Bogor, NU Online
Pemuda, sesungguhnya bukan sekadar bagian dari lapisan sosial dalam masyarakat, sebab mereka memainkan peranan penting dalam perubahan sosial. Jauh daripada itu, pemuda merupakan konsepsi yang menerobos definisi pelapisan sosial tersebut, terutama terkait konsepsi nilai-nilai.
Demikianlah salah satu poin penting yang mengemuka pada diskusi Mengokohkan Kemanusiaan Indonesia yang Adil dan Beradab, di Kedai Aer Mantjoer, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (21/10).
Pemuda harus dapat memberikan pemaknaan yang nyata dari nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keadaban dalam hidup berbangsa dan bernegara yang bermuara pada peningkatan kualitas kemanusiaan Indonesia yang Berketuhanan yang Maha Esa (Pancasilais).
Pemuda juga harus mampu meneguhkan nilai-nilai spiritualitas Nusantara sebagai nilai-nilai luhur bangsa serta rasa cinta tanah air dan kemanusiaan untuk saling berbagi serta sikap saling welas-asih; meningkatkan semangat nasionalisme atas asas kekeluargaan, kebudayaan, dan kebangsaan; serta menumbuhkembangkan kembali sikap menghargai kemajemukan serta menghindari setiap upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan.
Pada acara yang digelar dalam rangka Refleksi 89 Tahun Soempah Pemoeda , juga ditegaskan pemuda hendaknya dapat menghilangkan rasa prejudise atas barrier of psicology (batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa dan agama, terhadap sesama anak bangsa.
Pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang sering mewujud pada nilai-nilai herois-nasionalisme. Hal ini disebabkan keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah, tetapi lebih merupakan pengertian ideologis dan kultural.
“Pemuda harapan bangsa,” “Pemuda pemilik masa depan bangsa,” dan sebagainya, betapa mensyaratkan nilai yang melekat pada kata “pemuda”. Pernyataan ini, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa, menemukan jejaknya. Sebab, berbicara sosok pemuda memang identik dengan nilai-nilai dan peran kesejarahan yang selalu melekat padanya. Sosok pemuda selalu terkait dengan peran sosial-politik dan kebangsaan. Ini dapat dipahami mengingat hakikat perubahan sosial-politik yang selalu tercitrakan pada sosok pemuda. Citra pemuda Indonesia tidak lepas dari catatan sejarah yang telah diukirnya sendiri.
Betapa peristiwa-peristiwa besar di negeri ini dilalui dan digerakkan oleh pemuda. Sejarah mencatat bahwa Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, merupakan rekayasa sosial-politik para pemuda Indonesia dalam menggerakkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia melawan penjajah kolonial.
Tonggak penting itu direkatkan lagi oleh Ikrar/Sumpah Pemuda, yang menegaskan kesatuan niat, kebualatan tekad dan semangat satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa nasional Indonesia, pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Lalu, semangat nasionalisme tersebut mengkristal dan menemukan momentumnya saat diproklamirkannya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarano dan Hatta.
Tidak mengherankan jika kemerdekaan Indonesia tak lepas dari gerakan “revolusi kaum muda.” Prestasi dan citra kaum muda Indonesia begitu menyejarah sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Pergantian rezim ke rezim di Indonesia juga melibatkan pemuda. Sedemikian melekatnya nilai-nilai kepeloporan dan semangat kebangsaannya, tentu saja ini menjadi beban sekaligus tanggungjawab moral sosial pemuda Indonesia ke depan.
Diskusi tersebut juga merupakan agenda pre-launching buku Indonesia Rumah Kita karya Abdul Ghopur & Rizky Afriono. (Kendi Setiawan)