Jakarta, NU Online
Sejak 1996, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah memperingati tanggal 16 November sebagai Hari Toleransi Internasional. Hal ini berdasarkan ketetapan yang disepakati Negara-negara yang tergabung di dalamnya setahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1995.
Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa toleransi di Indonesia sudah menjadi bagian dari kultur yang melekat di benak bangsanya. Hal ini, menurutnya, sudah melewati proses yang rumit dengan tradisi, sejarah, dan berbagai hal lain.
“Toleransi pada dasarnya budaya,” katanya saat ditemui NU Online di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Jumat (16/11).
Karena toleransi bagian dari budaya, maka, pengasuh pengajian kitab Ihya Ulumiddin daring itu menjelaskan bahwa membangun toleransi itu harus melalui budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Tanpanya, toleransi akan sulit diterima sebagai suatu sikap.
“Kultur itu adalah suatu sikap atau perilaku yang terlembaga dalam masyarakat,” jelasnya.
Gus Ulil, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa bisa saja toleransi itu dibentuk melalui regulasi yang legal formal, seperti Undang-undang Perda ataupun Pergub. Namun, jika tidak didukung dengan budaya tentu akan kerepotan membangunnya.
Pandangannya ini, katanya, bukan berarti menganggap konstitusi menjadi tidak penting. Hal itu tetap penting. Tetapi, ada hal yang lebih penting lagi, yakni kultur.
“Karena kulturlah yang membuat masyarakat itu bertindak secara massal, secara kolektif,” terangnya.
Setiap kultur atau budaya, menurutnya, merupakan satu tindakan kolektif. Selama belum menjadi tindakan kolektif, toleransi hanya UU di atas kertas, ataupun ajaran di kelas, kampus, yang belum menjadi suatu tindakan atau sikap masyarakat.
“Itu belum toleransi,” katanya.
Dosen Pascasarjana Unusia itu bukan berarti menafikan peran pendidikan. Hal itu baru menjadi satu tahap dari rangkaian proses panjang membudaya.
“Saya tidak mengatakan itu tidak penting. Pendidikan itu satu tahap enkulturasi, proses membangun kultur,” ujarnya.
Toleransi menjadi budaya, menurutnya, karena terus menerus diulang secara rutin dari waktu ke waktu sehingga mentradisi.
“Setelah menjadi tradisi mengikat semua orang untuk mengikuti aturan itu,” pungkasnya. (Syakir NF/Abdullah Alawi)