Jakarta, NU Online
Mantan Kepala Badan Pengarah Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia menglamai dua krisis, yakni krisis legitimasi dan efisiensi.
"Di penghujung reformasi, demokrasi di Indonesia mengalami krisis legitimasi dan efisiensi sekaligus," kata Yudi di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (25/7).
Yang dimaksud Yudi dengan legitimasi adalah pemerintahan dipilih dan melibatkan partisipasi rakyat. Sementara efisiensi yaitu demokrasi lebih responsif terhadap aspirasi publik.
Menurut Yudi, setelah Indonesia reformasi, mestinya demokrasi menjadi sarana untuk meminimalisir keburukan-keburukan dalam bernegara karena mampu menyeimbangkan antara legitimasi dan efisiensi, namun hal itu tidak terjadi.
Krisis legitimasi bisa dilihat dari banyak hal, seperti Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tetap tinggi, partisipasi publik di dalam pemilihan cenderung rendah, dan kepercayaan publik melalui beberapa hasil survei 10 tahun terakhir terhadap lembaga DPR dan partai politik rendah.
Adapun krisis efisiensi bisa dilihat dari produk Undang-undang yang dihasilkan parlemen terlalu sedikit, yakni kurang dari 50 persen dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas), dan politik hanya menjadi sarana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
"Politik dalam arti kebijakan merespons tantangan dan situasi publik tidak bekerja dalam demokrasi hari ini," jelasnya.
Demokrasi yang belum berjalan dengan baik itu membuatnya kecewa. Terlebih, tokoh-tokoh perintis demokrasi yang tergabung dalam Forum Demokrasi (Forum) seperti KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Marsillam Simanjuntak, Bondan Gunawan, Frans Magnis Suseno, Rahman Tolleng, dan Todung Mulya Lubis tidak menjadi bagian penting dalam perjalanan politik,bahkan sering kali diabaikan.
"Kira-kira mungkin Gus Dur pun kalau bisa bangkit lagi merasa kecewa," ucapnya. (Husni Sahal/Fathoni)