Perempuan sebagai Madrasah Pertama, Perlu Sistem Pendukung
Selasa, 4 Maret 2025 | 10:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar, Mojokerto, Jawa Timur Ning Uswah Hasanah atau yang familiar dengan Ning Uswah Syauqie menjelaskan bahwa perempuan adalah madrasah ula atau sekolah pertama bagi anak-anaknya, sehingga terdapat perspektif negatif dan positifnya.
“Bahwa perempuan atau ibu adalah madrasah ula atau madrasah pertama bagi anak-anaknya,” ujar Ning Uswah dalam acara Dialog Interaktif melalui kanal Instagram NU Online pada Senin (3/3/2025).
Baca Juga
Muslimat NU: Ibu adalah Madrasah Pertama
Ning Uswah mengatakan bahwa sekolah tingkat keluarga atau rumah, kepala sekolahnya adalah bapak dan gurunya adalah ibunya. Karenanya, keduanya harus saling berkolaborasi serta bersinergi untuk mewujudkan sekolah yang berkualitas bagi anak-anaknya.
“Sekolah ini tidak bisa berdiri sendiri. Ada stakeholder, ada support system (sistem pendukung) dari keseluruhan yang ada di dalam sekolah itu untuk men-support sekolah agar menjadi kualitas,” katanya.
“Maka bapaknya adalah kepala sekolah, dan juga stakeholder membantu support system-nya untuk membantu sekolah ini menjadi berkualitas,” tambahnya.
Baca Juga
Ibu Muslimat, Madrasah Pertama bagi Anak
Menurutnya, ibu sebagai guru dalam sekolah tingkat keluarga perlu mendapatkan perhatian dan kebutuhan yang diperlukan.
“Mensupport penuh apa yang dibutuhkan oleh ibu, finansialnya ibu, kesehatannya ibu, mentalnya ibu, ini tidak bisa dibiarkan sendiri,” katanya.
Meskipun demikian, Ning Uswah menyebut ada yang berpikiran negatif terhadap ungkapan ibu atau perempuan sebagai madrasah pertama, yaitu bakal adanya pembatasan tugas dan aktivitas.
“Kok bisa secara negatif? Dari sisi negatifnya, akhirnya seorang ibu dibatasi tugasnya, hanya sebagai makhluk domestik, hanya orang yang tinggal di satu rumah saja karena ibu bertugas untuk men-tarbiyah (mendidik) anaknya, hanya untuk mendidik anaknya yang ada di rumah,” katanya.
Adanya perspektif negatif tersebut, menurutnya dapat memunculkan stigma buruk bagi perempuan atau ibu yang berkarier. Seolah perempuan yang menempuh karier di luar rumah tidak mempraktikkan diri sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya.
“Padahal kalau kita tilik lebih dalam lagi al-ummu madrasatul ula itu sangat luas sekali maknanya dan itu sangat positif sekali maknanya bagi perempuan,” lanjutnya.
Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya itu menyampaikan sisi positifnya, seperti kualitas ibu yang cerdas dapat menjadi sekolah favorit bagi anak-anaknya.
“Jika ingin seorang ibu menjadi sekolah yang utama, menjadi sekolah yang berkarakter, menjadi sekolah favorit anak-anaknya, maka kualitaskan terlebih dahulu ibunya,” katanya.
Ia mencontohkan lembaga pendidikan seperti sekolah yang berkualitas memiliki kriteria yang dipenuhi, maka sekolah di lingkungan keluarga atau rumah juga memiliki kriteria yang harus dipenuhi.
“Maknanya adalah jika seorang ibu, didesain sebagai madrasah ula atau sekolah pertama bagi anak-anaknya, maka kita harus tahu bahwa sekolah yang berkualitas ada syarat atau kriterianya,” ujar Ning Uswah.
“Kepala sekolahnya pintar bisa manghandel, stakeholdernya itu cerdas-cerdas, pendanaannya juga bagus dari sisi finansialnya bagus, manajemen sekolah bagus, sehingga sekolahnya menjadi berkualitas,” lanjutnya.