Ruang kerja NU Online Senin (21/5) kemarin tampak berbeda. Meja besar yang biasanya menyesaki ruangan disisihkan ke pinggir. Lantainya yang berkarpet hijau nampak seperti lantai langgar di kampungku. Saat sore, sekitar 40an orang sudah datang satu per satu. Mereka tidak semuanya staff NU Online, sebagian kecil di antaranya adalah kontributor, dan yang lain adalah apa yang disebut komunitas NU Online.
Mereka hadir untuk turut serta dalam acara buka bersama. Di tengah-tengah mereka telah hadir Pemimpin Redaksi NU Online generasi pertama tahun 2003, Mun’im DZ, dengan perawakan yang tak pernah berubah sejak dulu; kurus, tinggi dengan bola mata yang dalam.
Dalam acara ngobrol santai jelang buka puasa sore itu, Mas Mun’im menceritakan banyak hal mengenai dimensi portal ini, mulai dari sejarah awal berdirinya, dimensi kantor yang dulunya angker, hingga kesusahan mencari support pendanaan.
Di antara bahan yang disampaikan itu ada salah satu tema yang menarik perhatian yakni rahasia keseksesan NU Online bertahan selama 15 tahun terakhir.
Sebagaimana umumnya media yang bergantung pada keberhasilan menarik minat pembaca, NU Online pun demikian. Bedanya, NU Online telah memiliki calon pembaca, yakni warga NU. Tapi warga Nahdlatul Ulama tak bisa langsung dikonversi sebagai pembaca NU Online. Butuh effort yang cukup tinggi untuk menjadikan warga NU ke pada pembaca NU Online.
Apalagi mengingat pada tahun 2003 silam NU Online bukanlah portal pertama dan satu-satunya yang berafiliasi dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, baik secara formal maupun kultural. Ia lahir bersama dengan beberapa portal lain yang juga mewakili NU.
“NU memanfaatkan momentum ikhbar ramadhan dan lebaran sebagai media sosialisasi dari PBNU kepada warganya. NU Online juga memanfaatkan kedekatan dengan kiai NU,” kenang Mas Mun’im, di Gedung PBNU.
Dengan manajemen yang baik, NU Online berhasil membuktikan diri untuk bertahan, di mana di saat yang bersamaan portal NU lainnya berguguran satu per satu.
“Yang membedakan adalah kita punya manajemen dan yang lain tidak,” kata Mun’im.
Pada tahapan selanjutnya, para pembaca NU Online tidak hanya menjadi pembaca pasif, lambat laun timbul keinginan untuk berkontribusi pada portal ini.
“Jadi NU Online tidak hanya menciptakan pembaca tapi NU Online berhasil membentuk dan menjaga komunitas pembaca hingga memiliki rasa kepemilikan pada situs resmi Nahdlatul Ulama ini,” kisahnya.
Sesungguhnya, sistem yang digunakan dalam mengatur produksi pemberitaan dan manajerial keuangan dan hal lain mengenai media ini bukanlah sebuah sistem profesional yang mutakhir.
Alih-alih profesional, generasi awal NU Online ini justeru menerapkan sistem manajemen komunal. Belakangan baru dia menyadari, rupanya mekanisme ini justeru lebih berhasil dari pada model yang lain yang dinilai lebih profesional.
Ada benarnya apa yang dikatakan Mas Mun’im tentang pembaca setia NU Online. NU Online tidak hanya ‘melahirkan pembaca’, namun melahirkan sebuah komunitas; komunitas ‘NU Online. Komunitas ini terdiri dari pengurus, pembaca dan orang-orang yang sekedar sering datang mampir ke kantor NU Online.
NU Online; Yang Tak Berkepentingan Silahkan Masuk
Kantor NU Online sendiri selalu terbuka untuk umum. Ia biasa menampung kebiasaan komunal warga NU. Ruang kerja NU Online yang terletak di sisi kiri eskalator di lantai lima PBNU menjadi ‘ruang publiknya PBNU’. Tempat berkunjung berbagai orang dari bermacam kelompok dan latar belakang yang datang ke PBNU dengan atau tanpa kepentingan.
Bukan hal asing bagi NU Online menerima tamu yang tak dikenal, atau menerima tamu yang sekedar mampir berjam-jam sebelum bertemu dengan seseorang di PBNU. Atau sudah bukan hal baru bagi ruang kerja untuk menerima warga NU yang datang dari daerah ke Jakarta dan tidak punya tempat bermalam.
Intinya, ada semacam aturan tak tertulis yang berbunyi, yang tak berkepentingan sekalipun, dipersilahkan mampir di NU Online.
Berakit-Rakit ke Hulu
Kedigjayaan NU Online dalam peta portal islam tanah air tak turun begitu saja dari langit. Di fase awal berdiri, NU Online mengalami kembang-kempis. Sialnya, waktu kempisnya lebih awet tinimbang kembangnya.
Oleh pengurus PBNU pada masa itu, website NU Online dipasrahkan begitu saja tanpa ada sistem penunjang seperti biaya operasional dan lain-lain. Parahnya lagi, sebagian orang, termasuk dari kalangan internal NU memandang sebelah mata pada portal baru ini.
“Kami diprediksi bertahan paling lama enam bulan”, kata Mun'im sambil tertawa.
Apalagi biaya pemeliharaan website pada masa itu sangatlah tingginya, bisa mencapai 90 juta rupiah. “Gimana mau bayar staff, orang biaya pemeliharaannya sudah sebegitu mahal. Makanya kita menyiasati pake kontributor yang lillahi ta’ala,” kata Mas Mun’im lagi sambil tertawa.
Saat ini, usia NU Online telah menginjak tahun Ke-15. NU Online menjadi salah satu portal keislaman terbaik yang paling direferensi oleh masyarakat Islam Indonesia.
“Saat ini NU Online menjadi referensi orang yang ingin merujuk berita islam dan statemen resmi PBNU tentang sebuah isu tertentu,” ujar Direktur NU Online Savic Ali.
Klaim Savic beralasan kuat. Sebuah hasil penelitian Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (PSBPS UMS) menemukan NU Online sebagai website organisasi Islam arus utama yang paling produktif dalam penyediaan konten.
Saat ini, sejak tahun 2018 pembaca bulanan NU Online mencapai angka rata-rata 3.5 juta pembaca. Sebuah angka yang sangat fantastis untuk media yang relatif beranggotakan sedikit staff dan kontributor daerah.
“Komunitas NU yang membuka situs NU Online tidak selalu didorong oleh keinginan mengakses sebuah informasi, namun bisa juga didorong oleh kecintaan dan kebanggaan atas situs NU Online ini. Yang penting NU Online masih mengikat diri dengan pesantren dan kiai,” pungkas Mun’im DZ. (Ahmad Rozali)