Jakarta, NU Online
Warga Nahdlatul Ulama (nahdliyin) dihadapkan pada konflik-konflik sumber daya alam di berbagai daerah. Mislanya di Banyuwangi, Rembang, Pati, Kulonprogo, Kebumen, Cilacap, dan Lampung dan daerah-daerah lain.
<>
“Konflik-konflik ini akan menguras energi NU,” kata Ketua PBNU Imam Azis pada diskusi Membaca Konflik di Indonesia dan Dunia yang digelar Pengurus Pusat Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama di Hotel Milenium Kebon Sirih, Jakarta Kamis (28/8).
Menurut Imam Azis, warga NU di Kulonprogo memiliki tanah yang luas dan menghasilkan buah-buahan yang bagus. Tapi karena di dalamnya mengandung pasir besi, mereka harus berhadapan dengan perusahaan tambang Australia yang diberikan izin pemerintah tanpa melibatkan mereka.
Di Kebumen, masyarakat nahdliyin di Urutsewu harus berhadapan dengan militer, di Lampung harus berhadapan dengan perusahaan tambang dari Thailand, di Pati dan Rembang berhadapan dengan PT Semen Indonesia.
Imam Aziz menyebut pola-pola yang terjadi di lapangan adalah berhadapannya tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini sangat mudah memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan tambang.
“Tanpa pemberitahuan, tanpa tahu prosesnya, rakyat tiba-tiba tahu ada alat-alat berat di sekitar mereka. Mau tidak mau masyarakat melakukan perlawanan tanpa tahu juntrungannya,” keluhnya.
Pola kedua, menurut Imam Azis perusahaan melakukan manipulasi Analisi dampak lingkungan (Amdal). Dalam hal ini Imam Aziz menyebut kongkalikong antara pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan perusahaan. Berdasar pengalaman, masyarakat selalu dikalahkan.
“Roadmap pemerintahan yang akan datang, jika hasil tambang dijadikan pemasukan utama negara, otaknya pertumbuhan ekonomi, rakyat akan menjadi tumbal,” tegasnya. (Abdullah Alawi)