Nasional

Tidak Etis Pemimpin Organisasi Agama Dipilih dengan Voting

Jumat, 17 Oktober 2014 | 10:00 WIB

Jakarta, NU Online
Usulan untuk mengembalikan model pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU dengan sistem ahlul halli wal aqdi dilandasi keinginan untuk menerapkan prinsip musyawarah mufakat. Demokrasi yang diartikan sebagai voting atau pemungutan suara itu tidak tepat.<>

“Nilai demokrasi tertinggi itu ada pada musyawarah. Kalau voting itu berarti kita sudah turun derajat. Kelirunya, selama ini voting dijadikan nomer satu,” kata Wakil Sejken PBNU H Abdul Mun’im DZ di kantor PBNU, Jakarta, Kamis (16/10) kemarin.

Menurut Mun’im DZ, dalam perjalanan sejarah NU pernah berubah menjadi partai politik semenjak tahun 1952. Sistem pemilihan pimpinan juga dilakukan menurut tata cara partai politik.

Hal itu berlangsung terus-menerus, namun kemudian diakhiri pada Muktamar ke-27 1984 di Situbondo. NU memutuskan untuk kembali ke “Khittah 1926” dan tidak lagi menjadi partai politik. Waktu itu KH Achmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Rais Aam dan Ketua Umum PBNU dengan cara musyawarah.

“Istilah ahlul halli wal aqdi itu baru muncul kemudian. Sebenarnya intinya adalah musyawarah. Sayangnya sistem itu (ahlul halli wal aqdi) belum diakomodasi dalam AD/ART NU, sehingga berikutnya model pemilihan kembali ke sistem partai politik dengan cara voting,” ungkapnya.

Lebih dari itu, sebagai ormas keagamaan NU tidak pantas menentukan pemimpin dengan cara pemungutas suara terbanyak. Tidak etis pimpinan organisasi keagamaan diperebutkan lewat voting.

“Tidak ada organisasi agama di dunia yang dipilih dengan voting. Itu terlalu kasar dan tidak etis. Yang paling pas untuk ormas keagamaan adalah musyawarah mufakat. NU tidak perlu mengadopsi demokrasi dalam pengertian voting. Masa orang mau mengabdi kok divoting,” ujarnya.

Menurut Mun’im, pergantian kepemimpinan di tubuh NU setelah Muktamar Situbondo mencerminkan bahwa NU masih memerankan diri sebagai partai politik.

“Kasus di Muktamar Lirboyo (Kediri), Solo, dan Makassar mencerminkan bahwa NU tidak layak disebut ormas agama. Satu sama lain bertarung habis-habisan. Anehnya kita bangga dipuja-puja pihak luar sebagai penganut demokrasi dengan mengabaikan bahwa kropos telah terjadi di dalam NU,” pungkasnya. (A. Khoirul Anam)

Dokumentasi: Suasana pemilihan ketua umum PBNU di Muktamar Makassar 2010. Tampak KH Said Aqil Siroj dan H Slamet Effendi Yusuf, dua calon ketua umum mengikuti proses penghitungan usai pemungutan suara tahap kedua.


Terkait