Nasional

Peduli Masa Depan Bangsa dengan Melihat NU sebagai Tanggung Jawab

Sabtu, 14 November 2015 | 05:01 WIB

Bandung, NU Online
Kebesaran Nahdlatul Ulama (NU) tidak boleh membuat terlena orang NU. Sebab jumlah besar itu bukanlah semata kebanggaan, melainkan juga mengandung unsur beban berupa amanat. Para pengurus, kaum muda dan siapa saja yang peduli dengan masa depan bangsa, mesti melihat NU sebagai bagian dari tanggung jawab kebangsaan.<>

Demikian pandangan Ki Agus Zaenal Mubarok, salah satu Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat saat diskusi tentang Keislaman dan Keindonesia di Kantor Nuindo Institute, Bandung, Jawa Barat, Jumat (13/11).

“Selama ini orang NU bangga dengan jumlah secara kuantitas. Itu tidak masalah. Tetapi akan menjadi masalah mendasar ketika ditanya, untuk apa kebanggaan hanya karena jumlah? Bukankah tujuan NU itu bukan semata memperbesar jumlah jamaah dan bahkan tidak sekedar memperbesar jam'iyah? Bagaimana dengan harakahnya, gerakannya? Apakah sudah memberikan dampak positif yang besar?” ujar Ki Agus yang juga Pengajar Hubungan Internasional Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.

NU sebagai pemegang saham negara dan bangsa menurut Ki Agus harus selalu mengoreksi, mengevaluasi dan sadar tentang apa yang harus dilakukan terkait dalam kontribusi nasional. Sebab menurutnya, mengurus NU itu artinya tidak sekadar mengurus organisasi dengan berhenti pada pengkaderan. Tidak pula sekadar aktif masuk kantor. Menjadi NU menurut Ki Agus sebenarnya harus selalu ingat apa yang hendak dikontribusikan peranannya kepada bangsa, terutama kepada warga yang lemah.

"Karena itu menurut saya, kita harus rajin mengevaluasi diri. Sebab kenyataan di lapangan yang saya temui di Jawa Barat ini, jangankan warga NU, para pengurus sendiri belum memiliki semangat ke-NU-an sesuai dengan garis jam'iyah NU agar terus berkontribusi kepada bangsa-negara. Semangat Muktamar yang mengusung Islam-Nusantara misalnya, harus cepat-cepat dipahami dan dijadikan pilar gerakan," ujarnya.

Ki Agus yang selama ini bahu-membahu menawarkan gerakan baru kepada generasi muda NU di sekitar Kota Bandung melihat kenyataan banyak anak-anak muda NU yang kurang upgrading. Menurutnya masih banyak warga NU yang belum sadar politik tetapi melompat bermain politik. Belum ada kesadaran tentang citizenship tapi berani berakrobat menjadi politisi. 

Karena kebutuhan itu, ia bersama teman-teman intelektual lintas organisasi mendirikan sebuah Nuindo Institute (The National-Upgrade of Indonesia), sebuah lembaga yang dimaksudkan untuk pemberdayaan melalui upgrading pemikiran dan pola gerakan model baru.

"Di balik Nuindo Institute ada semangat kuat membangun paradigma dan kultur baru yang modern, ilmiah, dan punya komitmen sosial tinggi untuk nasionalisme dan demokrasi," ujarnya.

Ki Agus menambahkan, saat ini gerakan pemikiran keislaman dan keindonesiaan juga harus dibangun secara kuat di kalangan muda NU. Sebab tanpa bangunan pemikiran yang kokoh dan meluas, tidak akan tumbuh kultur semangat bergerak dalam tataran sosial. Karena itu menurutnya, antara gerakan pemikiran dan gerakan amal praktis tak bisa dipisahkan. Semuanya dibutuhkan dan semuanya harus senafas dalam semangat Islam Nusantara.

"Lain daripada itu, urusan kemandirian ekonomi juga bagian yang sangat mendasar bagi para aktivis muda. Banyak para pejabat atau politisi yang gagal membawa kepentingan warga melalui negara dan hanya terjebak membawa kepentingan keluarga. Ini akibat karena kelemahan ekonomi. Nuindo Institute bermaksud mengambil peran dalam mengatasi problem itu melalui sekolah politik," ujarnya. (Yus Makmun/Fathoni)


Terkait