Nasional

RUU Pesantren Harus Berdampak pada Afirmasi Pembiayaan

Ahad, 18 November 2018 | 14:30 WIB

RUU Pesantren Harus Berdampak pada Afirmasi Pembiayaan

Diskusi RUU Pesantren di Islam Nusantara Center

Tangerang Selatan, NU Online
Dalam diskusi Islam Nusantara Center yang bertema Melindungi Kekhasan Pesantren dalam RUU Pesantren & Pendidikan Keagamaan. Suwendi selaku pemateri memberikan tinjauan terhadap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan bahwasannya RUU tersebut harus berdampak pada birokrasi pembiayaan dan mendapatkan afirmasi pembiayaan.
 
“Saya melihat banyak tantangan yang dihadapi misal RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini lahir, seperti tidak berdampaknya pada birokrasi pembiayaan,” kata Suwendi di Sekretariat Isalam Nusantara Center, Ciputat, Tangerang Selatan, (17/11).

Ia menilai bahwa ada beberapa permasalahan dalam segi pembiayaan pendidikan keagamaan yang menjadi tugas Kementrian Agama yang berat sebelah dengan pembiayaan pendidikan umum yang ditanganai oleh Kemendikbud dan Kemenristekdikti.

Dari sekian anggaran pendidikan yang diberikan pemerintah, Kementrian Agama hanya memperoleh 12,1 %, yang mana dari dana tersebut digunakan untuk mengurusi pendidikan agama Islam di wilayah pusat maupun daerah, perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta, tunjangan para guru, serta pendidikan lain di luar Islam.
 
“Itu pun lagi-lagi yang ditekankan dalam penyaluran pembiayaan adalah pada sekolah, dan pesantren hanya bagian kecil yang ada dalam Kementrian Agama,” jelas Kasubdit Penelitian & Pengabdian Masyarakat Diktis Kemenag RI itu.

Ia memaparkan bahwa persoalan pembiayaan itu memiliki regulasi, sesuai dengan aturan pemerintah. Aturan-aturan yang menjadi problem dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan di antaranya ada pada UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbanagan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 

“Dari aturan inilah yang mengakibatkan Kemenag mendapatkan tidak lebih dari 12,1% dari anggaran pendidikan,” tutur alumni Pesantren, Babakan, Ciwaringin tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa sebagian pemerintah daerah yang mengeluarkan perda mengenai pendidikan Islam, banyak yang tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan anggaran.
 
Selain itu, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sangat sempit dalam mendefinisikan seorang guru, di mana guru dalam UU tersebut adalah seseorang pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Penekanan pada aspek formal inilah yang membuat seorang ustadz, kiai pesantren, guru TPQ, dan pendidik lainnya tidak termasuk dalam kategori di dalamnya, yang mana mengakibatkan tidak adanya jatah pembiayaan bagi mereka.

“Karena permasalahan afirmasi sudah diketahui, langkah-langkah selanjutnya adalah meninjau ulang seperti merevisi definisi guru yang tidak hanya pada jalur formal tapi juga non formal,” paparnya. 

Namun munculnya isu-isu lain juga dikhawatirkan oleh Suwendi, jika penelaahan ulang mengenai UU no. 33 tahun 2004 dilakukan, maka akan memunculkan isu bahwa urusan pendidikan agama akan dilimpahkan pada pemerintah daerah.

“Ini sangat berbahaya,” tukasnya. (Nurii Farikhatin/Muiz)


Terkait