Nasional

Wahid Foundation Pertanyakan Indikator Riset BIN

Kamis, 3 Mei 2018 | 01:30 WIB

Jakarta, NU Online 
Peneliti Wahid Foundation Alamsyah Ja'far mengaku belum bisa mengomentari data Badan Intelijen Negara (BIN) yang menyatakan bahwa sekitar 39 persen mahasiswa terpapar radikalisme. Ia belum membaca hasil penelitian BIN. 

"Saya belum bisa punya komentar," kata Alamsyah kepada NU Online di Jakarta, Rabu (2/5).

Namun demikian, Alamsyah sempat mempertanyakan indikator yang dipakai BIN dalam penelitianannya sehingga angka radikalisme di kampus mencapai 39 persen. 

"Mempertanyakan tuh bukan dalam pengertian tidak ingin mengatakan bahwa hasil riset itu tidak valid ya. Yang saya ingin tahu tuh sebetulnya, apa sih indikatornya? Sehingga kita bisa mengerti, bisa saja valid bisa saja tidak, tapi kalau kita tidak baca hasilnya kan susah," terangnya. 

Alamsyah tidak mempersoalkan hasil riset yang dilakukan BIN pada 2017 itu selama dapat dipertanggungjawabkan. 

"Tapi kalau itu kemudian hasil riset dan bisa dipertanggungjawabkan ya sebetulnya tidak ada masalah, tinggal kalau tidak setuju, ya kita bikin riset baru," ujarnya. 

Ia sendiri tidak menafikan keberadaan radikalisme di kampus. Menurutnya, secara umum radikalisme di kampus itu faktual karena banyak penelitian yang sama dilakukan di perguruan tinggi. 

Seperti ramai diperbincangkan, BIN mengungkap 39 persen mahasiswa di Indonesia sudah terpapar paham radikal. Bahkan 3 universitas menjadi perhatian khusus karena bisa menjadi basis penyebaran paham radikal.

Hal itu diungkapkan Kepala BIN, Budi Gunawan, saat menjadi pembicara dalam ceramah umum Kepala BIN kepada BEM PTNU se-Indonesia di kampus Unwahas, Semarang. Budi menjelaskan dari riset BIN tahun 2017 diketahui 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA sederajat setuju dengan tegaknya negara Islam di Indonesia.

"Ini bisa mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini," kata Budi Gunawan, Sabtu (28/4). 

Pada kesempatan tersebut, dirinya bahkan menyebut tiga kampus yang layak diawasi lantaran menyebar paham radikal. "Ada 3 perguruan tinggi yang sangat jadi perhatian kita karena kondisinya bisa jadi basis penyebaran paham radikal," tegasnya.

Mahasiswa, lanjut Budi, memang sering dijadikan target penyebaran paham radikal oleh pelaku terorisme. Mereka jadi target cuci otak kemudian dicekoki pemahaman-pemahaman teroris.

"Kampus jadi lingkungan menjanjikan bagi pengusung paham radikal dan menjadikan mahasiswa sebagai target brain wash dengan manfaatkan kepolosoan mahasiswa," terangnya.

Salah satu mahasiswa yang terjebak dalam paham itu dan menjadi teroris yaitu Bahrun Naim. Budi menjelaskan Bahrun Naim mulai melibatkan diri dengan paham radikal ketika menjadi mahasiswa di Surakarta atau Solo dan sekitarnya. (Husni Sahal/Ibnu Nawawi)


Terkait