Kudus, NU Online
Putri bungsu presiden keempat RI Inayah Abdurrahman Wahid mengapresiasi para sastrawan, penulis, dan budayawan sebagai pahlawan dalam acara peluncuran buku Antologi Puisi buat Gus Dur; dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel di rumah makan Bambu Wulung Kudus, Sabtu (28/9).
<>
Menurut Inayah, mereka ada di garis depan perjuangan untuk mengembalikan kesadaran kemanusiaan. Para sastrawan yang menghasilkan karya tulis maupun syair-syair puisi menjadi sumbangsih luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Mereka ini adalah benar-benar pahlawan yang sekarang kita sedang kekurangan berkurang karena pada sibuk mencari kekuasaan. Sastrawan dan penulis tidak butuh itu (kekuasan), tetapi mereka hanya berharap negara bisa mewujudkan sesuai yang ditulis dalam karya-karyanya,” katanya.
Ia mengutarakan, sastra di negeri ini sering dipandang sebelah mata karena dinilai tidak penting dan tidak menarik. Hal demikian yang menyebabkan negara ini tidak pernah maju dan banyak di kelilingi kemiskinan, kemarahan, dan kekerasan.
“Orang yang suka melakukan kekerasan itu biasanya tidak tersentuh oleh sastra seni dan budaya sehingga tidak terasah kebijaksanaannya, sensitif perasaannya, mengenali masyarakatnya,” ujar Inayah.
Ia melanjutkan, dunia, termasuk agama, dibangun berdasarkan sastra tulisan maupun lisan. Al-Qur’an dan Al Kitab termasuk “buku sastra” paling laris, tetapi banyak orang yang tidak mampu mengimplementasikan, karena kemampuan sastranya tidak dibangun.
“Saking pentingnya dunia sastra ini, bapak saya (Gus Dur) selalu mengajarkan kepada kami untuk memperbanyak membaca,” tuturnya.
Inayah juga mengapresiasi buku antologi yang diterbitkan Dewan kesenian Kudus ini. Ia menilai melalui karya puisi buat Gus Dur ini berarti sebagai cara menuangkan nilai-nilai yang telah diajarkan Ketua Umum PBNU 1984-199, yakni kedamaian, kesetaraan, penghargaan, nilai kemanusian, dan kedamaian.
Dalam kesempatan itu, Inayah juga membacakan puisi karyanya sendiri berjudul Bapak Mengajari Membaca. Puisi ini sebagai bentuk ajaran atau wasit Gus Dur kepadanya untuk selalu membaca. (Qomarul Adib/Abdullah Alawi)