Bantul, NU Online
Katib Syuriah PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa pagelaran wayang mirip dengan Al-Qur’an. Selama ini bahasa yang digunakan dalam pagelaran wayang adalah bahasa Jawa Kawi, yang meskipun banyak orang dapat menikmati alur ceritanya, tapi tidak semua orang (Jawa) dapat mengerti dan memahami maknanya.
<>
“Ini mirip dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an itu kan berbahasa Arab, tapi tidak semua orang Arab dapat memahaminya. Tapi meskipun tidak paham, itu dapat menimbulkan sensasi spiritual yang luar biasa ketika merapalkannya,” ujarnya saat mengisi Seminar Nasional bertajuk Wayang dan Krisis Manusia Nusantara, Senin (17/11) siang, di Aula Pesantren Kaliopak Bantul, Yogyakarta.
Pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin itu menambahkan, sebenarnya pagelaran wayang bukanlah sekadar tontonan, hiburan, atau rekreasi semata, melainkan juga merupakan ritus keagamaan, selain sebagai media pendidikan. “Sehingga ada suasana yang mirip dengan ketika berdzikir,” tegas Kiai Yahya.
Ia menduga, pagelaran wayang sudah ada sejak sebelum zaman Wali Songo. Kemudian ketika ada Wali Songo, pagelaran wayang menjadi bagian dari Islam yang dikembangkan dalam peradaban Jawa.
“Ini tidak ada kaitannya dengan otentik atau bid’ah, karena islam hadir untuk seluruh umat manusia, dan Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq),” tandasnya.
Dalam hal ini, Kiai Yahya menitikberatkan pada kata-kata utammima yang berarti menyempurnakan. Menurutnya, ada alasan di balik penggunaan kata-kata utammima dan bukan ubaddila yang berarti menggantikan. “Rasulullah saat itu diutus hanya untuk menyempurnakan, tidak menggantikan. Secara implisit ini merupakan pengesahan bahwa makarimal akhlaq sebelum Islam itu sudah ada, dan Nabi tidak menggantikannya, tapi menyempurnakannya agar menjadi lebih berkualitas,” jelasnya panjang lebar.
Maka sama halnya dengan pagelaran wayang, yang tidak serta merta langsung diganti begitu saja oleh Wali Songo, melainkan disempurnakan dengan membingkainya sebagai salah satu ritus keagamaan dalam Islam. (Dwi Khoirotun Nisa’/Mahbib)