Nasional

Soal PKI, Sikap Komnas HAM Anulir Penelitiannya Sendiri

Selasa, 27 Januari 2015 | 11:30 WIB

Jakarta, NU Online
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia belakangan menyimpang dari hasil penelitiannya sendiri terkait sikapnya terhadap sejarah Partai Komunis Indonesia. Lembaga ini dinilai keliru ketika menganggap PKI hanya sebagai korban, apalagi dengan menyalahkan ormas tertentu.
<>
Pandangan ini disampaikan matan anggota Komnas HAM Ahmad Baso dalam diskusi dan pemutaran film “Jagal” dan “Senyap” di gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (27/1). Film itu mengggambarkan PKI murni sebagai korban. Film “Jagal” menyoroti sisi pelaku pembantaian, sementara film “Senyap” lebih menyoroti sisi keluarga korban.

Baso juga menyayangkan Komnas HAM yang mengapresiasi secara berlebihan film  karya Joshua Oppenheimer tersebut. Ia mengaku terlibat dalam penelitian oleh Komnas HAM pada tahun 2008 tentang pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Hasil ini telah disampaikan ke Mahkamah Agung.

Menurut Baso, kesimpulan dalam penelitian itu menunjukkan, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Ormas seperti Banser dinilai tidak memenuhi syarat dijadikan tersangka karena ditinjau dari niat (planing), hirarki komando, dan mobilisasi, saat itu mustahil melakukan peristiwa sebagaimana dituduhkan selama ini.

"Film ini menyesatkan. Tapi anehnya film ini diamini Komnas HAM, jadi tambah menyesatkan. Kalau dalam bahasa NU dlallun mudlil (sesat menyesatkan)," tuturnya.

Hadir dalam forum tersebut mantan ketua GP Ansor KH Chalid Mawardi (pelaku sejarah), Wasekjen PBNU H Abdul Mun’im DZ, dan Politeh (saksi sejarah). Prof Dr Hermawan Sulistyo (peneliti LIPI) dan Dr Ade Armando (pemerhati film) yang dijadwalkan hadir berhalangan datang.

Mun’im mengatakan, dari segi sinematografis film ini tergolong buruk. Film ini juga gagal membuktikan aksi penjagalan dan cenderung menojolkan usaha memancing emosi belaka. Hanya saja, menurutnya, akibat politik dan sensasinya lah film yang mengambil latar Sumatera Utara itu populer dan meledak. Aspek propaganda terbaca dari usaha si pembuat untuk menghilangkan konteks sejarahnya.

“Melihatnya hanya pada peristiwa 65-66 saja, tapi tidak melihat peristiwa 1948, 1951, 1960, bagaimana PKI melakukan teror di mana-mana,” ujarnya.

Penulis “Benturan NU-PKI” ini mengajak hadirin untuk kritis dalam membaca sejarah. Ia menekankan untuk membaca sejarah dari arsip dan saksi yang masih hidup, bukan semata dari buku.

Sementara itu, Chalid berpandangan, sejarah kekisruhan di Tanah Air tak bisa dilepaskan dari situasi global. Termasuk pada tragedi PKI, ia memiliki kaitan erat dengan jaringan internasional. (Mahbib)


Terkait