dari pernikahan tersebut. Meski demikian, hubungan keduanya harus segera diakhiri karena tidak legal secara syariat. Ketentuan ini berlaku karena adanya ketidaktahuan dari si laki-laki.
 

Adapun jika kedua belah pihak sama-sama mengerti bahwa masing-masing dari mereka tidak memenuhi syarat pernikahan, maka hubungan yang dilakukan dalam pernikahan tersebut dianggap hubungan zina dan nasab anak tidak bisa disandarkan kepada bapaknya. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP Nurud-Dhalam Ganding Sumenep