Jakarta, NU Online
Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Gus Ulil Abshar Abdalla mengemukakan, Islam di Indonesia sudah berhasil menciptakan dan mewujudkan perdamaian.
"Hal itu tercermin dalam sumbangan NU dalam mengembangkan konsep mengenai persaudaraan. Ini perlu kita ingat terus-menerus," katanya
dalam acara Nusantara Milenial Summit yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), di The Media Hotel Jakarta, pada Sabtu (22/6).
Menurut Ulil, terdapat tiga persaudaraan yang dikembangkan oleh NU melalui kiai dari Jember, yakni KH Ahmad Shiddiq. "Ada persaudaraan yang sangat sempit, yakni ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Tapi itu saja tidak cukup, harus ada yang lebih luas, yaitu ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan)," katanya.
Namun, lanjut Gus Ulil, kedua itu masih belum cukup. Harus ada yang lebih besar lagi. Yaitu ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan)."NU tidak mempertentangkan persaudaraan keimanan dengan persaudaraan kebangsaan dan juga persaudaraan kemanusiaan," tegas santri Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh ini.
Ia menekankan, bahwa titik temu persaudaraan itu adalah meyakini diri sebagai manusia meskipun berbeda. "Inilah peran penting Islam Indonesia dalam perdamaian," tegasnya.
Lebih lanjut Gus Ulil menjelaskan, salah satu hal yang membuktikan Islam Indonesia mampu mewujudkan perdamaian adalah karena sebagian besar mendukung sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia."Kalau kita ke (negara) barat, orang-orang di sana bertanya dengan pertanyaan yang mengandung keraguan sekaligus ejekan. Apakah Islam itu cocok dengan demokrasi? Selalu begitu mereka bertanya," ungkapnya.
Menurutnya, pertanyaan itu mengandung unsur tuduhan bahwa Islam tidak cocok dengan kultur demokrasi dan hak asasi manusia. Sehingga, mereka bertanya demikian.
"Umat Islam di Indonesia menunjukkan dengan tegas sekali bahwa Islam dengan demokrasi itu cocok. Memang ada yang tidak sepakat dengan demokrasi, tapi itu sangat sedikit sekali, tidak berpengaruh," jelas Gus Ulil.
Orang-orang Islam yang tidak sepakat dengan demokrasi itu, Gus Ulil menyebut sebagai kelompok pinggiran. Sementara kelompok yang berada di tengah, menerima demokrasi sebagai sistem di Indonesia. Maka, Islam Indonesia menjawab bahwa demokrasi memang sangat cocok dengan Islam.
"Kita menyelenggarakan pemilu selama era reformasi berkali kali dengan damai dan tertib. Meskipun ada satu atau dua permasalahan tapi itu sangat kecil sekali," kata pria yang mendapat gelar doktor dari Universitas Boston, Massachussetts, Amerika Serikat ini.
Karenanya, menekankan bahwa Islam Indonesia punya kontribusi besar terhadap penciptaan budaya damai. "Salah satunya karena Islam Indonesia menerima sistem demokrasi," katanya.
Selain Gus Ulil, hadir pula Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, Sekretaris Jenderal Kemenkominfo RI Rosarita Niken, dan Musisi ternama Addie MS. (Aru Elgete/Muiz)