Nasional

Menghidupkan Kembali Jiwa Subchan ZE

Sabtu, 1 Maret 2014 | 18:01 WIB

Malang, NU Online
Jumat (28/2) bakda maghrib saya sampai di rumah. Saya baru saja mengunjungi kediaman Ketua PCNU Kabupaten Malang, Jawa Timur, H Muhammad Bibit Suprapto untuk sebuah kepentingan. Istri saya menyambut dengan kabar bahwa ada pesan singkat berisi undangan Istighotsah. 
<>
Pesan undangan itu berasal dari Ketua Pimpinan Cabang Mahasiswa Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Matan) Kota Malang Ali Akbar. Acara dimulai pukul 19.30 WIB di sebuah rumah di Jalan Koesmea Kota Malang, dekat Masjid Al-Muawanah. Waktu itu saya melihat jam menunjukkan 19.00 WIB. Saya pun menyatakan kesediaan hadir. Meskipun jarak rumah ke lokasi agak jauh.

Sesampai di tempat acara, saya agak terkejut ketika melihat peserta yang hadir hanya 6 (enam) orang. Tujuh dengan saya sendiri. Mereka semua adalah mahasiswa. Ada yang dari Universitas Brawijaya (UB), ada juga yang dari Universitas Negeri Malang (UM) dan juga ada yang dari UIN. Dua orang di antaranya adalah santri. Secara umum mereka semua pengurus PC Matan Kota Malang.

Kami duduk melingkar di sebuah hambal sempit yang ditengahnya tersaji air minum kemasan dan beberapa piring gorengan. Dalam hati saya bergumam: “Kayak rapat rahasia aja!”

Ternyata, memang benar agenda acara itu adalah pembacaan istighotsah. Dan Subhanallah, saya tertegun melihat mereka Istighotsah. Terlihat sangat lancar, dan suasana mengalir. Saya sendiri, jujur saja, yang sebelumnya pikiran agak beku, akhirnya bisa mencair kembali. Serta bisa berpikir dengan tenang saat ikut berdzikir dengan mereka.

Setelah pembacaan Istighotsah selesai, ada suatu hal membuat saya tertegun dalam acara yang sekilas terlihat bagai sebuah rapat terbatas dengan pembahasan yang sepertinya sangat mendesak itu. Mereka memperbincangkan kaderisasi NU. Dan ternyata topiknya adalah mengangkat ketokohan Subchan ZE.

Seorang di antara mereka yang saya pikir bertindak sebagai ‘pimpinan sidang’ dan tuan rumah dipanggil dengan ‘Gus Farih.’ Dia adalah putra dari Hj Lathifah Shohib, cucu Kiai Shohib Bishri, dan merupakan cicit dari salah Seorang pendiri NU KH Bisri Syansuri. Umurnya, sekitar 30-an lebih. 

Selain sebagai bendahara di kepengurusan PC Matan Kota Malang, Gus Farih saat ini juga merupakan Ketua Pengurus Pimpinan Wilayah Matan Jawa Timur. Saya melihat ia sebagai orang yang sangat bersemangat membahas tokoh NU yang populer dalam percaturan politik Indonesia selama tahun 1950-1973 itu.

Orang yang pernah mengalami hidup di masa pertengahan tahun 1950-1960-an, apalagi mereka yang menjadi pemuda pada rentang waktu itu, kemungkinan besar tahu siapa diri Subchan ZE. Seorang aktivis NU hasil rekrutmen kader NU sejak pertengahan tahun 1950-an, yang populer karena sikapnya yang kritis pada pemerintah baik era orde lama maupun orde baru.

Ia juga dikenal sebagai aktivis muda NU yang dermawan pada organisasi. Praktisi ekonomi dengan konsep-konsep yang brillian. Serta politisi NU yang tidak bisa dianggap remeh oleh Suharto, selama tahun kekuasaannya tahun 1966, sampai tahun 1973, saat Subchan meninggal dalam kecelakaan mobil di Makkah Al-Mukarromah.

“Kita harus mengangkat kembali sejarah perjalanan Subchan ZE dan peranannya dalam percaturan politik Indonesia zaman dulu. Kita harus memiliki semangatnya dalam berjuang,” katanya dengan bersemangat di depan rekan-rekannya.

“Subchan adalah tokoh NU yang populer semasa hidupnya, karena keberanian-keberanian dan sikap kritisnya pada pemerintah. Sebagai orang biasa, Ia berani berdiskusi bebas dengan Soekarno. Sehingga tidak disenangi orang-orang dekat Presiden, karena dianggap kurang menghormati,” tambahnya.

Saya terheran-heran melihat gaya dan kelancarannya berbicara. Jago berdiplomasi rupanya dia. Jikalau harus membandingkan Gus Farih dan eyangnya (Allah yarham) KH Bisri Syansuri, setengah tidak percayalah saya melihat Gus Farih bisa selancar itu berbicara. 

Setahu saya, dari berbagai buku yang pernah saya baca dan informasi yang pernah saya dengar, KH Bisri Syansuri adalah seorang alim fiqih yang memiliki pendirian seteguh karang. Dan kurang bisa beretorika di depan umum, jujur dan apa adanya dalam berpendapat. Berbeda dengan sahabat karib dan iparnya, KH Wahab Chasbullah, yang sangat mahir berceramah dan berdiplomasi.

Namun, jika saya melihat juga bahwa dia adalah seorang mahasiswa yang berpengalaman luas dalam organisasi, tidak heranlah saya akan keahliannya itu. Sangatlah mungkin ia belajar dari pengalaman.

“Kita harus mengerti, Subchan tidaklah jauh berbeda dengan kita. Ia lahir di Kepanjen Malang. Dan sifat kritisnya ditempa melalui forum tidak resmi seperti ini,” katanya.

“Dan ia adalah tokoh yang tidak pernah ragu-ragu dalam memompa semangat para anak buahnya yang lebih muda untuk menunjukkan kemampuan mereka,” katanya lagi.

Kami berenam mendengarkan keterangan-keterangannya, namun juga kadang memberikan komentar meskipun sedikit. Saya sendiri sebenarnya sedikit banyak mengetahui tentang siapa itu Subchan ZE dan bagaimana sepak terjangnya, dari berbagai buku yang saya miliki. 

Namun waktu itu sudah kedahuluan rasa kagum saya pada Gus Farih. Dan rasa ingin mendengarkan lebih besar dari pada berkomentar. Dengan harapan ada informasi lebih tentang tokoh NU yang satu itu. Sedang teman-teman saya yang lain, wallahu a’lam tahu apa tidak.

“Subhan ZE sering memberi dan membagi tugas dengan pengurus NU yang lebih Muda. Karena ia menganggap hal itu adalah bagian dari kaderisasi. Baginya, jika tidak dilakukan sekarang, mau nunggu kapan lagi?” kata gus Farih.

“Namun sekarang ini, nama Subchan tidak terangkat sejarah. Dan adalah tugas kita sebagai pemuda NU untuk menghidupkan kembali jiwa-jiwa Subchan yang sedang meredup itu.” Tambahnya lagi.

Saya tertegun melihatnya, sambil bergumam dalam hati. Seperti diakah sosok Subchan ZE yang bersemangat itu. Dan adakah pemuda NU lagi yang penuh seperti dia? Jika saja benar, bisa dikatakan masa depan NU adalah cerah. Amin. (Ahmad Nur Kholis/Red: Mahbib)


Terkait