Jakarta, NU Online
Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), Sarmidi Husna menegaskan sejak awal didirikan, Nahdlatul Ulama (NU) melakukan moderasi yakni dengan mengikuti ulama-ulama yang memadukan tasawuf dan syariat. Para ulama yang diikuti NU yang telah memadukan antara syariat dan tasawuf adalah Imam Al Ghazali seperti dijelaskan dalam kitabnya yang masyhur, Ihya Ulumuddin.
“Dahulu antara syariat dan tasawuf bersitegang, namun Imam Al Ghazali dapat memadukan syariat dan tasawuf sehingga rukun,” kata Sarmidi pada Lokakarya Nasional Pengarusutamaan Moderasi Beragama sebagai Implementasi Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Kamis (26/7).
(Baca: Perdebatan Islam Nusantara Disesalkan Ketum PB Al Wasliyah)
Dosen di sejumlah universitas ini juga menyebutkan moderasi NU dilakukan dengan mencontoh para ulama Nusantara seperti Walisanga. Salah satunya Sunan Kudus yang membuat gapura masjid seperti gapura tempat ibadah agama Hindu. Lalu warga Kudus juga sampai sekarang juga tidak memotong hewan sapi.
“Sunan Kudus melakukan pelarangan itu supaya tidak melukai umat Hindu yang mengaggap sapi sebagai binatang suci,” katanya.
Moderasi lainnya adalah seperti apa yang dicetuskan oleh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. Dalam peribadatan dan perilaku berprinsip 'memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik'. Prinsip itu saat ini telah ditambahkan oleh Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin yaitu ‘melakukan perbaikan menuju yang lebih baik lagi’.
(Baca: MUI Sumbar Tolak Islam Nusantara, Begini Tanggapan MUI Pusat)
Berikutnya, moderasi dilakukan NU dengan menambakan 'Annahdliyah' pada paham Aswaja. “Kita tahu sejak awal NU berpaham Ahlussunah wal Jamaah. Tetapi ada pihak-pihak yang mengklaim pemahaman mereka sebagai Aswaja, padahal itu bertolakbelakang dengan Aswaja yang dipegang NU. Karenanya istilah yang digunakan NU kemudian adalah Aswaja Annahdliyah,” paparnya.
Moderasi lainnya, lanjut Sarmidi adalah NU sebagai umatan wasathan. Artinya, NU harus hadir di tengah-tengah masyarakat dan berperan, bukan hanya menjadi penonton. Watak wasathan sendiri berlandaskan Al-Qur’an, hadits, qias, dan kesepakatan ulama.
Karena memegang prinsip umatan wasathan pula, NU dalam kehidupan bernegara tidak mempertentangkan prinsip dasar Indonesia, yakni Pancasila sebagai falsafah bangsa. “Dalam kehidupan bernegara, jelas-jelas NU menerima NKRI dan Pancasila,” tegas Sarmidi.
(Baca: Toleransi Aktif Atasi Perpecahan Atas Nama Agama)
Pemaparan Sarmidi melengkapi pemaparan para narasumber lainnya pada sesi tersebut yakni Guru Besar Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Amin Abdullah; Sekretaris PP Muhammadiyah, H Abdul Mu'ti; Ketum PB Al Wasliyah; H Yusnar Yusuf; dan Siti Syamsiyatun dari UIN Sunan Kalijaga. Mereka membawakan tema Moderasi Beragama dalam Perspektif Organisasi-organisasi Keagamaan Besar di Indonesia.
Secara umum lokakarya bertujuan agar moderasi beragama harus terus dilakukan. Kepala Puslitbang BALK, Muharam Marzuki pada pembukaan, Rabu (25/7) mengatakan lokakarya dilaksanakan sebagai respons terhadap Resolusi Dewan HAM PBB tentang Melawan Intoleransi, Pelabelan Negatif, Stigmatisasi, Diskriminasi, Hasutan Kekerasan dan Tindak Kekerasan terhadap Perseorangan Atas Dasar Agama atau Kepercayaan.
“Resolusi ini menjadi salah satu resolusi Dewan HAM yang terpenting yang ditekankan kembali dalam hampir setiap Sidang Dewan HAM PBB untuk membangun peradaban yang toleran,” jelas Muharam. (Kendi Setiawan)