Nasional

Tahun Ketiga Pidato Kebudayaan

Selasa, 25 Maret 2014 | 13:00 WIB

Situs Resmi NU atau NU Online akan menggelar pidato Kebudayaan untuk tahun ketiga di gedung PBNU, Jumat 28 Maret, pukul 19.00. Tahun ini akan mendaulat sastrawan asal Banyumas, Jawa tengah, Ahmad Tohari untuk berpidato. Penulisa novel Ronggeng Duku Paruk akan menyampaik pikirannya dengan tema “Membela dengan Sastra.”
<>
Sebelumnya, pada tahun pertama 2012, NU Online mendaulat penyair asal Madura D. Zawawi Imron untuk menyampaikan pidato kebudayaan. Ia menyampaikan pikiran dengan judul Menimba Ilham Vitalitas dari Nilai Pesantren.  

Menurut penyair berjulu Clurit Rmas tersebut, budayawan sekelas WS Rendra, menggambarkan bahwa para ulama pesantren disebut “Empu yang bermukim di atas angin”, yaitu yang mengutamakan budaya akal sehat, dan sanggup memberi inspirasi bagi rakyat jelata untuk tahu akan hak-haknya dan selalu siap membela kebenaran secara kesatria.

Tradisi dan nilai-nilai pesantren yang masih relevan dengan zaman harus tetap dirawat dan dilaksanakan, sedangkan yang tidak sesuai dengan dinamika kehidupan sekarang perlu ditinggalkan. Di samping itu perlu dengan selektif menerima dan mengadopsi niali-nilai baru yang bisa memperkuat dan memperkaya cakrawala kehidupan pesantren masa kini.

Sebagaimana menjadi orang pesantren, Zawawi mengaku bangga menjadi seorang seniman karena mendapat pendidikan rohani yang menyehatkan. ”Menjadi seniman kami sangat senang sekali. Karena menjadi seniman, kami merasa tersesat meskipun berada di jalan yang benar,” katanya disambut tawa hadirin pada waktu itu.

Pada tahun kedua, 2013, NU Online mendaulat pengasuh pesantren Kaliopak Yogyakarta Muhammad Jadul Maula untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Ia menyampaikan gagasan dengan judul Inikah Akhir Zaman Budaya Kita?

Menurut Jadul Maula, budaya sekularitas yang menggejala di masyarakat Indonesia selama satu dasawarsa terakhir, menempatkan masyarakat dalam keadaan rentan. Mereka mudah terserang aneka bentuk penyakit sosial. “Gejala-gejala penyakit sosial yang mewakili cara berpikir, tumbuh dengan subur karena rapuhnya ikatan masyarakat belakangan dengan nilai-nilai keindonesiaan,” ungkapnya.

M Jadul Maula menunjuk contoh patologi sosial pada kecenderungan orang di Indonesia dalam menghadapi persoalan dengan kekerasan, pembunuhan, dan kecenderungan destruktif lainnya. Suami dapat membunuh istri karena persoalan sepele. Anak membunuh orang tuanya hanya karena permasalahan yang tidak masuk di akal.

Kecenderungan nalar destruktif, lanjut Jadul Maula, tidak hanya menjadi fenomena di kalangan masyarakat bawah. Cara berpikir seperti itu juga mewarnai pemikiran masyarakat kelas menengah dan atas. Dalam kondisi keterbatasan berkontestasi, mereka tanpa segan menyingkirkan posisi dan membunuh karakter pribadi atau kelompok lain. (Abdullah Alawi)


Terkait