Prabowo Nyatakan Butuh Kritik dan Koreksi, tapi Rakyat Masih Mengalami Kriminalisasi
Senin, 18 Agustus 2025 | 15:00 WIB
Jakarta, NU Online
Amnesty International Indonesia menilai pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Paripurna DPR pada 15 Agustus 2025 lalu masih menyisakan pertanyaan serius terkait komitmen pemerintah terhadap kebebasan berekspresi dan penegakan hak asasi manusia (HAM).
Dalam refleksi memperingati 80 tahun kemerdekaan Indonesia, Amnesty menyoroti pernyataan Presiden yang mengajak masyarakat untuk tidak berhenti memberi kritik.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengingatkan bahwa kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik.
"Dalam pidato kenegaraan, Presiden menyatakan butuh koreksi, pengawasan, dan kritik sekaligus meminta pihak-pihak di luar pemerintahan agar jangan berhenti kritik. Faktanya masih banyak warga mengalami kriminalisasi hanya karena bicara kritis. Bahkan Presiden tidak menyebut pelanggaran HAM masa lalu sama sekali," kata Usman melalui keterangan yang diterima NU Online, Senin (18/8/2025).
Amnesty mencatat, sejak Januari 2018 hingga Juli 2025 sebanyak 903 orang dijerat pasal-pasal karet dalam UU ITE dan KUHP. Mereka terjerat dalam 796 kasus, sebagian besar terkait ujaran kebencian, pencemaran nama baik, serta tuduhan makar.
"Kriminalisasi ekspresi damai mencederai semangat kemerdekaan Indonesia yang seharusnya menjamin hak setiap orang untuk bersuara dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa," ujar Usman.
Kasus-kasus tersebut tersebar di 38 provinsi. Jawa Timur mencatat jumlah korban terbanyak dengan 79 orang, disusul DKI Jakarta (67), Sumatra Utara (59), Sulawesi Selatan (52), dan Jawa Barat (47).
"Tidak ada daerah yang bebas dari kasus-kasus kriminalisasi ini," tegas Usman.
Ekspresi Damai Berujung Tuduhan Makar
Selain jeratan UU ITE, Amnesty juga menyoroti pemidanaan terhadap aktivis Papua dan Maluku yang menyuarakan aspirasi politik secara damai. Dari 2019 hingga April 2025, sebanyak 145 orang dipidana dalam 86 kasus makar.
"Mereka dipidana menggunakan pasal 106 dan 110 KUHP terkait makar hanya karena mengekspresikan pandangan politiknya secara damai, sesuatu yang dulu juga dilakukan oleh para pendiri republik saat melawan penjajah," kata Usman.
Amnesty menilai praktik kriminalisasi seperti ini menunjukkan keengganan pemerintah menerima pandangan berbeda, bahkan ketika ekspresi tersebut dilakukan tanpa kekerasan.
Usman juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada April 2025 yang mengecualikan lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi dari pihak yang dapat mengadukan pencemaran nama baik, serta menyatakan keributan digital bukan delik pidana.
"Putusan MK ini juga merupakan kesempatan untuk memperbaiki relasi negara dengan warga. Negara harus hadir bukan sebagai pihak yang membungkam, tetapi sebagai pelindung hak-hak warga, termasuk kebebasan berekspresi," ujarnya.
Usman Hamid meminta pemerintah tidak berhenti pada program amnesti terbatas, melainkan juga merevisi aturan hukum yang selama ini membungkam kritik.
"Bila presiden di pidato kenegaraan sudah menyatakan jangan berhenti kritik, seharusnya ini juga ditindaklanjuti oleh aparat untuk berhenti merepresi dan mengkriminalisasikan warga yang bersuara kritis dan bebaskan pula mereka yang dijerat pasal-pasal penghinaan dan makar hanya karena mengungkapkan ekspresi secara damai," pungkas Usman.