Jakarta, NU Online
Pada awal Oktober lalu Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan sebuah survei tentang sikap keberagamaan generasi Z di sekolah dan universitas di Indonesia. Survei ini melibatkan 2181 sampel di 34 provinsi dan 68 kabupaten kota. Sampel tersebut terbagi atas empat kategori: 264 guru, 58 dosen, 1522 siswa, dan 337 mahasiswa. Semua responden dalam survei ini adalah penganut agama Islam.
Survei ini menggunakan dua alat ukur yaitu self report dengan menggunakan computer assisted instruction (CAI) seperti memberikan kuesioner kepada responden dan implicit assosciation test. Untuk mengontrol kualitas hasil survei, maka dilakukan spot check 5 persen sampel. Sementara margin of error survei ini adalah 2,7 persen.
Direktur PPIM Saiful Umam menjelaskan, yang menjadi fokus survei ini adalah soal intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi Z, mereka yang lahir di atas tahun 1995. Di dalam survei ini, intoleransi dibagi menjadi dua kategori: intoleransi internal antar sesama umat Islam dan intoleransi eksternal antara umat Islam dengan non-Islam.
“Masing-masing ada sikap dan opini. Opini adalah persepsi, sedangkan sikap lebih kepada keterlibatan mereka (pada aksi-aksi intoleransi dan radikalisme),” kata Saiful saat memaparkan hasil survei di Hotel Le Meridien Jakarta, Rabu (8/11).
Dari hasil survei, Saiful menyebutkan bahwa tingkat toleransi umat Islam terhadap umat agama lainnya lebih tinggi dari pada toleransinya kepada sesama umat Islam yang berbeda paham keagamaan, baik dari segi opini maupun aksi. Ia menduga, tingginya angka intoleransi terhadap sesama umat agama Islam adalah salah satunya karena dimasukannya pertanyaan soal Ahmadiyah dan Syi’ah.
Siswa dan mahasiswa yang memiliki opini intoleran internal adalah 51,1 persen dan sikap intoleran internalnya adalah 34,1 persen. Sementara siswa dan mahasiswa yang memiliki opini intoleran eksternal adalah 34,3 persen dan sikap intoleran eksternalnya adalah 17,3 persen.
“Siswa dan mahasiswa lebih toleran kepada penganut agama lain dari pada kelompok yang dipersepsikan berbeda paham keagamannya (meski satu agama Islam). Mereka lebih bisa menerima orang Kristen daripada orang Ahmadiyah, Syiah, atau sempalan lainnya,” jelasnya.
Setidaknya, ada empat faktor penting yang menjadikan siswa dan mahasiswa menjadi intoleran yaitu guru, akses internet untuk pengetahuan agama, persepsi tentang kinerja pemerintah, dan persepsi tentang umat Islam sebagai korban. (Muchlishon Rochmat)