Jakarta, NU Online
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU H Masduki Baedowi menyatakan bahwa pemerintah baik di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupum Kementerian Agama cenderung mengabaikan persoalan ekstremisme di sektor hulu seperti di dunia pendidikan. Sehingga sampai saat ini ekstremisme di Indonesia masih subur.
"Negara pun kalau berkaitan dengan ekstremisme ditingkat hulu ini bisa dikatakan abai. Sektor hulu sangat penting untuk kita pikirkan bersama-sama dan salah satu sektor hulu yang hari ini kita bahas mengenai standar nasional pendidikan," kata Masduki saat membuka Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan LP Ma’arif PBNU di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (27/6)
Sebaliknya, ia melihat pemerintah lebih berkonsentrasi pada sektor hilir seperti melalui BNPT dan Densus 88. Mereka reaktif, yakni lebih kepada bereaksi atas suatu kejadian. Menurutnya, anggaran dalam memberantas ekstremisme sangat besar, yakni mencapai triliunan.
Ia menyatakan bahwa kini, penduduk Indonesa mencapai 263 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, setidaknya terdapat 150 juta jiwa berinteraksi dengan internet, termasuk media sosial.
"Di dalam internet kegandrungan anak-anak muda kalau memang ekstrem itu di situ ada banyak ajaran-ajaran justru menyuburkan paham ekstrem ini. Salah satunya pemahaman-pemahaman Sayyid Qutb (pemikir dan aktivis Ikhwanul Muslim dari Mesir) di dalam tafsir karangannya, yakni fi Zilalil Qur'an," ucapnya.
Menurutnya, di dalam Al-Qur'an terdapat sekitar 24 ayat yang menyebut kata jahiliyah. Sayyid Qutb, katanya, dalam menafsirkan kata jahiliyah itu dengan sebuah konsep tentang sistem politik yang tidak islami, sehingga sistem nasionalisme, sosialisme, dan kapitalisme pun dianggap jahiliyah.
"Buku Sayyid Qutb (berjudul) Ma'alim fi ath-Thariq sebagai elaborasi atas buku tafsir Fi Zilalil Qur'an juga sekarang menjadi bacaan wajib bagi gerakan-gerakan Islam di kalangan milenial. Ini sangat-sangat berbahaya," ucapnya.
Ia berharap, ke depan FGD dilanjutkan dengan membahas kurikulum pendidikan. Hal itu untuk melakukan revisi kurikulum yang ada dengan tujuan mencegah sedini mungkin paham ekstremisme.
Pada FGD yang mengusung tema "Rethinking Standar Nasional Pendidikan dalam Mewujudkan Revolusi Mental Presiden" ini, LP Ma'arif mengundang tiga pembicara, yakni Direktur Kurikulum Sarana Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Kementerian Agama RI H A. Umar, Ketua Lakpesdam PBNU H Rumadi Ahmad, dan Kabag Organisasi dan Bidang Hukum Kemendikbud Reny Parlian. (Husni Sahal/Fathoni)