Denpasar, NU Online
“Pendidikan bahasa Indonesia harus dipisah dengan pelajaran sastra karena selama ini pelajaran sastra sangat sedikit diajarkan kepada siswa. Kalaupun tidak dipisah, sebaiknya ditambah porsinya.”<>
Demikian ditegaskan penyair asal Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat yang pada 24 Mei lalu buku kumpulan puisinya “Paguneman” dianugerahi Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage.
Hal itu diungkapkan Acep mendapati data banyaknya siswa yang tidak lulus bahasa Indonesia dibanding pelajaran lain pada Ujian Nasional ini di tingkat SMA/MA.
“Sebenarnya, kalau saja pelajaran bahasa Indonesia itu yang dikedepankan sastranya, akan tertolong. Suruh saja mereka membaca buku-buku sastra. Kalau itu dilakukan, akan kena semua karena dalam sastra gramatika dalam bahasa Indonesia juga didapat,” tambahnya.
Senada dengan Acep, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Abdul Mun’im DZ mengatakan, hasil UN yang jeblok dalam pelajaran bahasa Indonesia terletak dalam filosofi dan metodologi pengajaran bahasa Indonesia yang kurang pas.
“Bahasa Indonesia yang diajarkan terpaku kepada gramatika bahasa, bukan sebagai sastra. Bahasa Indonesia jadi bahasa ruet dan tidak menyenangkan anak. Jadi bahasa yang kering,” tegasnya.
Memang, lanjut Abdul Mun’m, tata bahasa itu penting. Tapi bukan hal utama. Kita juga gagal mengajarkan bahasa asing seperti bahasa Inggris karena selalu terjebak ke dalam gramatika bahasa.
Redaktur: Mukafi Niam
Penulis : Abdullah Alawi