Nasional

Watak NU yang Penting untuk Bangsa Indonesia

Senin, 13 Agustus 2018 | 03:00 WIB

Jakarta, NU Online 
Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia Rizal Ramli berpendapat, ada beberapa karakter NU yang penting untuk bangsa Indonesia, di antaranya adalah sikap moderat, selalu berada di tengah. NU menjaga keseimbangan Indonesia. Ketika ada kekuatan esktrem, baik kiri maupun kanan, NU akan menjadi penyeimbangnya. 

“NU yang membalikkan kembali ke tengah. Mudah-mudahan abad kedua, NU masih berperan,” katanya pada bedah buku Peta Jalan NU Abad Kedua di Gedung PBNU, Jakarta, Senin (13/8) malam. 

Kedua, tokoh-tokoh NU kental dengan dimensi humanismenya. Hal itu bisa dilihat dari dari gesture, cara bicara, dari perhatiannya. 

“Menurut saya, agama yang sesungguhnya harus humanis. Selain mencintai Yang Kuasa, kita juga harus mencintai manusia. Di situlah, salah satu kekuatan Nahdlatul Ulama,” katanya.  

Ketiga, kemampuan NU untuk terbuka. Artinya, tidak fanatik, tapi terbuka kepada ide-ide baru, menerima nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan agama.  

Sebelumnua, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj juga membicarakan soal watak. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan secara tersurat agar membangun  umat yang berwatak washatan (bangsa yang moderat). 

“Allah justru tidak menegaskan secara tersurat untuk membangun umat Islam. Tapi ada juga ummatan washata,” katanya saat menyampaikan pidato pengantar peluncuran buku Peta Jalan Nahdalatul Ulama Abad Kedua di Gedung PBNU, Jakarta, Senin (13/8) malam.

Menurut Kiai Said, sejarah membuktikan, umat Islam dibangun oleh tokoh-tokoh yang berupaya menjadi ummatan washata, moderat.

Imam Hasan Basri misalnya, ia muncul menjadi perekat pada situasi umat Islam terpecah-belah karena persoalan politik dan mazhab pemikiran Islam selepas masa tabiin.

Kemudian, tokoh yang berupaya seperti itu adalah Imam Syafii yang mengambil sisi moderat dalam menyatukan syariat (fiqih) dengan mengunakan akal, tidak hanya tekstual.  

Tokoh selanjutnya, adalah Imam Ghazali yang mengambil sisi moderat dengan menyelaraskan antara fuqaha (ahli fiqih) dan sufi (ahli tasawuf).

“Mereka adalah ulama-ulama cerdas,” katanya.  

Di Indonesia, kata Kiai Said, Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari memiliki kecerdasan menggabungkan agama dan nasionalisme. “Mbah Hasyim terkenal dengan ungkapan ‘hubbul wathan minal iman’ mencintai tanah air sebagian dari iman,” tegasnya. (Abdullah Alawi)


Terkait